Algojo Masjid: Antara Melepas Rindu dan Trauma Anak

Sumber ilustrasi: https://www.gurusiana.id/

Seorang lelaki paruh baya, sedikit kasar menarik dua anak, kakak beradik yang berdiri tertib pada shaf sholat magrib. Dia mengumpulkan beberapa anak berdiri bersamanya di shaf belakang, sambil meletakkan sepotong rotan di tempat sujud. Mengira penculik anak, ayah kedua anak usia SD itu spontan menoleh ke belakang, memastikan kedua anaknya baik-baik saja.

Usai sholat, sang ayah yang kesal, mendekati lelaki berjenggot itu. Sekilas wajahnya mirip Aba Danggu. Terjadi dialog yang alot dengan “sang algojo” masjid. “Makanya jamaah masjid di sini isinya orang-orang sepuh semua dan hanya sebagian anak-anak”.

“Coba bapak perhatikan, tak kelihatan wajah anak-anak remaja dan pemuda, kenapa? karena cara bapak memperlakukan mereka dengan kekerasan. Besok-besok anak-anak ini tak mau ke masjid, ikut kakak-kakaknya yang trauma”. Pungkas sang ayah sambil merangkul kedua putranya yang kebingungan.

Di masjid lainnya terlihat seorang balita berlari-lari keluar masuk shaf depan dan shaf belakang, menerobos orang-orang dewasa yang sedang berjamaah. Semakin seru ketika dua, tiga anak lainnya ikut bergabung. Suara mereka sahut-sahutan. Tentu saja kejadian ini sangat menegangkan orangtua mereka.

Inilah resiko mengajak anak kecil ke masjid. Jadinya ibadah menjadi tak tenang. Semakin panjang ayat yang dibacakan sang iman semakin naik tingkat ketegangan.

Sebagian besar jamaah merespon kegaduhan anak-anak bermain dengan amarah tertahan. Khusyuknya buyar. Rasanya ingin menendang ayah-ayah anak itu. Demikianlah. Tak diajak ke masjid, kasihan ibunya lagi menyusui sang bayi, lagi sakit, atau berjibaku dengan urusan dapur. Sementara para lelaki ingin berbagi peran, mengajak anak demi meraih pahala 27 derajat di bandingkan sholat di rumah. Serba salah memang.

Fenomena anak “rusuh” di masjid nampaknya terjadi di semua masjid. Apalagi musim ramadhan, sholat isya, taraweh dan witir, membutuhkan waktu lama. Berbagai akting lucu diperankan anak. ada yang naik turun mimbar, ada yang menarik-narik sajadah, ada yang memanjat dinding bercelah, dll.

Kehadiran anak-anak bukan hanya memenuhi gendang telinga, juga menyerang organ penciuman. Aroma tak sedap khas anak-anak yang berkeringat (molosingo), membuat para jamaah dewasa menahan pingsan dengan irit bernafas. Atas kejadian ini, beberapa masjid berinisiatif mengangkat seorang algojo untuk “menghajar” anak-anak yang datang bermain-main ketika sholat.

Kenapa harus ada algojo di rumah Allah? Karena ibadah sholat bagi sebagian orang Gorontalo bukan sekadar ritual penyembahan (molubo), melainkan sebagai proses melepas kerinduan dengan Sang Khalik (motabiya). Motabiya adalah kata kerja. Kata sifatnya “tabi”, rindu, kata bendanya “tabiya”, saling merindu.

Sementara itu, “molubo” dapat dipahami sebagai tindakan di mana eksistensi hamba yang menyembah kepada Sang Khalik. Kata “motabiya” lebih sering digunakan daripada “molubo”. Keduanya bermakna sholat, sembahyang. Namun, dalam konteks motabiya, hubungan antara hamba dan Khalik menjadi lebih setara. Dalam proses ini, terpatri rasa saling rindu; Khalik merindukan hamba-Nya, dan hamba merindukan Khaliknya.

Oleh karena itu, proses motabiya harus dirawat agar tidak terganggu oleh hal-hal yang dapat menciptakan kegaduhan atau distraksi. Ketenangan dan konsentrasi (kekhusyu’an) sangat penting dalam menjalani momen ini, sehingga hubungan spiritual yang terjalin dapat terwujud dengan sempurna (motombowata).

Membiasakan Anak ke Masjid

Pada dasarnya, membawa anak kecil ke masjid menurut pandangan ulama mazhab Syafi’i hukumnya diperbolehkan selagi tidak mengganggu ketenangan dan mengotori masjid, seperti halnya membuat gaduh atau menajiskan tempat ibadah. Tetapi dalil ini bukan menjadi alasan untuk mengusir anak-anak dari lingkungan masjid.

Rasulullah sebagai panutan telah mencontohkan sering mengajak kedua cucunya Hasan dan Husain yang masih balita untuk ikut berjamaah di masjid. Begitu kata-kata sang ustadz. Bahkan kedua cucu Rasulullah pernah menaiki tubuhnya yang mulia saat sujud. “Ya Rasulullah, mengapa tadi sujudmu lama sekali?” Tanya sahabatnya.“Tadi Hasan dan Husein naik di tubuhku, aku khawatir kalau aku bangkit mereka terpelanting”.

Menjauh Dari Masjid

Mengajak anak-anak ke masjid sejak dini merupakan hal positif. Ini adalah proses menginstall kebiasaan ke masjid agar terbawa sampai dewasa. Sebaliknya, menghardik anak-anak atas nama “motabiya” adalah tindakan yang perlu dipertimbangkan. Seolah masjid hanya milik orang dewasa untuk melepas kerinduan. Alih-alih membentak, lebih baik menegur dengan cara yang santun dan lembut. Membentak anak hanya akan membuat mereka takut dan trauma mendekati tempat melepas kerinduan itu.

Dampak perlakuan yang kasar pada anak akan terlihat ketika memasuki usia remaja, mereka lebih merasa nyaman nongkrong di persimpangan jalan atau di café. Di sana mereka diperlakukan dengan ramah. Disambut pelayan-pelayan cantik. Wi-fi gratis dan cemilan nikmat tak gratis. Pertumbuhan café dengan suasana yang artistik dan menyenangkan bak jamur di musim hujan. Berbanding terbalik dengan pertumbuhan masjid yang ramah anak.

Anak-anak sejatinya tak bisa dipaksa tertib sholat. Arifnya, orang dewasalah yang menurunkan level ibadahnya dari “motabiya” (melepas rindu) ke level “molubo” (menyembah). Biarlah di saat berjamaah taraweh, levelnya molubo. Melepas rindu dilaksanakan saat berduaan dengan yang dirindukan, tahajud di sepertiga malam, di sinilah momentum motabiya dengan sang Khalik diwujudkan, sehingga kerinduan terobati dengan sempurna dan regenerasi jamaah masjid tetap berlangsung.

Gorontalo, 12 Ramadhan 1446 H

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Arif Makmur

    Nice and Wise.

    Balas
Sudah ditampilkan semua
Tutup