#KaburAjaDulu: Fenomena Hijrah Kekinian
Akhir tahun 2024, muncul tagar #KaburAjaDulu di platform X (dulu Twitter). Sebagaimana dilansir berbagai media online, awalnya, tagar ini kontennya bernuansa positif. Banyak anak muda yang saling berbagi info soal Lowongan kerja di luar negeri, cara dapat beasiswa dan tips biar tidak mengalami culture shock pas pindah ke negara lain. Pokoknya, semua hal yang berhubungan dengan kesempatan buat hidup di luar negeri.
Tapi, lama kelamaan, arahnya berubah. Tagar ini jadi semacam tempat mencurahkan isi hati (curhat) soal masalah-masalah pelik di Tanah Air. Sebut saja soal harga kebutuhan pokok yang makin tak terjangkau rakyat kecil, pajak yang makin mencekik, lapangan kerja yang tak sesuai dengan janji kampanye, dan yang parah adalah praktik korupsi yang semakin menggurita. Tak main-main dan tak tahu malu.
Lantaran dihantui masalah-masalah inilah, tak sedikit anak muda yang mulai berubah pikiran, “Molahipo po’olo”. “Mopo’o lamingopo teye”, “Kayaknya hidup di luar negeri lebih enak deh.” Pada akhirnya, tagar “KaburAjaDulu” ini menjadi semacam simbol kekecewaan dan keinginan untuk mencari kehidupan yang lebih baik di tempat lain.
Kekecewaan anak muda melalui tagar “KaburAjaDulu” lantas menjadi viral di berbagai platform media sosial. Sindiran ini cukup menjewer kuping kalangan istana. Alih-alih memberi solusi, beberapa pejabat malah menanggapinya dengan nada ejekan: “Nggak usah balik”, “Kabur sajalah, kalau perlu jangan balik lagi”. “Saya malah meragukan keindonesiaan kalian”, “Tetolo, didu pohuwalingayi”, dll.
Apa yang dilakukan anak-anak muda adalah bentuk pemberontakan yang tak berdarah-darah. Ini adalah gaya demokrasi era new media. Tak perlu lagi berhadap-hadapan dengan aparat keamanan. Tak perlu lagi orasi yang menguras energi. Orasi berapi-api, masuk telinga kiri keluar telinga kanan penguasa.
Hijrah Rasulullah
Fenomena “KaburAjaDulu” sudah terjadi pada zaman Rasulullah. Seiring dengan semakin banyaknya pengikut Nabi, tekanan dari kaum Quraisy di Makkah semakin meningkat. Mereka mulai menganiaya umat Islam, yang membuat situasi semakin tidak aman.
Tersiar kabar bahwa kaum Quraisy merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Dalam situasi genting ini, beliau memutuskan untuk hijrah ke Madinah. Dikutip dari berbagai sumber, pada malam 12 Rabiul Awal tahun 622 M, Nabi Muhammad dan Abu Bakar meninggalkan Makkah secara diam-diam. Mereka mengambil rute yang aman untuk menghindari pengejaran.
Setelah perjalanan yang penuh tantangan, Nabi Muhammad tiba di Madinah pada 24 September 622 M. Kedatangan beliau disambut dengan penuh suka cita oleh penduduk Madinah, yang dikenal sebagai Ansar.
Di Madinah, Nabi Muhammad mulai membangun komunitas Muslim yang solid, menyusun Piagam Madinah yang mengatur hubungan antara Muslim dan non-Muslim, serta mendirikan masjid sebagai pusat kegiatan umat.
Kabur dari Rumah
Banyak anak muda mulai mencari identitas diri atau sesuatu yang berbeda agar dianggap. Anak muda merasa bahwa “KaburAjaDulu” adalah solusinya. Dalam beberapa kasus, anak muda melarikan diri karena mengalami kekerasan; seperti babak belur dihajar ayah, tertekan karena sering diomelin ibu, atau pelecehan seksual oleh orang terdekat. Akhirnya, terjadilah kehebohan seisi rumah karena kaburnya sang buah hati.
Kabur semacam ini tanpa rencana yang jelas, gambling saja, tak memiliki perbekalan yang cukup sehingga ada dua kemungkinan di kemudian hari, pertama; dengan modal semangat tinggi, akhirnya sang anak menjadi sukses dalam pelariannya. Kedua, tinggal di tempat yang salah, walhasil malah menjadi buruk, hingga berpeluang besar menjadi pelaku tindakan kejahatan; jadi tukang jambret, pelaku prostitusi, pembunuh bayaran, dan akhirnya masuk bui. Naudzubillah min dzalik.
Merantau
Ada pula yang kabur dari rumah atau meninggalkan kampung halaman dengan alasan merantau, mencari hidup yang lebih baik. Inilah kategori “KaburAjaDulu” yang turun secara baik-baik. Mendapat restu kedua orangtua dan memiliki perbekalan yang cukup. “KaburAjaDulu” kategori ini mendapat sokongan, terkontrol dengan baik sehingga sang anak kembali membawa hasil.
Momentum mudik biasanya menjadi daya tarik anak muda untuk ikut “KaburAjaDulu”. Ketertarikan ini lantaran penampilan berbeda para perantau ketika pulang kampung. Mereka yang dulu kelihatan kampungan dan apa adanya, kini tampil memukau, laksana para selebriti papan atas.
Padahal sejatinya, tak sedikit dari mereka yang berjibaku dengan pekerjaan rendahan di daerah rantau. Terutama bagi perantau yang berpendidikan rendah dan minim keterampilan. Mereka tak keberatan dengan pekerjaan hina ini: “Tak apalah dibentak-bentak majikan, disiksa dan aniaya selama bekerja, asalkan pulang kampung membawa cuan melimpah”.
Polahi Gorontalo
“KaburAjaDulu” pernah dilakoni sebagian warga Gorontalo pada masa penjajahan Belanda. Ini adalah kategori “KaburAjaDulu” yang paling parah bin aneh. Merajuk dan ngambek. Lopole’e, istilah orang Gorontalo.
Adalah suku Polahi, mereka adalah pelarian yang masuk hutan dan tak pernah kembali. Lantas membentuk entitas baru. Polahi kabur tidak sampai ke luar negeri, tetapi bersumpah untuk tidak balik-balik lagi ke kampung halaman.
Menurut Prof. Mansur Pateda (1977;163), Polahi berasal dari kata lahi (lahi-lahi) yang artinya “pelarian” atau “sedang dalam pelarian”. Secara terperinci dijelaskan bahwa polahi adalah pelarian pada zaman Belanda karena takut membayar pajak. Mereka kabur ke hutan belantara di lereng gunung Boliyohuto Kabupaten Gorontalo.
Hingga kini, keturunan pelaku “KaburAjaDulu” zaman Belanda itu masih tetap bertahan tinggal di hutan. Sikap anti penjajah tersebut masih terbawa terus secara turun-temurun, sehingga orang lain dari luar suku Polahi dianggap sebagai penindas dan penjajah.
Di daerah barunya, polahi kawin mawin sedarah, tak ada yang melarang. Ada ayah menikahi putrinya, ada anak lelaki mengawini ibunya, ada adik menikahi kakaknya. Persis perilaku ayam dan kucing. Ajaibnya, anak-anak keturunan mereka untuk sementara ini tidak mengalami keterbelakangan mental.
Berbagai informasi yang sudah ada mengenai polahi, terkonfirmasi dengan hasil riset Dr. Samsi Pomalingo yang bertemu langsung dengan keturunan pelarian zaman dahulu itu. Kakek nenek mereka melakukan eksodus ke hutan karena ketakutan dan tidak rela diinjak-injak oleh Belanda. Diakui Samsi, Komunitas polahi masih eksis, sebagian sudah direlokasi ke tempat pemukiman baru dan hidup berdampingan dengan warga”.
Singkatnya, fenomena “KaburAjaDulu” selalu ada di setiap komunitas di zamannya. Hanya radiusnya yang berbeda. Ada yang nekat ke luar negeri, ada yang cukup puas ke luar daerah dan ada yang keluar kampung masuk hutan dan sekian abad barulah (anak keturunannya) kembali.
Dari berbagai pengalaman yang ada, “KaburAjaDulu” akan membawa hasil yang baik manakala ada restu orang tua (dila pole-polee), cukup pendidikan dan ketrampilan (kalesaniyolo), memiliki perbekalan yang cukup (tome-tome’u), punya jaringan yang jelas (terverifikasi) dan yang pasti iman harus kuat, sehingga pulang kampung membawa berkah sekaligus jadi sang bintang yang bersinar.
Gorontalo, 20 Ramadhan 1446 H
Dr. Momy Hunowu – (Dosen Sosiologi Agama IAIN Gorontalo)