Tihi-tihi; Nilai Kearifan Gorontalo, Memakmurkan Masjid

Masjid Walima Emas berada di pegunungan di Desa Bongo, Kecamatan Batudaa Pantai, Kabupaten Gorontalo - FOTO : wisata.id

Kerinduan masyarakat Gorontalo memiliki masjid agung provinsi kembali membuncah, seturut dilantiknya khalifah baru, menduduki istana di puncak gunung botu. Rindu yang tertahan. Konon, sudah disepakati pada periode pertama pemerintahan sebelumnya. Hingga berakhir periode kedua, masjid idaman itu hanya terpola di atas kertas.

Padahal para donatur sudah siap siaga menyumbang. Laksana para atlit lari, menanti letupan pistol, penanda berlari kencang menuju finish. Sayangnya, para calon pendonor yang sudah sepuh itu berguguran.

Apa pasal? Kenapa pembangunan bidang agama di serambi madinah tak jadi prioritas? Ya. Serambi Madinah, demikian julukan yang disematkan pada daerah berpenduduk sejuta dua ratus jiwa ini. Gorontalo yang mayoritas berpenduduk Muslim sejatinya sudah memiliki masjid terindah dan termegah di Indonesia. Kemegahan yang merangkum semua aktivitas ibadah, pendidikan dan dakwah.

Transformasi Fungsi Masjid

Kata masjid (المسجد) dalam bahasa Arab memiliki arti tempat sujud. Istilah ini berasal dari kata sajada (سجد) yang berarti bersujud atau menyembah.

Namun demikian, Masjid bukan hanya sekadar tempat bersujud, tetapi juga dapat berfungsi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sosial, dan budaya bagi umat Islam. Di dalam masjid, umat Islam dapat melakukan berbagai aktivitas seperti iktikaf, pengajian, dan kegiatan sosial lainnya.

Untuk menarik minat jamaah, masjid dapat dijadikan galeri edukasi dengan koleksi buku-buku dan kitab-kitab terlengkap di perpustakaannya. Memiliki museum yang berisi berbagai koleksi kebudayaan, ketimbang museum Gorontalo yang kini tak berisi. Menggelar kajian keislaman yang rutin terjadwal dari para da’i, ilmuan dan sarjana Muslim, disempurnakan dengan arena wisata religi yang menggugah hati menjemput hidayah.

Beberapa masjid megah di Indonesia dewasa ini telah bertransformasi, bukan hanya sebagai tempat bersujud, lebih dari itu, menambah fungsi lain; sebagai tempat wisata religi dengan arsitektur yang memukau. Paling tidak, terdapat dua masjid yang viral belakangan ini karena arsitekturnya yang unik;

Pertama Masjid Raya Al-Jabbar. Mesjid yang berada di Kota kembang Bandung ini menjadi ikon wisata religi di Jawa Barat. Dilansir dari travel.tribunnews.com, Masjid Raya megah ini mampu menampung hingga 30 ribu jamaah dan menyediakan fasilitas seperti museum dan galeri edukasi tentang Islam.

Arsitekturnya terinspirasi dari rumus Aljabar, dengan ornamen simetris dan geometris. Uniknya, terdapat 27 pintu yang melambangkan 27 kabupaten dan kota di Jawa Barat, serta atap tumpuk berbentuk kerucut dengan kaca warna-warni.

Yang kedua adalah Masjid 99 Kubah di Kota Daeng Makassar. Sebagaimana namanya, masjid yang didesain mantan gubernur Jawa Barat, Kang Ridan Kamil, memiliki 99 kubah yang berwarna merah, kuning, dan oranye melambangkan Asmaul Husna.

Terletak di tepi Pantai Losari, masjid ini nampak sangat memikat kalbu tat kala waktu Magrib menyapa, dengan pemandangan semburat jingga langit dan air laut yang menawan, menambah aura cantik dan religiusnya kota Makassar.

Di Gorontalo, terdapat beberapa masjid lama berwajah suram yang direnovasi agar kelihatan cantik dan menawan. Pertama masjid Darul Arqam Kota Gorontalo. Revovasi diinisiasi ketua wilayah Muhammadiyah saat itu, Dr. Abd. Kadim Masaong.

Selain dijadikan tempat bersujud pada lantai 3. Masjid ini menjadi tempat menuntut ilmu para mahasiswa pascasarjana UMG, menyewakan gedung pertemuan pada lantai 2 dan menyediakan café and mart dengan segmentasi anak muda di lantai bawah. Ikon Gorontalo, sebut Gusnar Ismail saat sholat taraweh di masjid ini.

Yang kedua adalah Masjid Baiturrahman Limboto. Masjid ini direnovasi oleh mendiang David Bobihoe Akib dengan gaya konstruksi Arab dan Nusantara. Hal tersebut nampak dari model bangunan yang memiliki satu kubah utama dan tujuh kubah kecil di sekelilingnya.

Selain menjadi tempat bersujud, masjid ini menyediakan café di halaman depan, menyamping, menghadap ke Pakaya Tower yang menjulang tinggi laksana menara Eifel di kota Paris Prancis, karya mendiang Ahmad Pakaya.

Pada malam hari, tampak lampu warna-warni berkedip, bergonta ganti warna menyelimuti tubuh menara yang menjadi ikon kota Limboto itu.

Di depan masjid terdapat taman budaya dan rumah adat Bantayo Pobo’ide sebagai tempat wisata budaya sekaligus tempat bersantai dan bertransaksi para pengunjung dan pedagang kaki lima.

Menafsirkan Makna Tihi

Masjid dalam bahasa Gorontalo adalah “tihi”. Kata ini disebut Mansur Pateda dalam kamusnya sebanyak 43 kali dengan makna tunggal, ‘masjid”. Manakala kata “tihi” diulang menjadi “tihi-tihi”, di situlah ditemukan makna mendalam. Secara sosio kultural, “tihi-tihi” dimaknai tampil beda, menonjol. Mansur Pateda memberi arti tihi-tihi sebagai sendirian, terpisah dari kelompok”. Dengan demikian, sesuatu yang menonjol, tampil beda, tersendiri dan terpisah dari yang lain dinamakan “tihi”.

Kenapa leluhur (mongo panggola) memilih kata tihi daripada “tambati poti dumulalo” atau “dumula” (tempat sujud)? Butuh penelusuran mendalam. Kenapa bukan “tambati polubowalo” atau “tutubowa” (tempat menyembah)?. Karena sholat saja bukan ‘molubo’ tapi “motabiya”

Dari kata tihi-tihi atau tihi ini dapat dikatakan bahwa masjid harus tampil beda, menonjol, terpisah dari bangunan lain. Tidak himpit-himpitan dengan rumah warga. Memiliki halaman yang luas.

Masjid yang terhimpit di tengah rumah-rumah warga sangat mengingkari makna kata “tihi” yang dipancangkan oleh para leluhur.

Apa yang terlihat pada dua mesjid megah di Kota Bandung dan Makassar, serta 2 masjid yang ada di Kota dan Kabupaten Gorontalo, sangat layak menyandang nama “Tihi” lantaran keberadaannya yang menonjol dan tampil beda, berdiri terpisah di antara sekian bangunan di sekitarnya serta memiliki halaman yang luas.

Tihi yang Sesungguhnya

Gorontalo juga memiliki dua masjid yang menggambarkan sebuah “tihi” yang sesungguhnya. Pertama masjid Kuba yang berada di puncak bukit Dembe Kota Barat. Benar-benar tersendiri dan terpisah. Masjid ini banyak dikunjungi warga. di dalamnya terdapat makam aulia “Ju Panggola”. Sejauh mata memandang, tampak danau dan rumah-rumah warga berjejer di jalan tak ber-perempatan itu.

Kedua, masjid walima emas yang diinisiasi Yosep Tahir Maruf (Yotama). Dibangun di atas bukit kapur dengan view laut yang indah di desa Bongo kecamatan Batudaa Pantai. Pada bagian samping kiri dan kanan tangga naik terdapat balok semen yang bertuliskan nama bulan dalam Kalender Islam.

Penamaan walima emas lantaran kubahnya dengan warna keemasan berbentuk walima; sesajian kue tradisional pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Kedua masjid tersebut sangat menginspirasi untuk mengejawantahkan makna tihi sebagai simbol kemuliaan Gorontalo yang berfalsah; Adati hula-hula’a to syara’a, syara’a hula-hula’a to kuru’ani”.

Singkatnya, pada level provinsi, selayaknya Gorontalo memiliki bangunan megah melampaui bangunan kantor Gubernur, Kantor DPRD dan kampus UMGO yang menjulang tinggi di atas bukit.

Sudah saatnya Gorontalo punya masjid yang melampaui megahnya Gorontalo City Mall, hotel-hotel dan restoran cepat saji yang mulai menjamur, dan justru menenggelamkan masjid-masjid kecil yang bertebaran di sekitarnya.

Kenapa harus tihi-tihi? Supaya jamaah terpikat hatinya, terpukau dengan tempat sujud, lalu berusaha mendekat, masuk ke dalam, merasakan kedamaian spiritual di dalamnya, menjemput hidayah, dan jadilah dia pengunjung rutin tempat sujud itu. Dan makmurlah masjid itu.

11 Ramadhan 1446 H

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup