Keangkuhan di Balik Simbol: Belajar dari Karung Kosong

Suaib Prawono - Koordinator GUSDURian Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampapua)

Suatu ketika, malaikat yang bertugas menghukum manusia yang bersalah melempar sebuah karung ke neraka. Karung itu tampak elok dari luar, bersih, indah, dan bahkan terlihat mencerminkan kesalehan. Namun, tiba-tiba terdengar suara dari dalam karung itu.

“Ampun, Malaikat! Kenapa engkau melempar aku ke neraka?” terdengar suara memohon.

Malaikat pun menjawab dengan tenang, “Aku hanya melempar karung ini, tidak lebih.”

“Iya, memang betul, tapi aku ada di dalamnya!” jawab suara itu, penuh ketakutan.

Malaikat kemudian berkata, “Itu bukan urusanku. Lihatlah karung ini, ketika di dunia ia tampak begitu indah, Islami, religius. Tapi ternyata, semua itu hanya bungkus belaka. Isinya… ya, ternyata kamu.”

Cerita di atas dikutip dari status akun tweeter Dr. KM. Luqman Hakim yang diupload beberapa tahun lalu. Cerita ini diduga kuat sebagai sindiran terhadap kaum agamawan yang lebih mengutamakan bungkus dari pada isi dalam beragama. Pesan cerita itu begitu jelas, bahwa apa yang tampak di luar tidak selalu mencerminkan apa yang ada di dalam.

Karung itu adalah perlambang mereka yang tampak religius dan berpegang teguh pada simbol-simbol agama, tetapi di balik tampilannya, terdapat kesombongan, keangkuhan, bahkan perilaku tidak jujur. Malaikat hanya menjalankan tugasnya, dan keindahan karung itu tak mampu menyelamatkan isinya dari neraka.

Makna lain dari cerita itu, mengisyaratkan kepada kita untuk tidak mudah percaya dengan penampilan seseorang, tak terkecuali terhadap mereka yang mengaku beragama, sebab tidak jarang tampilan pisik seseorang sering kali menipu, alias tidak sesuai dengan bentuk aslinya. Tampilan seseorang tidak selamanya bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai seseorang, demikian pula dengan kealimannya; tidak dilihat pada tampilannya.

Sisi lain dari cerita di atas menyampaikan pesan bahwa beragama secara simbolis bisa menjerumuskan pelakunya pada kesesatan. Ibadah yang dilakukan bukan untuk merayakan penyerahan diri secara tulus pada Sang Pencipta, melainkan pada perayaan simbol-simbol agama. Malaikat melempar karung ke dalam neraka bisa jadi adalah simbol pelemparan terhadap keangkuhan manusia yang lupa akan hakikat dirinya.

Lupa diri adalah akar dari kesombongan, menjadikan manusia merasa lebih tinggi, lebih suci, dan lebih benar dibandingkan orang lain. Ketika hati dan pikiran terkontaminasi oleh sifat angkuh, kita akan jauh dari kebenaran dan kebaikan. Keangkuhan juga bisa menjadi penghalang dan menutup pintu menuju keikhlasan, kedamaian, dan kearifan, serta mendorong manusia semakin jauh dari cahaya kebenaran sejati.

Demikian pula, nilai-nilai agama perlahan terkikis, tergantikan oleh kepuasan dari simbol-simbol dangkal yang hanya mementingkan penampilan, tanpa menyentuh makna mendalam dari substansi beragama. Karena itu, tak mengherankan jika kita sering kali mendapati seseorang yang tampak rajin beribadah, namun justru kerap menimbulkan kericuhan. Padahal salah satu tujuan dari beragama adalah menemukan ketenangan hidup, bukan memupuk kesengsaraan, apalagi merugikan orang lain.

Keinginan memang sering menjadi akar dari kesengsaraan, namun dengan banyak bersyukur, kita dapat melihat hidup dari sudut pandang yang lebih jernih dan tulus. Bersyukur bukan hanya soal mengucapkan rasa terima kasih, tetapi juga membersihkan hati dari hal-hal yang tidak penting, dan melepaskan diri dari beban keinginan yang berlebihan. Dengan itu, kita membuka ruang dalam diri kita untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna dan ikhlas.

Ketulusan adalah bentuk kemerdekaan sejati, yang membuat segala sesuatu, termasuk ibadah terasa lebih ringan karena tidak lagi dipandang sebagai beban kewajiban, tetapi kebutuhan jiwa yang menghubungkan kita dengan Sang Pencipta. Orang yang tulus tidak akan menjadikan ibadah sebagai ajang pamer atau simbol untuk memperlihatkan kesalehannya. Bagi mereka, ibadah adalah jalan sunyi untuk menggapai rida Tuhan, tanpa perlu pengakuan dari manusia lain.

Demikian pula, tidak penting apakah orang lain tahu seberapa saleh atau abid kita. Tujuan utama ibadah bukan untuk menarik perhatian, melainkan mendekatkan diri pada Tuhan. Justru, yang perlu kita khawatirkan adalah jika ibadah yang kita lakukan kehilangan ketulusan dan jauh dari rida Allah. Ketidaktulusan menjadi penghalang terbesar yang membuat hubungan kita dengan Tuhan terasa hampa.

Beragama pada dasarnya adalah hal yang sederhana, yaitu tentang hubungan tulus antara manusia dan Tuhannya. Namun, kesederhanaan ini sering kali menjadi rumit karena dorongan untuk memamerkan simbol-simbol keagamaan, yang akhirnya menggeser esensi ketulusan. Ketulusan adalah inti dari keberagamaan, membawa kedamaian dan makna sejati tanpa beban kepura-puraan atau pencitraan. Meski tidak kasat mata, ketulusan menjadi perjuangan penting untuk menjalani ibadah dan hidup yang penuh kedamaian, bukan sekadar tampilan luar yang kosong.

Penulis: Suaib Prawono – (Korwil GUSDURian Sulawesi, Maluku dan Papua)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup