Mobangu Dulota; Duet Adzan Pada Pertengahan Ramadhan
Hari ini sudah masuk 15 Ramadhan. Malam pertengahan Ramadhan oleh orang Gorontalo disebut sebagai “Huwi lo Qunu” atau malam qunut. Sejak malam itu, setiap rakaat pertama, imam shalat tarawih membaca surat al-Qadr dan pada rakaat terakhir shalat witir, imam membaca doa qunut.
Ada yang unik pada malam qunut, yaitu duet azan atau “mobangu dulota” yaitu adzan yang dikumandangkan oleh dua muadzin dengan irama khas (lahu mulolo). Irama sendu yang hanya terdengar setahun sekali. Muadzin tidak boleh dadakan, harus hafal betul lagu dan intonasinya agar seiring sejalan.
Momentum itu menjadi perhatian jamaah. Demi menyaksikan duet adzan yang langka tersebut, jamaah kembali melimpah setelah beberapa terakhir mengalami penurunan. Hingga kini, masih ada masjid yang konsisten melaksanakannya. Sampai sekarang pula, saya belum menemukan jawaban yang menjelaskan maknanya.
Ketika ditanya kepada orang-orang tua, kenapa adzan dilakukan oleh 2 orang? Jawabannya tidak memuaskan. “Odiye pilohutu mayi lo mongo panggola”. (Seperti ini yang dilakukan oleh para leluhur).
Untuk menemukan jawab, penulis mencoba searching dengan gonta-ganti kata kunci. Salah satu yang ditemukan adalah tanya jawab seputar Islam pada situs https://islamqa.info/id. Ulasannya belum melegakan dahaga penasaran.
Ulasannya menggunakan istilah “azan berjamaah”. Istilah ini memiliki dua pengertian utama yang sering diperdebatkan dalam praktiknya. Pertama, azan yang dilakukan oleh sekumpulan muazin secara serempak dengan satu suara di satu tempat, seperti di pelataran masjid.
Praktik ini dianggap sebagai bid’ah munkar atau inovasi yang tercela dalam agama, sebagaimana ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama lainnya. Mereka sepakat bahwa azan seperti ini tidak disyariatkan dan menyalahi sunnah Nabi. Bahkan, praktik ini pernah dilakukan di masa lalu, seperti di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, namun akhirnya dihapuskan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Selanjutnya, azan yang dilakukan oleh beberapa muadzin dari berbagai sisi masjid yang luas, bertujuan agar suara azan dapat menjangkau lebih banyak orang di sekitar masjid. Praktik ini diperbolehkan oleh sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i, jika memang ada kebutuhan, misalnya ketika masjid sangat besar dan rumah-rumah penduduk berjauhan.
Namun, di era modern ini, kebutuhan tersebut dianggap tidak relevan lagi karena teknologi pengeras suara sudah sangat memekakkan telinga, bahkan penggunaannya sempat menjadi kontroversi pada masa Yaqut Cholil Qoumas menjadi Menteri Agama di era Jokowi.
Jika Yaqut menertibkan pengeras suara karena dikritik oleh masyarakat sekitar masjid dengan alasan yang beragam, sementara para ulama mengkritik keras praktik adzan serempak dengan satu suara karena dianggap menyalahi sunnah dan tidak memiliki dasar dalam syariat.
Tak puas dengan jawaban itu, penulis mencoba menelusuri praktik-praktik Islam Nusantara. Bertemulah fakta yang lebih mencengangkan. Bukan lagi duet adzan, tetapi semacam vokal grup. Tradisi Adzan Pitu namanya. Persis hitungan ketujuh dalam bahasa Gorontalo. Adzan Pitu di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon dikumandangkan oleh tujuh orang. Ada tujuh orang berpakaian jubah putih-putih berdiri di antara dua pilar sokoguru masjid, mereka adalah tujuh orang muazin yang akan melantunkan azan secara bersamaan, sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu yang masih lestari sampai sekarang.
Rupanya tradisi ini sangat dinanti banyak jamaah, begitu azan dilantunkan beberapa dari mereka ada yang merekam video atau memotretnya, sedangkan sebagian besar jamaah lainnya menyimak dengan khidmat. Azan dilantunkan dengan tujuh alunan nada berbeda oktaf yang terdengar unik. Nada suaranya seperti efek pitch shifter dalam balutan harmoni. Tulis Prima Mulia pada situs https://bandungbergerak.id/.
Tradisi adzan pitu sebagaimana dijelaskan Kanuy@nurirahayu pada platform tiktok, dimulai pada sejak masa Sunan Gunung Djati, saat wabah penyakit berjangkit di sekitar lingkungan keraton yang menyerang 3 muadzin mati mendadak secara beruntun. Ada dugaan sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang menolak pembangunan masjid.
Untuk mengusir sihir, Sunan meminta melantunkan azan. Mula-mula 2 orang, lalu 3-5 orang, tetap belum ada perubahan. Hingga akhirnya 7 orang. Saat adzan dikumandangkan oleh tujuh muadzin, terdengar suara ledakan di menara masjid. Kekuatan sihir lenyap. Sejak itu tradisi ini terus lestari. Adzan pitu setiap hari Jumat sampai sekarang.
Penjelasan ini masih belum menjawab tanya penulis. Konteksnya berbeda, Adzan Pitu dilaksanakan pada hari Jumat untuk mengusir kekuatan sihir. Sementara duet adzan di Gorontalo dilaksanakan pada huwi lo qunu. Praktik ini hanya dilakukan setahun sekali, hanya pada hari ke 15 Ramadhan. Para ulama sudah jelas membid’ahkan praktik ini. Tetapi sebelum punah dari bumi Gorontalo, penulis ingin memberi tafsir dengan kacamata budaya, bukan perspektif hadis apalagi Qur’an.
Azan dalam bahasa Gorontalo diartikan “bangu”, dari kata “bongu” yang bermakna bangun. Dengan demikian mobangu atau melantunkan azan bertujuan membangunkan orang tidur. Segera bangun untuk sholat. Kenapa adzan dimaknai sebagai membangunkan orang tidur? Bukankah membangunkan tidur hanya tepat dilakukan pada sholat subuh?
Ternyata, masyarakat Gorontalo memiliki budaya tidur siang. Masa lalu, pedagang menutup warung pada siang hari untuk istirahat siang. Masa kini masih ada sisa-sisanya. Itu sebab, azan menjadi media untuk membangunkan warga yang tidur pada waktu zuhur dan ashar.
Lantas kenapa pada malam qunut, mobangu dilakukan oleh dua orang muadzin? Bukankah belum ada yang tidur saat itu? Kenapa hanya 1 malam saja? Secara sosio kultural dapat ditafsirkan bahwa duet adzan pada malam qunut adalah sebagai penanda bahwa ramadhan telah memasuki pertengahan bulan. Sebentar lagi akan mencapai final. Sementara jumlah jamaah yang melaksanakan shalat isya dan tarawih semakin surut.
Dengan demikian, adzan dua orang sebagai peringatan kepada umat Islam untuk terus menjalankan sunnah-sunnah ramadhan. Bukankah godaan dunia semakin tak terbantahkan menjelang akhir ramadhan? Maka azan oleh 2 orang muazzin bertujuan untuk memompa semangat jamaah agar 2 kali lebih semangat hingga meraih idul fitri. Boleh begitu?
Gorontalo, 15 Ramadhan 1446 H
Penulis : Dr. Momy Hunowu (Dosen Sosiologi Agama IAIN Gorontalo)