Moluhuta Pitara: Transaksi Sosial dan Spritual
Dua lelaki tampak bergegas dari satu rumah ke rumah warga lainnya. Setiap pertengahan Ramadhan hingga jelang Tumbilotohe, Aba Danggu dan Kaita Mango masing-masing sebagai imam masjid dan kepala dusun diberi amanah untuk mengumpulkan zakat fitrah (amil zakat). Sudah belasan tahun keduanya selalu bersama mendatangi rumah-rumah warga untuk menjemput zakat fitrah.
Warga yang didatangi sudah tahu apa yang harus mereka persiapkan untuk menyambut duet amil zakat itu. Seperti di kediaman Dangi Rami sore itu, mereka sekeluarga duduk melantai. Di atas gelaran tikar (amongo), sudah tersedia bara api dalam wadahnya (polutube) berikut sepiring kecil kemenyan dan 2 piring makan. Isinya bukan nasi dan lauk. Satu piring berisi beras (pale), piring kedua berisi jagung giling (ba’alo binte).
Isi piring merupakan simbol golongan pembayar zakat. Golongan 1, keluarga yang mengkonsumsi beras atau golongan mampu (kelas atas). Golongan 2 campuran nasi dan beras atau kelas menengah dan golongan 3 mereka yang masih mengkonsumsi nasi jagung (ba’alo binte wambao) atau kelas bawah.
Ritual dalam Membayar Zakat
Hanya basa basi sebentar, Aba Danggu langsung menaburkan kemenyan pada bara api tempurung yang mulai redup. Seketika kepulan asap dan aroma wangi menyebar. Bibir Aba Danggu perlahan membaca berturut-turut surat al A’la, surat al-Qadr dan surat al Kautsar.
Mengapa 3 surat ini yang dibaca? Menurut Aba Danggu, surat-surat tersebut berhubungan erat dengan membayar zakat fitrah di bulan Ramadhan. Surat Al-A’la berisi ajakan mengingat kebesaran Allah dan segala ciptaan-Nya.
Dalam konteks zakat fitrah, surat ini berisi ajakan untuk selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan, membersihkan diri dari sifat-sifat buruk. Menunaikan zakat fitrah adalah bentuk pembersihan jiwa dan harta.
Surat Al-Qadr, kontennya tentang malam Lailatul Qadr, malam yang lebih baik dari seribu bulan. Momen paling istimewa dalam bulan Ramadhan untuk meraih keberkahan. Membayar zakat fitrah adalah salah satu cara meraih keberkahan dan ampunan Allah.
Surat Al-Kautsar, meski suratnya terpendek dalam Al-Qur’an tetapi menunjukkan nikmat yang banyak. Dalam konteks zakat fitrah, surat ini menjadi pengingat bahwa Allah memberikan banyak nikmat. Sebagai bentuk syukur, umat Islam diwajibkan berbagi. Zakat fitrah adalah salah satu cara untuk menunjukkan rasa syukur itu.
Usai membaca 3 surat, Aba Danggu melanjutkan dengan doa. Sementara Kaita Mango mengeluarkan catatannya yang sudah kumal. Tangannya tampak menggigil, menuliskan nama-nama pembayar zakat dan jumlah uang yang disetorkan.
Sebelum uang diserahkan, Suami Dangi Rami selaku kepala keluarga meletakkan uang sejumlah 4 anggota keluarganya di atas beras, sambil menggenggam lepas beberapa kali dengan harapan rezeki melimpah.
Selanjutnya menyerahkan uang kepada Kaita Mango sambil membaca niat zakat fitrah. Berturut-turut Dangi Rami dan kedua anaknya menggenggam lepas beras, membaca niat berzakat dan berjabatan tangan dengan kedua amil zakat itu.
Dewasa ini, amil zakat tidak lagi ke rumah-rumah, tetapi langsung diserahkan di masjid. Kebijakan ini meringankan tugas amil zakat. Begitu pengumuman pembayaran zakat disampaikan pada malam hari setelah sholat tarwih, keesokan harinya warga bergegas ke masjid.
Di sana sudah ada Aba Danggu dan Kaita Mango menunggu. Di depan mimbar masjid sudah tersedia dua piring berisi beras dan jagung, lengkap dengan bara api dan kemenyan.
Lelaki berjenggot tipis itu membacakan tiga surat dan doa di hadapan para pembayar zakat yang sudah berkumpul. Pembayar zakat bergilir menggengam lepas beras dan jagung lalu menyerahkan uang kepada petugas pengumpul berkulit gelap itu, lalu kembali ke rumah setelah bersalaman. Demikian dari pagi sampai sore hari sampai tak ada lagi yang datang.
Semua uang zakat fitrah yang terkumpul di masjid selanjutnya di bawa Kaita Mango ke desa untuk didistribusi kembali oleh masing-masing imam masjid dan kadus kepada yang berhak menerima.
Di daerah perkotaan, ritual seperti ini sudah jarang ditemukan. Pada umumnya pembayar zakat menyerahkan uang dalam kemasan amplop berikut nama-nama anggota keluarga. Tak ada bacaan yang diucapkan baik oleh pembayar maupun penerima zakat. Tak lebih seperti membayar cicilan.
Apalagi dengan hadirnya aplikasi mobile banking, pembayaran zakat cukup dengan cara transfer ke rekening pengelola zakat, tanpa tatap muka, tanpa interaksi sosial, apalagi silaturrahmi dan sentuhan spiritual.
Moluhuta Pitara
Leluhur Gorontalo (mongo panggola mulolo) memilih kata “moluhuto” sebagai istilah membayar zakat. Kata moluhuto dari kata “tuhuto/motuhuto” berarti menurun, “moluhuto” berarti “menurunkan”. Kata itu diimbuhi dengan kata fitrah (pitara), jadilah “moluhuta pitara”, bukan “momayari zakati”. Menurunkan zakat fitrah maknanya sangat mendalam.
Istilah moluhuta pitara dapat dimaknai sebagai tindakan menyerahkan atau mengeluarkan zakat dari harta yang dimiliki. Kata “menurunkan” memiliki makna bahwa zakat adalah sesuatu yang harus dikeluarkan dari dalam diri atau harta seseorang.
Tidak ada paksaan. Di dalamnya terkandung tanggung jawab moral untuk menyisihkan sebagian dari kekayaan untuk membantu orang lain. “Moluhuta pitara” dengan demikian, sebagai wujud sikap dermawan dan kepedulian sosial.
Di sisi lain, istilah “momayari zakati” atau “membayar zakat” lebih terkesan sebagai transaksi keuangan. Kata “membayar” sebagai penanda bahwa zakat adalah kewajiban yang harus dipenuhi. Suka atau tidak suka tetap bayar. Persis seperti membayar pajak atau menyetor di bank.
Kata membayar zakat nampaknya mengurangi nuansa spiritual dan sosial dari tindakan tersebut. Istilah membayar menjadikannya lebih bersifat administratif dan karenanya tidak memiliki nilai kesakralannya.
Dengan demikian, “menurunkan zakat fitrah” menekankan pada aspek spiritual dan sosial dari zakat sebagai kewajiban moral, sedangkan “membayar zakat” lebih menekankan pada aspek kewajiban finansial. Keduanya merujuk pada tindakan yang sama, tetapi dengan penekanan yang berbeda dalam konteks budaya dan bahasa.
Memang kampion (betapa hebatnya) para leluhur Gorontalo dalam mencipta-rumuskan konsep-konsep beragama Islam pada bumi yang mereka pijak. Sangat filosifis, mengakar dan “bergizi tinggi”.
Sakiliyo (sayangnya), satu persatu nilai-nilai kearifan itu mulai tercerabut atau kehilangan makna. Walhasil anak-anak dan cucu-cucu para leluhur hebat itu telah “kekurangan gizi” dalam berislam dengan basis kearifan lokal.
Gorontalo, 23 Ramadhan 1446 H
Penulis : Dr. Momy Hunowu, M.Si (Dosen Sosiologi IAIN Gorontalo)