Benarkah Kerajaan Gorontalo Itu Ada, di Mana Istananya?
Ini adalah pertanyaan yang sering terlontar. Satu pertanyaan dari banyak orang. Pertanyaan yang bisa jadi ada jawabannya, atau belum ada jawaban. Jawabannya susah ditemukan. Yang menjawabnya juga entah siapa. Jawaban yang ada membawa kita terbang membayangkan kerajaan Majapahit atau Kerajaan Sriwijaya yang menjangkau Singapura dan Malaysia.
Tak usah jauh-jauh. Sistem kerajaan (kesultanan) pada provinsi DI Yogyakarta masih berlaku. Bangunan istana (keraton) nya masih berdiri tegak. Bukti artefaknya ada. “Kerajaan Gorontalo tak memiliki bukti itu. Sehingga terkesan hanya cerita dongeng saja, dongeng pengantar tidur. Fakta-faktanya belum bisa meyakinkan”. Ujar sahabat saya.
Dari banyak literatur, dituliskan bahwa Gorontalo memiliki dua kerajaan besar yang menghimpun 5 kerajaan kecil menjadi satu kesatuan. Sebagaimana tertera dalam ikrar “uduluwo limo lo pohalaa”. Selain 7 kerajaan itu, masih banyak lagi kerajaan-kerajaan kecil di bawahnya. Nama-nama para raja pun diurut sedemikian rupa. Sebegitu banyaknya. Lengkap dengan tahun berkuasa. Apakah wilayah Gorontalo dengan penduduk sedikit ini benar adanya terdiri dari sekian banyak kerajaan?
Mereka-reka Jumlah Penduduk Kerajaan
Penduduk Gorontalo dewasa ini sekitar 1.200.000 jiwa. Mari kita hitung jumlah penduduk kerajaan Gorontalo yang dipimpin Wadipalapa atau Ilahudu tahun 1385. Sekitar 640 tahun yang lalu. Saya masih lupa-lupa ingat rumus pertumbuhan penduduk pada mata kuliah Kependudukan semasa kuliah di IPB: P=P0×(1+r)tP=P0×(1+r)t. Dengan rumus yang diajarkan ibu Eka dan pak Rusli ini dapat saya perkirakan jumlah penduduk saat itu sekitar 235.000 jiwa. Agaknya sudah memadai sebagai sebuah kerajaan.
Tetapi jumlah itu kalau dibagi dengan kerajaan Suwawa, Limboto, Atinggola dan Bumbulan hasilnya 47.000 jiwa. Masih cukuplah untuk kerajaan kecil. Bandingkan dengan penduduk Kesultanan Yogyakarta saat ini sekitar 3.700.000 jiwa, yang dipimpin oleh seorang Sultan. Maka saya lebih meyakini bahwa raja-raja yang disebutkan dalam sejarah Gorontalo itu barangkali levelnya pak camat atau pak kades saat ini.
Mulai Menemukan Jawaban
Siang itu saya menyimak siaran radio budaya. Tepatnya RRI Pro 4. Saya mendengar obrolan budaya dari beberapa narasumber. Saya tidak ingat namanya. Tapi yang saya ingat jawabannya atas pertanyaan pendengar. Pertanyaannya seperti judul tulisan ini. Jawaban sang narasumber cukup masuk akal. Saya Pun terangguk-angguk dibuatnya.
Kurang lebih begini penjelasannya; “Pada masa kerajaan Gorontalo, belum ada bangunan permanen. Belum ada semen untuk mendirikan bangunan. Adanya bangunan rumah panggung, yang terbuat dari bambu dan kayu. Rumah raja saat itu, atau yang dikenal dengan istana, adalah rumah panggung yang terbuat dari bambu dan kayu”.
Cukup diterima nalar, bangunan dari kayu dan bambu pasti tidak akan bertahan lama. Tak meninggalkan bekas. Lapuk dimakan rayap. Itulah alasan narasumber tersebut untuk menyimpulkan, tidak ada sisa-sisa artefak budaya yang menunjukkan adanya bangunan istana. Jawaban itu untuk sementara saya pendam. Saya simpan. Meskipun belum sepenuhnya memuaskan.
Kelas Sosial di Masjid
Ketika masuk masjid agung Limboto atau mesjid besar Telaga. Tampak berdiri megah di tengah shaf depan, sebuah mimbar. Mimbar ini membelah shaf menjadi dua sisi. Sisi kanan saat menghadap kiblat adalah tempat duduknya para umara (khalifah). Semakin tinggi posisinya, tempat duduknya lebih dekat dengan mimbar. Misalnya Pak Bupati, Pak Kadis, kemudian pak Camat, Pak Kades, dan seterusnya.
Sementara sisi kirinya tempat duduk ulama (ulama/tokoh agama). Mulai dari yang dituakan, ilmu agamanya mumpuni dan seterusnya. Pada sisi kiri ini sebagian memakai pakaian adat. Ada yang berwarna hijau dengan penutup kepalanya berwarna kuning keemasan dan baju hitam dengan penutup kepala batik. Menurut yang saya dengar, mereka adalah para pemangku adat dan tokoh agama. Ada pula yang menyebut bate.
Saya kurang paham sebutan dan susunannya. Yang ingin saya sampaikan bahwa terdapat kelas sosial di dalam masjid. Mimbar megah sebagai gambaran tahta atau singgasana sang raja. Padahal yang kita pahami, di dalam masjid hanya ada dua golongan. Imam dan makmum. Tambahannya masbuk, makmum yang terlambat.
Apakah ini menyalahi sunnah? Saya selalu berpikir positif. Lalu nalar saya berjalan. Kenapa ada pemisahan jamaah berdasarkan kelas sosial. Kenapa Pak Bupati dan jajarannya berada di sisi kanan mimbar? kenapa Pak Camat juga demikian posisinya di masjid besar kecamatan? Pun Pak kades/Lurah di masjid jami desa/kelurahan.
Masjid Miniatur Istana
Detik-detik pelaksanaan ibadah sholat dimulai, salah seorang yang berseragam adat. Mungkin ini yang disebut Bate, maju ke depan mihrab dan menghadap khalifah sambil memberikan penghormatan (molubo), layaknya penghormatan kepada maharaja. Memberitahu bahwa sholat akan dimulai.
Iqomah, ternyata harus seijin khalifah. Baiklah, ini adalah bentuk penghormatan kepada khalifah. Tapi kan di dalam masjid? Apakah ada sunnah yang menjelaskan demikian adanya para sahabat di depan Rasulullah? Tak perlu jauh-jauh, pada masjid-masjid besar di daerah lain, kalau mau iqomat, ya tinggal di iqomat saja. Atau menunggu petunjuk waktu hitung mundur pada layar atau jam masjid.
Lihat pula pada 2 hari raya. Misalnya di masjid Baitur Rido Talaga Jaya. Sebelum sholat id, khalifah (pak camat), imam dan para bilal diarak dengan tarian “langga” dari rumah dinas camat menuju masjid yang persis di depannya. Para pelangga seperti pengawal raja, mereka diiringi tabuhan rebana menelusuri jalan menuju masjid yang dihiasi dengan janur kuning.
Terdapat pula tangga adat lengkap dengan simbol 2 ekor buaya dari bambu kuning. Rombongan itu berjalan beriringan sambil bertakbir. Sebelum sholat dimulai, sang bilal memberikan pengumuman, seperti kepada seluruh rakyat kerajaan (monggumo, monggumo, monggumo) yang kurang lebih maknanya, pengumuman atau perhatian…
Tersambunglah apa yang saya amati di masjid ini dengan sistem kerajaan (kesultanan). Saya kemudian memberi tafsir terhadap hasil pengamatan ini. Di sinilah istana itu ternyata. Masjid bagi kerajaan/kesultanan Gorontalo dijadikan sebagai tempat sholat sekaligus miniatur istana.
Di dalam masjid, tergambarkan sistem pemerintahan buatula towulongo (3 unsur pemerintah) sebagai bukti bahwa masjid digunakan sebagai istana raja. Secara historis dalam berbagai literatur dapat ditemukan uraian bahwa Rasulullah menjadikan masjid sebagai tempat pertemuan, tempat musyawarah dan menyusun strategi perang, tempat pengobatan orang sakit, tempat dakwah dan madrasah.
Pendeknya, pada zaman Rasul SAW, masjid dengan segala aktivitasnya menyatu dengan realitas kehidupan. Hanya kemudian pada zaman pemerintahan modern, urusan keumatan dan kenegaraan mulai dipisahkan. Bahkan tidak boleh mencampur-adukkan antara urusan keumatan dengan urusan kenegaraan.
Itu sebab ketika mantan capres Anies Baswedan memberi ceramah politik di masjid UGM belum lama ini, banyak mendapat tanggapan miring dari kalangan istana (pemerintah). Intinya, “Jangan bicara politik di dalam masjid”.
Fakta ini cukup menjelaskan, bahwa kerajaan Gorontalo itu benar adanya. Ada raja Amai yang namanya diabadikan menjadi nama perguruan tinggi Islam. Raja Amai membangun masjid berbahan dasar kayu dan bambu. Patut diduga, disitulah sang raja Islam pertama itu memerintah rakyatnya.
Demikian selanjutnya pada masa Raja Botutihe dan puncaknya pada masa Raja Eyato. Yang pasti, sisa-sisa sistem kesultanan itu masih ditemukan di ruang-ruang masjid hingga sekarang, sebagai jawaban atas pertanyaan dalam judul tulisan ini. Wallahu a’lam Bissawab.
Gorontalo, 17 Ramadhan 1446 H
Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)
Tinggalkan Balasan
1 Komentar
-
Iksan
Sisa pondasi dari kerajaan Gorontalo ada kak, bisa di cek di belakang masjid Baiturrahim, yang ketika dicocokkan pula dengan sketsa kerajaan gorontalo, tepat disitu kak..