Bulan Ramadhan, Bulan Penghematan atau Pemborosan?

Secara matematis, living cost pada bulan Ramadhan berkurang 30-50% lantaran seharian tidak berurusan dengan meja makan. Faktanya berkata lain, pengeluaran justru berlipat-lipat. 

Lihat saja, meja makan saat berbuka penuh sesak dengan berbagai menu. Ada nasi dan lauknya. Lauknya ada yang berkuah, goreng dan bakar. Belum lagi sayurnya. Tak sampai di situ. Ada bubur ayam dan kolak pisangnya. Ada secangkir air teh hangat, segelas air putih dan semangkuk es kelapa muda. 

Belum lagi kuenya, beraneka warna. Mulai dari yang teksturnya lunak, kenyal dan sedikit keras. Dari yang berbentuk lonjong, bulat bahkan bolong di tengah. Isinya ada yang asli, ada yang tiruan. Sumbernya mulai dari yang dibikin sendiri atau dibeli pada penjual takjil yang menjamur di sepanjang jalan protokol. Jangan tanya berapa kali buka tutup dompet mengeluarkan isinya. Berapa kali TF ke driver ojol memesan makanan.

Meski tak habis, semuanya tercicipi dengan sempurna. Daripada mubazir, ada yang ikhtiar berbagi dengan tetangga sebelum beduk tanda buka puasa berbunyi. Bunyi yang dinanti-nanti, bukan dari arah masjid, melainkan dari pesawat radio. Ada pula yang berbagi setelah kuliner yang tadinya terasa nikmat, terbengkalai di meja makan. Selebihnya menjadi makanan kucing dan hewan liar lainnya yang mengintai tong sampah. 

Jika seisi rumah ada ayah ibu dan 4 anak. Kalikan saja berapa piring, sendok dan gelas yang terpakai? Berapa mil sabun pencuci piring yang ludes? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mencuci piring dan kawan-kawannya yang menumpuk? 

Lantas, kenapa menu berbuka puasa beragam? Ada beberapa alasan. Pertama atas nama mengistimewakan bulan Ramadhan, ibu-ibu menciptakan kuliner istimewa. Apalagi ibu-ibu yang memasak dalam keadaan berpuasa, perut keroncongan, semua menu yang dibayangkan, dihadirkan di atas meja.

Kedua, motif balas dendam. Karena seharian menahan lapar dan haus, jadinya malam hari menjadi waktu balas dendam. Bolak balik ke meja makan, berkali-kali makan. Makannya jadi 5 kali semalam. Saat berbuka, usai sholat magrib, usai sholat tarawih, menjelang tidur dan pada saat makan sahur.

Tetapi, tidak semua keluarga berlaku demikian. Ada pula yang hanya berbuka dan sahur dengan buah kurma dan makan secukupnya. Mereka tak mengistimewakan meja makan. mereka tak sibuk di dapur. Mereka sibuk khatam Qur’an berkali-kali. 

Apakah biaya Ramadhan mereka berkurang? Ternyata tidak. Pengeluarannya tetap membengkak, tapi bukan untuk memanjakan leher dan perut, melainkan berbagi rezeki dengan kaum dhuafa.

Meski butuh perjuangan tak terhingga, Semoga kita masuk golongan yang ketiga ini. Amin

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup