Sang Imam Favorit di Musim Ramadhan
Paci Haru tak muda lagi. Penglihatannya sudah mulai kabur (ma pula-pulawuwolo). Volume suaranya tak sekencang dulu (malo poyo’o). Meski usianya sudah sepuh, perannya di Masjid kampung itu setara dengan profesor emeritus di kampus terkenal. Paci Haru selalu berada di depan, memimpin jamaah masjid lintas generasi. Meski hanya alumni TPA Mokadamu, Dia dikukuhkan menjadi imam sejak usia muda, ketika masjid itu baru dibangun.
Musim Ramadhan ini, Paci Haru hanya bisa mengimami sholat Isya, selebihnya diserahkan kepada Aba Danggu, sang penerus. Aba Danggu menjadi favorit jamaah ketika memimpin sholat tarawih. Hanya hitungan detik, satu rakaat sudah dilampaui. “Gaass Dangguu” pekik suara jamaah dari arah belakang, memompa semangat Aba Danggu menyelesaikan 20 rakaat sholat taraweh tanpa tuma’ninah.
Paci Haru dan Aba Danggu adalah gambaran para imam kampung, yang mesti bacaan huruf-huruf ث(tsa), س (sin), ش (syin), ص (shod) disikat sama bunyinya, dan Lafadz huruf-huruf ج (jim), ز (zay), ذ (dzal), ظ (dzo) tak ada bedanya, mereka tetap dianggap terbaik memimpin sholat. Adapun anak-anak milenial, lulusan pesantren ternama, dengan hafalan dan tahsin lengkap 10 juz mumtaz, jangan berharap menjadi imam. Anak-anak belia ini tak recommended sebagai imam dengan dua alasan.
Alasan pertama datang dari kaum tua, “dipo mo’odelo”. Artinya meskipun bacaannya bagus, tetapi belum mampu menyesuaikan sikap dan perilaku sebagaimana layaknya seorang imam yang sudah dewasa. Bacaan bagus tak penting, yang lebih penting adalah adab. Inilah standar nilai adat Gorontalo, yang penerapannya tinggal tersisa di masjid-masjid kampung. Mestinya standar nilai ini dibawa ke ranah manajemen kepemimpinan modern.
Alasan kedua datang dari kaum milenial, “mo loloyota tiyo”. Artinya, sholat taraweh yang hanya 20 menit di tangan Aba Danggu, bisa selesai 1 jam di tangan santri bersuara merdu ini. Jadilah sholat taraweh hanya sebagai pencitraan. Yang penting diketahui orang sudah melaksanakan sholat taraweh. Tak penting sholatnya mengikuti tuma’ninah atau tidak. “Gass joo”. Demikian celetuk salah seorang jamaah musiman.
Demikianlah. Tarawih bukan lagi soal afdhol dan khusyu, melainkan pertimbangan efektif dan efisien, sebagaimana program efisiensi yang terpaksa, mencekik aparatur pemerintah dewasa ini. Imam muda dengan bacaan yang bagus, suara merdu yang bisa mengaduk-aduk emosi spiritual, justru tak disenangi jamaah musiman ini. Sementara imam sepuh dengan bacaan yang polos (rata bungango), walaupun suaranya terpaksa seperti jerit mobil tua di jalanan menanjak, justru dielu-elukan, diidolakan jamaahnya.
Fenomena ini mengingatkan kita pada perilaku rakyat Konoha. Mereka mengelu-elukan pucuk pimpinan negerinya yang berijazah palsu, bahkan penerusnya yang terlahir cacat demokrasi, di tengah menjamurnya calon pemimpin muda berkualitas, berkelas, berkarakter dan berintegritas.
Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)