Gerindra Gorontalo Klaim ‘Banjir’ Intelektual, Tarmizi Abbas: Siapakah Intelektual Itu?

Para intelektual menurut Gerindra Gorontalo : Adhan Dambea, Roni Sampir, Nixon Ahmad, Nurmin K. Martam, Yusuf Giasi, Ramli Djafar, Novaliastuti Masiaga, dan Sukiman Kadir - Foto : bakukabar.id

Benarkah Gerindra lagi panen tokoh intelektual serupa ciutan Juru Bicara Gerindra Gorontalo, Wahidin Ishak, di beberapa kanal media online 9 Maret 2025, baru-baru ini? Apa model dan bentuk intelektual yang dimaksud Wahidin itu juga tidak dijelaskan. Yang pasti, Jubir itu bilang:

Biasa-biasa jo. Mungkin karena Ketua GERINDRA cukup pintar maka para intelektual banyak yang ke GERINDRA. Wajar…kan circle-nya.”

Yang aneh menurut saya justru ketika Jubir itu bilang bahwa Gerindra adalah partai yang rasional, tapi pada saat yang sama juga menyebut bahwa siapa pintar dan siapa bodoh itu tidak penting dalam demokrasi. Sebab semuanya sama rata. Sehingga, kata Jubir: “ukurannya pada berapa banyak orang yang mendukung dirimu”.

Pernyataan ini aneh sekali. Sebab, misal Gerindra itu partai yang rasional, bukankah salah satu pertimbangannya adalah soal siapa pintar siapa bodoh? Jika ia tidak mengakui ini, bagaimana mungkin dia berani bilang Gerindra sedang didatangi oleh berbondong-bondong intelektual? Bukankah intelektual itu, dalam arti yang paling umum, adalah “orang-orang pintar”?

Saya kuwatir, statement si Jubir bahwa pintar dan bodoh tidak penting, akan menegasikan pandangan dirinya dan posisinya sebagai juru bicara partai. Ia justru akan membuat nama-nama “intelektual” yang dikutipnya di dalam pemberitaan tersebut justru berpotensi mengarah pada “kemungkinan” pragmatisme di dalam tubuh Gerindra Gorontalo: asal banyak yang dukung, mau pintar atau bodoh, tidak masalah.

Pun demikian, jika intelektual yang dimaksud adalah dosen/akademisi, dari 11 tokoh yang dikutipnya, saya menemukan hanya dua orang yang merupakan staff pengajar di salah satu kampus di Gorontalo – dilihat dari publikasi, website kampus, dan profil keduanya di Google Scholars. Sisanya adalah politisi tulen yang kita kenal dan sebagiannya lagi tidak saya temukan rekam jejaknya.

Karena Wahidin tidak punya definisi spesifik soal intelektual, saya kutipkan beberapa definisi intelektual.

Pertama, dari Antonio Gramsci, seorang filsuf politik cemerlang. Di dalam Prison Notebooks, ia bilang: orang dapat mengatakan: semua manusia adalah intelektual, namun tidak semua orang memiliki fungsi intelektual. Gramsci lantas membagi dua tipe intelektual. Pertama adalah intelektual tradisional yakni guru, ulama, dosen yang secara terus menerus melakukan pendidikan dan pengajaran; dan kedua adalah intelektual organik, sebagai perpanjangan tangan dari guru, ulama dan dosen yang tidak sekadar mengajar, namun juga berbuat.

Kedua, di dalam kata “berbuat” ini, Julian Benda di dalam Pengkhianatan Intelektual, memberikan tekanan yang cukup radikal pada definisi intelektual ini. Bahwa yang diperbuat oleh intelektual itu tidak lain adalah: “bicara kebenaran terhadap penguasa, berpihak kepada yang lemah dan tertindas, sampai tak ada baginya kekuasaan yang terlalu besar untuk dikritisi.” Itu sebabnya, Benda tak pernah main-main. Dia pernah menulis satu sub soal “intelektual pengkhianat”, yakni mereka yang berbohong kepada publik dan pro terhadap status quo.

Dari Gramsci ke Benda, ketiga adalah Edward Said, seorang sarjana Palestina yang menulis Orientalisme, juga pernah menulis soal Representasi Intelektual. Bagi Said, intelektual itu: “merupakan figur representatif dari persoalan-persoalan [yang dihadapi mereka yang tertindas] bukan karena dia paling pintar, namun karena dialah yang paling bisa menyampaikan persoalan kepada publik secara artikulatif kendati berbagai kendala mengganjal entah lewat tulisan, kelas-kelas diskusi, ataupun lewat siaran televisi.” Said juga menggarisbawahi bahwa sikap intelektual juga harus diiringi oleh komitmen dan risiko.

Jadi, nama-nama yang dikutip Wahidin itu, masuknya di mana dalam definisi intelektual dari ketiga “intelektual” raksasa ini? Apakah mereka adalah intelektual tradisional, intelektual organik, atau justru merupakan intelektual pengkhianat?

Namun jika ingin mengakui sesuatu, saya melihat kemunduran pada wacana di dalam tubuh Gerindra Gorontalo saat ini. Padahal, di masa-masa saya tumbuh sebagai mahasiswa, setiap kali membaca koran pagi, saya melihat perdebatan sengit antara Alm. Susanto Polamolo (akademisi) dan dua politisi Gerindra, yakni Tomi Ishak dan El-Nino. Jika perdebatan tak selesai, itu dilanjutkan dengan status-status panjang di grup-grup Facebook. Waktu itu, pamor Gerindra naik.

Sebelum bertolak ke Gorontalo, saya sempat meragukan posisi Alm. Susanto, soal apakah dia telah menjadi salah satu anggota partai Gerindra atau tidak. Sampai lembut suaranya, dia bilang: tidak.

Sayangnya, saat ini, perdebatan itu hilang. Saya tak melihat Tomi Ishak menulis lagi; barangkali sesekali ada. Sedangkan Elnino masih aktif berkirim status dan berbalas komentar, tapi isinya paling banyak alegori-alegori yang muter-muter. Ketika publik bertanya soal beberapa persoalan dan ketimpangan yang terjadi, jawabannya selalu menepis: simpulkan sendiri, jawab sendiri, kembalikan pada diri sendiri.

Tapi, bukankah tipikal politisi memang begitu dan seharusnya kita tidak heran?

10 Ramadhan, di bawah mata air.

Penulis : Tarmizi (Arief) Abbas, MA(Alumni CRCS UGM dan Peneliti di Inhides Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup