Mongo Bunggili; Janda-janda Miskin di Sekitar Kita

Emak-emak di sebuah desa konoha - FOTO: Microsoft Designer

Notifikasi Mobile banking berbunyi. THR yang dinanti-nanti akhirnya cair. “Bagi-bagi sup”. Pinta Aba Danggu memelas. “So ada depe pos-pos ini aba; kadera, gorden, kukisi, baju lo anak-anak, malo ludes”. Seru Dangi setengah cemberut. “Bunggili skali ngana ini”. Semprot Aba Danggu sambil berlalu.

Merujuk kamus Prof. Mansur Pateda, kata “bunggili” disebutkan 5 kali dan hanya diberi 1 arti “kikir”. Kata kikir dalam bahasa Indonesia memiliki sinonim pelit dan bakhil, tetapi penekanannya berbeda.

Dalam bahasa Gorontalo pun bukan hanya bunggili. Ada beberapa kata yang menunjukkan 4 tingkat keparahan penyakit hati ini. Level pertama bunggili. Kata ini paling netral dan umum digunakan, tanpa konotasi yang terlalu negatif. Ini standar. Orang yang kikir terhadap sesuatu biasalah. Apalagi orang hidupnya pas-pasan (bohepopo intilolo).

Level kedua adalah “bungguwongo”. Bungguwongo biasanya diimbuhkan pada kata bunggili itu sendiri. “Bunggili bungguwongo ngana ini”. Kata ini sedikit lebih informal, tetapi masih dalam batas yang cukup ringan. Merujuk kamus Prof. Mansur, kata “bungguwongo” sebetulnya bagian belakang dari parang atau pedang yang tidak tajam.

Level ketiga adalah “pi’ita”. Prof. Mansur tetap memberi arti kikir. Dalam kehidupan sehari-hari, kata ini hanya sewaktu-waktu digunakan. Maknanya sangat-sangat pelit. Menunjukkan keengganan yang lebih kuat untuk berbagi atau mengeluarkan uang. Dangi Rami sudah hampir mengidap penyakit pi’ita ini.

Yang terakhir adalah “botu”, makna aslinya batu. Pelitnya sekeras batu. Apapun itu, orang mau pinjam atau meminta sama saja. Meminjam sandal, atau meminta sebatang rokok, tidak sudi memberi. Demikianlah kerasnya batu. Ungkapan ini memiliki konotasi yang lebih kuat dan negatif, menunjukkan keengganan yang ekstrem.

Kata botu ini paling kasar. Lazimnya digunakan dalam konteks yang sangat informal atau bahkan menghina. Orang berpunya atau memiliki harta tetapi enggan berbagi sekecil apapun, akan diberi predikat “te botu”.

Jadi, kata pi’ita dan botu ini biasanya ditimpakan kepada mereka yang berpunya tetapi enggan berbagi. Sedangkan kata bunggili umumnya disematkan kepada orang kebanyakan. Mereka yang memiliki keterbatasan sumberdaya ekonomi, sehingga enggan berbagi. Bunggili sebagai strategi bertahan hidup.

Oleh sebab itu, kata bunggili dijadikan istilah kepada mereka yang tak berpunya. “Mongo bunggili”. Walkhusus kepada janda-janda tua yang tidak produktif. Hidupnya sangat tergantung pada belas kasih orang lain. Mengharap uluran tangan kaum kerabat yang berhati mulia.

Meski tak berpunya, mereka tidak pernah meminta-minta. Mereka datang bersilaturrahmi ke sanak famili atau tetangga yang berkelebihan. Jalan berdua atau bertiga sesama mongo bunggili. Tanpa harus ditanya. Tuan rumah yang paham akan segera beraksi. Memberi 1-2 liter beras atau sejumlah uang untuk membeli sandal jepit.

Mongo bunggili biasanya tidak memiliki anak, atau punya anak tetapi sama-sama miskin (hepo ayabe liyo). Bisa juga punya anak tetapi tak dipedulikan. Padahal berpendidikan, punya kedudukan, hanya minim pengetahuan agama.

Demi menjaga harkat dan martabat, janda-janda tak berpunya ini tidak disebut “tawu misikini”, orang miskin. Sebab orang miskin biasanya masih kuat berusaha tetapi tidak punya akses terhadap sumberdaya ekonomi.

Ilmuwan sosial membagi orang miskin (kemiskinan) dalam 3 kategori. Pertama kemiskinan natural, adalah orang-orang yang menjadi miskin karena faktor alamiah, misalnya karena cacat fisik dan mental, juga karena sumberdaya alam yang gersang. Jumlah orang miskin kategori ini sangat sedikit.

Kategori kedua adalah kemiskinan kultural. Dalam kategori ini, orang-orang menjadi miskin karena faktor budaya. Miskin turun-temurun. Miskin karena merawat budaya malas (bantila), bangun kesiangan, ngopi pagi berjam-jam, menjual lahan dan ternak ketika butuh uang cash. Akhirnya terlilit hutang, dan jatuh miskin. Jumlah kategori ini lebih banyak daripada ketegori pertama.

Kategori ketiga kemiskinan struktural. Inilah kategori yang terbanyak di Indonesia. Mereka terlahir dari struktur sosial yang timpang secara ekonomi. Kelas atas yang jumlahnya sedikit sangat mendominasi sumber-sumber ekonomi dalam skala besar. Sementara kelas bawah memperebutkan sumberdaya ekonomi yang tersisa, kecil-kecilan.

Kemiskinan struktural juga disebabkan oleh birokrasi yang korup. Bayangkan saja, pemerintah pusat merancang bantuan sebesar gunung, menggelinding ke bawah melewati kementerian, instansi dan dinas terkait, berakhir di desa dan kelurahan, tiba di masyarakat kecil tinggal butiran pasir dan debu.

Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara. Demikian amanah konstitusi. Yang dipelihara negara justru miskinnya. Sedikit-sedikit diberi. Diberi bantuan sedikit-sedikit, jelang pemilu. Mereka jadi pemuja sang penguasa. Penguasa yang bagi-bagi bansos.

Dulu, disebut orang miskin, bikin tersinggung, kemiskinan dianggap sebagai aib, memalukan, terisolir, tak dianggap keluarga. Tetapi sekarang, warga berlomba-lomba mengaku orang miskin, agar mendapat bansos.

Karena tak kuat antrian, karena tak mengerti persyaratan, kaum mongo bunggili tak tersentuh, mereka tak pernah naik kelas. Hampir tak pernah bernafas lega. Untungnya, mereka bisa tidur pulas, meski perutnya keroncongan.

Mongo bunggili inilah yang disantuni Nabi yang Mulia. Diberi makan, pakaian. Agar tidak menimbulkan fitnah, mereka diperistri oleh Rasulullah. Ada yang ikut menyantuni tetapi perempuan-perempuan muda dan cantik yang masih produktif di dunia kerja. Orientasinya bukan menyantuni, tetapi yang lain. Salah kaprah mengikuti sunnah Nabi ini berdampak pada semakin banyaknya stok mongo bunggili.

Janda-janda tak produktif ini dilabeli dengan kata “bunggili” karena mereka tidak punya apa-apa. Kaum pelit, wajar saja mereka pelit. Tak mungkin bisa berbagi. Makna lainnya adalah. Mereka menjadi tak berpunya karena orang-orang sekelililng mereka bersikap bunggili, bungguwongo, pi’ita dan botu. Mereka bukan hanya korban struktur sosial. Melainkan pula Korban ketidakadilan gender.

Dulu mereka dikungkung suami pada urusan domestik. Dilarang kerja padahal masih enerjik. Gajinya pasti besar andai diijinkan bekerja. Walhasil, suaminya cepat wafat, tak meninggalkan harta. Setelah menjanda, karena jarang merias diri, tak ada yang berminat.

Dalam Islam dianjurkan berinfaq dan bersedekah. Disalurkan kepada kedua ibu bapak, kaum kerabat, orang-orang miskin, baik yang meminta-minta maupun tidak. Jika perintah agama ini dijalankan dengan baik, tak ada lagi orang miskin yang berkeliaran, tak ada peminta-minta yang berseragam badut di lampu merah, dan tak ada mongo bunggili di sekitar kita.

Mumpung bulan Ramadhan, apalagi THR sudah cair, mari kita dahulukan hak-hak mongo bunggili di sekitar kita. Kalau tak berhasrat mempersunting mereka, santunilah mereka walau hanya seharga sandal jepit.
Selamat berbagi.

Gorontalo, 18 Ramadhan 1446 H

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si – (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup