Benarkah Orang Gorontalo sebegitu Bencinya terhadap Yahudi? Tanggapan untuk tulisan Funco Tanipu
Tulisan Funco Tanipu yang berjudul Yahudi, Sanksi Sosial dan Migrasi yang terbit di kanal bakukabar.id pada 4 April 2025 adalah tulisan yang bagi saya tidak menggambarkan apa-apa, selain menguatkan stigma negatif serta menembakkan tuduhan serius terhadap Yahudi (baik agama maupun komunitas) dengan dalih adat istiadat serta agama, khususnya Islam, di Gorontalo. Tulisan tersebut berangkat dari fenomena Goyang THR yang belakangan diidentifikasi sebagai tarian orang-orang Yahudi—padahal juga sebenarnya hal ini tidak jelas asal-usulnya—melalui sebuah video yang diunggah beberapa hari kemarin dalam momen Idul Fitri. Dalam tulisan tersebut, Funco menulis bahwa ia tidak ingin terjebak dalam konundrum benar-salah karena itu bukan ranahnya, melainkan memberikan perspektif antropologis tentang bagaimana orang-orang Gorontalo memaknai “Yahudi” sebagai kata yang begitu negatif. Dalam berbagai makna Gorontalo terkait kata tersebut, Funco, dengan perspektif antropologisnya menulis: “Yahudi adalah bagian dari bahasa cacian, makian dan padanan kata ‘sifat’ yang buruk.
Setelah membaca catatan tersebut, saya mengernyitkan dahi. Saya sadar memiliki pengetahuan yang begitu dangkal soal bahasa dan kebudayaan Gorontalo. Saya juga barangkali kurang “mengalami Gorontalo” sebaik dirinya. Namun bagi saya, ini adalah klaim yang serius yang meniscayakan beban pembuktian (burden of proof) yang serius pula. Sayangnya, di seluruh isi tulisan, tak saya temukan misalnya, dari mana penulis tahu bahwa Yahudi adalah kata yang terasosiasi dengan caci-maki? Siapa masyarakat Gorontalo yang dirujuknya mengatakan hal tersebut? Jika itu dari tradisi oral, pada komunitas masyarakat Gorontalo seperti apa dan kapan itu muncul? Selanjutnya, benar bahwa, di Gorontalo, tata aturan adat memang tidak tertulis, namun argumen adat istiadat mana yang jadi rujukan utamanya dan secara eksplisit menyebut bahwa hukuman bagi mereka yang ter-Yahudi-kan secara asosiatif harus dijauhi dan dikucilkan dari pergaulan masyarakat? Bahkan yang paling serius, ia menulis konsekuensi dari mereka yang telah dijauhi itu mendapat kemarahan kolektif dan “biasanya disarankan untuk mobite (berlayar/bepergian jauh)”.
Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Funco tersebut. Argumen kunci saya dalam hal ini berdiri pada premis bahwa pelembagaan atas sebuah pengetahuan dan tradisi, setidak-tidaknya, harus memiliki basis materil yang, dalam konteks ini, bisa berupa perjumpaan antara dua identitas: masyarakat Gorontalo dan orang Yahudi. Persoalannya, saya belum menemukan satupun catatan, baik kolonial maupun dalam adat istiadat, menyebut keberadaan Yahudi sebagai “agama” di Gorontalo. Sebaliknya, dalam sejarah Gorontalo, agama-agama yang seringkali disebut selain Islam, adalah Kristen—khususnya seturut kedatangan kolonial. Dengan demikian, jika tak ada Agama Yahudi di Gorontalo—atau setidak-tidaknya pernah mendengar kata Yahudi—bagaimana bisa orang-orang Gorontalo memahami bahwa kata Yahudi adalah caci-maki? Selanjutnya, tidak adanya agama Yahudi, belum tentu berarti tidak adanya komunitas Yahudi. Kontak orang Indonesia dengan komunitas Yahudi terjadi sejak abad 13 sebagai pedagang, sebelum menjadi staf dan pedagang VOC di abad ke-18.
Lanskap Agama di Gorontalo dalam Berbagai Literatur
Kita bisa melihat ada banyak catatan yang menggambarkan bahwa Islam adalah agama resmi pertama diperkenalkan di Gorontalo baik yang ditulis oleh kolonial atau sarjana kontemporer. Meskipun sangsi dengan penyebutannya, namun dapat dipastikan catatan tersebut merangkum jejak-jejak Islam sebagai agama dunia paling awal yang masuk di Gorontalo. Hal ini dapat dilihat pada catatan harian Robertus Padtbrugge, seorang Gubernur VOC, pada 16—23 Desember 1677, yang dikompilasi oleh P. A. Leupe dengan judul Het Journaal van Padtbrugge’s Reis Noord-Celebes en De Noordereilanden (1867) yang menggunakan kata Mohammedaansch’e—sebuah term untuk merujuk pada mereka yang beriman pada ajaran Muhammad/Islam—pada hampir seluruh perjumpaannya dengan orang-orang Gorontalo. Di tanggal 19 Oktober misalnya, ketika mengadakan pertemuan dengan raja lokal, Padtbrugge menulis bahwa masyarakat Gorontalo saat itu mengangkat tangan untuk berdoa yang lekat dengan ajaran “Mohammedaansch”e (hlm. 126-127).
Salah seorang misionaris Jerman, J. G. F. Riedel di dalam Die Landschaften Hulonthalo (1871) juga menulis bahwa agama yang dominan di Gorontalo adalah Islam dan sisanya adalah penganut kepercayaan nenek moyang. Meskipun demikian, ada perbedaan pandangan di antara para pencatat kolonial ini terkait Islam di Gorontalo. Bagi Von Rosenberg di dalam Reistogten in de Afdeeling Gorontalo (1876) bahwa masyarakat Gorontalo memeluk Islam sejak awal yang “kemungkinan dibawa oleh para imam dari Bugis” (hlm. 24); sedangkan menurut J. Bastiaans di dalam Het verbond tusschen Limbotto en Gorontalo’ (1938), Islam di Gorontalo dibawa masuk dari Ternate pada abad ke-16 dan menjadi daerah pertama yang masyarakatnya melakukan konversi di Sulawesi (Henley, 2005). Dalam hal ini, catatan Bastiaans menjadi rujukan utama yang paling banyak dikutip para akademisi hari ini menyebut bahwa Islam di Gorontalo pada 1520-an, persis di era kekuasaan Sultan Amai lewat pernikahannya dengan putri Palasa dan menjadi agama resmi “negeri” di masa kekuasaan Matolodulakiki pada 1550-1585 (Polontalo, 1998; El-Nino & Niode, 2003; Hasanuddin & Amin, 2012).
Selain Islam, agama Kristen beberapa kali disebutkan dalam rentang formasi Islam awal. Masih dari Die Landschaften, Riedel menulis bahwa di tahun 1670, seturut kehadiran Padtbrugge, komunitas Kristen pernah berdiri Tupa dengan nama “Koloni Tupa” yang dipimpin langsung oleh Barend Doeaoeloe (Baron Duaulu[?]) dan berada di bawah kekuasaan langsung VOC. Koloni Tupa terdiri dari kelompok masyarakat yang melakukan Migrasi dari Sulawesi Utara, khususnya Mongondow dan Kaidipang, ke Atinggola (Riedel, 1876). Kehadiran mereka di teritori Gorontalo turut diakui oleh Olongiya Eyato, terlepas dari hubungan politik antara dirinya dengan VOC pada waktu itu. Selanjutnya, pernah ada upaya Kristenisasi pada tahun 1678 oleh Padtbrugge sendiri dengan mengundang pendeta dari Minahasa untuk menyebarkan ajaran Kristen di Gorontalo (hlm. 342). Sayangnya, hal tersebut justru memperkeruh jejaring dagang yang dibentuk pemerintah kolonial dan raja-raja setempat sehingga hal tersebut dihentikan.
Sebenarnya, pemerintah Belanda pernah berupaya untuk memperluas ajaran Kristen pada abad-abad selanjutnya. Pertama dilakukan dengan mendirikan sekolah pemerintah untuk Kristen pada tahun 1866. Sekolah-sekolah ini memiliki siswa 156 di pusat Kota Gorontalo dengan staf pengajarnya adalah guru-guru dari Minahasa dan Gorontalo. Sayangnya, Riedel menulis “pendidikan ini [Kristen] seringkali terhambat oleh ketidakpedulian orang tua dan kurangnya dukungan dari pemimpin lokal”. Kedua, sebuah buku bertajuk De ZendingsEeuw voor Nederlandsch (Abad Penginjilan untuk Hindia Belanda) (C.H.E. Breijer, 1901), menghimpun surat-surat perintah Perhimpunan Misionaris Belanda. Salah satu surat yang terbit pada tahun 1891 itu bicara tentang penempatan seorang misionaris bernama A. Hulstra untuk melakukan pembinaan bersama pendeta A.C Kruyt yang telah lebih dulu tiba beberapa bulan, terhadap 365 jiwa orang Kristen di Gorontalo. Hulstra sendiri mendapat tugas untuk melakukan Kristenisasi di Limboto. Namun ia tidak berhasil karena menemukan fakta bahwa masyarakat di Limboto memiliki minat yang sangat sedikit terhadap injil karena fanatisme mereka terhadap Islam. Sayangnya, dari laporan ini, perhimpunan sendiri menyebutnya tidak becus. Sebelum ditarik kembali oleh perhimpunan pada tahun 1898 karena dinilai tidak berkembang, Hulstra mengabdikan dirinya di tengah-tengah komunitas Kristen Minahasa yang tinggal di Limboto.
Jika tidak dengan agama, bagaimana dengan adat?
Dalam catatan-catatan di atas, sejujurnya, saya tidak menemukan satupun yang menyebut ada kontak antara orang-orang Gorontalo dengan komunitas Yahudi pada masa-masa awal pembentukan Islam dan Kristen di Gorontalo. Jika demikian, lantas dari mana bukti bahwa orang-orang Gorontalo mengasosiasikan Yahudi dengan caci-maki? Ada kemungkinan bahwa fanatisme Islam menjadi faktor mengapa non-Muslim mendapat stereotipe negatif. Namun dengan sangat hati-hati, saya pikir, hal ini juga baru datang belakangan, khususnya pada awal abad ke-20 (atau boleh jadi di awal 2000-an) ketika konservatisme Islam di Gorontalo menguat (saya akan bahas ini dalam tulisan lainnya). Sebelumnya, dalam penelusuran saya, justru menemukan bahwa Islam di Gorontalo itu memiliki corak yang “sangat mistik”, dalam artian tafsir atas Islamnya dibangun berdasarkan kerangka sufistik. Kecenderungan sufisme Islam tidak berkutat pada masalah hitam-putih (namun bukan berarti melepaskan legal-formal), melainkan lebih menekankan pada aspek asketisme (penyucian diri dan kedekatan pada Tuhan).
Di lain sisi, Funco juga menyebut bahwa kata Yahudi juga memiliki makna “kebiasaan atau aktivitas melanggar batas adab atau akhlak yang digariskan dalam adat-adat Gorontalo yang bersendikan Islam”. Pertanyaan saya, adat Gorontalo mana yang persis menyebutkan bahwa kata Yahudi itu melanggar batas adab dan akhlak? Dalam konstruksi kebudayaan Gorontalo, term adat pun sebenarnya adalah jata serapan (loan word) dari bahasa Arab untuk merujuk pada kebiasaan masyarakat yang telah mengalami serangkaian proses Islamisasi.
Dalam satu makalah yang disampaikan secara elegan oleh S.R. Nur berjudul Peningkatan dan Penjeragaman Adat Istiadat Uduluwo Lou Limo lo Pohalaa dalam Pentjiptaan Masjarakat Adil dan Makmur, (Himpunan Naskah Seminar Adat, 1971), sebelum kata adat, leluhur Gorontalo mengenal lima ketentuan hukum. Pertama adalah Wu’udu, yakni sebuah ketentuan hukum yang masih dalam “batas wajar” dan dapat ditoleransi, misalnya ketika seorang Wuleya lo Lipu tidak menggunakan kopiah maka ia bisa jadi tidak dihormati oleh tauda’a (kepala kampung). Kedua adalah Bubalata, yakni “wu’udu pilo balatiyo”, atau “ketentuan batas wajar yang telah dihukumi”, seperti membalas salam. Ketiga adalah tinepo, atau kaidah-kaidah kesusilaan yang mengatur pelayanan publik bagi mereka yang memiliki jabatan. Keempat adalah tombula’o, yakni kaidah “kesopanan” yang berlandaskan pada prinsip egalitarianisme sesama manusia. Pada kaidah keempat ini, S.R. Nur dengan tegas menulis: “tombula’o adalah ‘harmonien’ atau keseimbangan antara sesama manusia, baik yang menguasai atau dikuasai”. Terakhir adalah Buto’o, yakni peradilan yang mengurusi berbagai perkara pidana dan diputuskan oleh hakim.
Saya pikir, dari kelima ketentuan hukum di atas, tak ada satupun ketentuan adat yang berkaitan langsung dengan penyebutan non-Muslim sebagai “pelanggaran terhadap adat”. Justru, ketentuan tombula’o mengafirmasi hubungan yang setara dengan sesama manusia, tanpa mempertimbangkan latar belakang agamanya. Seturut perjumpaannya dengan Islam, S.R. Nur, masih dalam makalah yang sama, bahkan menyebut bahwa “adat istiadat Gorontalo telah memiliki kesesuaian dengan Islam”. Artinya, tak banyak yang berubah dari nilai adat di Gorontalo secara an sich, khususnya dari cara mereka berinteraksi dengan orang lain, ketika Islam diperkenalkan dan mengalami berbagai perjumpaan dengan lokalitas Gorontalo. Justru, ketika mereka melanggar ketentuan ini, ada sanksi yang menunggu. Misalnya totala butolo, yang secara harfiah bermakna “sebuah kesalahan jika seseorang secara terbuka menolak adat”. Yang lebih parah, adat Gorontalo juga mengatur sanksi moril, yakni totalaa lumadu, atau sebuah kesalahan akibat membanding-bandingkan dan atau merendahkan dirinya dengan orang lain. Jadi, pengasosiasian orang lain dengan term Yahudi (atau bahkan non-Muslim secara luas) untuk menyatakan orang buruk, bukan hanya sebuah tuduhan tak berdasar, melainkan juga sebuah tindakan yang melanggar adat, alih-alih meneguhkannya.
Beberapa catatan tambahan
Komunitas Yahudi sebenarnya sudah ada sejak abad pertengahan di Indonesia, namun hanya terkonsentrasi pada beberapa tempat saja, seperti Sumatera, Jakarta, Surabaya dan Semarang. Di dalam An Obscure History (2011), Rotem Kowner menulis bahwa keberadaan orang-orang Yahudi di Indonesia punya sejarah panjang bukan cuman soal perdagangan, melainkan juga tentang tragedi pengusiran. Misalnya, pada tahun 1290, seorang pedagang Yahudi dari Mesir ditemukan meninggal di Pelabuhan Barus, Sumatera Utara. Setelah diusir dari Spanyol pada 1492, orang-orang Yahudi melarikan diri ke Portugal, namun tidak lama kemudian juga diusir dari sana. Tahun 1511, ketika Alfonso de Albuquerque merebut Malaka dan memungkinkan ekspansi Portugis di Asia Tenggara dilakukan, orang-orang Yahudi ikut serta dalam pelayaran. Mereka juga pindah agama Kristen dan tinggal di Jawa dan Goa (Makassar) untuk membentuk komunitas. Sayangnya, di tahun 1565, niat ini gagal karena adanya larangan dan pengawasan ketat dari inkuisisi pengadilan Portugis terhadap orang-orang Yahudi.
Di masa kolonial Belanda, orang-orang Yahudi pernah direkrut menjadi staf VOC. Sayangnya, pembatasan juga dilakukan oleh pemerintah Belanda. Pertama karena mereka tidak memenuhi standar untuk disebut sebagai umat beragama dan kedua, karena VOC memiliki agenda monopoli total terhadap berbagai komoditas yang dihasilkan oleh masyarakat lokal yang tidak memberikan sama sekali ruang otonom untuk mereka. Jadi, dalam beberapa kepentingan tertentu, sebenarnya yang membenci komunitas Yahudi itu sebenarnya adalah VOC, bukan orang-orang lokal. Sebaliknya, catatan Antony Reid di dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (Yayasan Pustaka Obor, 2011) bagi masyarakat lokal, jejaring dagang internasional yang dimiliki oleh para pedagang Yahudi sangat menguntungkan. Bahkan, sejak awal, pemberi kredit utama bagi masyarakat di Eropa, orang-orang Yahudi dan lembaga-lembaga keagamaan seperti monti di pieta Italia.
Dari perkembangan di atas, mengasumsikan orang-orang Gorontalo pernah bertemu dengan orang-orang Yahudi lewat jalur dagang pun, bagi saya, ini juga tak mungkin membuat Yahudi dibenci mati-matian. Mengapa? Karena mereka tidak diharapkan mengubah apa-apa selain berdagang. Mereka adalah eksodus. Sebagai tambahan, Antony Reid bahkan menulis bahwa orang-orang Yahudi di Asia Tenggara itu persis orang-orang China yang mendapatkan “status karantina”: diterima sebagai minoritas pedagang tetapi tidak banyak diharapkan akan mengubah agama penduduk setempat atau menerima agama mereka” (Yayasan Pustaka Obor, 2011, hlm. 112). Lantas, hari-hari belakangan, mengapa tiba-tiba ada klaim bahwa Yahudi itu terasosiasi dengan perilaku buruk serta caci maki? Pun dekatnya kita dengan komunitas Yahudi di Tondano, juga sepertinya tidak meniscayakan ada kontak dengan mereka.
Saya pikir, pengasosiasian semacam itu, lagi-lagi baru terjadi belakangan, seturut menguatnya sentimen negatif terhadap non-Islam karena tafsir Islam yang literal-atomistik. Tidak menutup kemungkinan hal ini juga berkait kelindan dengan situasi global yakni konflik yang terjadi antara Israel-Palestina dan berbagai negara Timur Tengah lainnya. Asumsi lainnya, boleh jadi karena orang-orang Gorontalo, dalam sejarah, memang tidak begitu menyukai Kristen—khususnya di abad ke 18-19—sehingga, menginkorporasi berbagai term untuk menghukumi semua “non-Muslim” dengan hitam-putih. Meskipun demikian, ini kasuistik sehingga tindakan tersebut tidak bisa digeneralisasi sebagai “adat” Gorontalo. Dengan demikian, konsekuensi dari proses pendefinisian ini sangat fatal, tidak hanya untuk komunitas Yahudi di luar sana, melainkan untuk orang-orang Gorontalo itu sendiri.
Tapi boleh jadi ia memiliki temuan tersendiri terkait bagaimana masyarakat Gorontalo memahami kata tersebut. Hanya saja, setidaknya ia perlu menjawab pertanyaan paling mendasar dari klaimnya, yakni dalam tafsir Islam dan adat seperti apa dan kapan kata Yahudi itu persis terasosiasi dengan caci-maki dan segala keburukan? Sejujurnya, saya benar-benar skeptis jika itu berakar sangat jauh dalam tradisi dan kosmologi masyarakat Gorontalo yang, dalam sejarahnya, memiliki kemungkinan kontak secara langsung yang begitu minim (untuk menyebut tidak ada) dengan komunitas Yahudi. Soal jogat-joget, saya pikir, posisi saya sama dengan Funco, bahwa itu bukan ranah saya sehingga, tidak relevan untuk menanggapinya lebih jauh.[]
Oleh : Tarmizi Abas, MA – (Alumni CRCS UGM Yogyakarta dan Peneliti di Inhides Gorontalo)