Post Stoicism: Antara Dikotomi Kendali dan Empati
Ada satu hal yang terus bergaung dalam kepala saya belakangan ini: bahwa hidup ini, pada akhirnya, hanyalah sebuah permainan antara apa yang bisa kita kendalikan dan apa yang tidak. Saya menemukannya pertama kali dalam ajaran Stoikisme—tepatnya dalam gagasan dichotomy of control. Tapi kemudian, saya merasa ada sesuatu yang kurang. Ada lubang kecil dalam kebijaksanaan besar ini, yang jika tidak dijahit dengan hati-hati, bisa menjadi jurang keputusasaan atau apatisme.
Stoikisme bukan ajaran yang rumit. Bahkan bisa dikatakan sangat sederhana—dan mungkin karena itu pula ia terasa begitu dalam. Para Stoik seperti Epictetus, Seneca, dan Marcus Aurelius berbicara tentang hal-hal yang sangat dekat: kesedihan, kehilangan, marah, harapan, dan ketakutan. Semua itu, kata mereka, harus dilihat dari satu lensa utama: apakah kita punya kendali atasnya atau tidak?
Epictetus pernah berkata, “Some things are up to us and some are not.” Bagi dia, kemerdekaan sejati bukanlah soal bisa melakukan apa saja, melainkan kemampuan untuk tidak dikacaukan oleh hal-hal yang di luar kendali kita. Di tangan Marcus Aurelius, ajaran ini menjadi meditasi sunyi seorang kaisar—ia menulis untuk dirinya sendiri, bukan untuk publik. Ia tahu betapa gaduhnya dunia, dan hanya dalam batin yang bening seseorang bisa bertahan.
Di zaman modern, Stoikisme tidak mati. Ia justru bangkit dalam bentuk baru—lebih praktis, lebih aplikatif. Massimo Pigliucci, seorang filsuf sekaligus ilmuwan, mengajarkan kita berdialog dengan Epictetus, seolah-olah ia teman seperjalanan dalam menghadapi tekanan zaman. Ryan Holiday, melalui The Daily Stoic, menjadikan ajaran ini sebagai vitamin harian bagi para pekerja keras, pemimpin, dan bahkan tentara yang butuh ketenangan dalam hiruk pikuk hidup.
Tapi di titik inilah saya mulai merasa ada yang mengganjal. Ketika semuanya dikembalikan pada “kendali diri” semata, maka dunia luar seperti kehilangan urgensinya. Bagaimana dengan orang lain? Bagaimana dengan tanggung jawab sosial, atau bahkan penderitaan kolektif?
Ketika Stoikisme Menjadi Terlalu Pribadi
Bayangkan seseorang berkata, “Saya tidak peduli pendapat orang lain, yang penting saya nyaman.” Atau, “Saya tidak bisa mengendalikan reaksi mereka, jadi saya tetap menjadi diri sendiri.” Kalimat-kalimat seperti ini tampak sehat, bahkan seolah penuh kebijaksanaan. Tapi apakah tidak ada batas antara keteguhan dan ketidakpekaan?
Di titik ini, Stoikisme bisa tergelincir. Ketika kendali menjadi segalanya, empati bisa terpinggirkan. Dan itulah yang membuat saya berpikir—jika Stoikisme adalah kerangka, maka ia butuh hati. Dan hati itu saya temukan dalam satu kata sederhana: empati.
Stoikisme mengajarkan kita untuk tidak dikendalikan oleh emosi dan untuk menerima apa yang tidak bisa kita ubah. Itu prinsip yang membebaskan, terutama di tengah dunia yang kacau dan penuh tuntutan. Namun, jika ajaran itu diterapkan tanpa kepekaan terhadap orang lain, kita bisa berubah menjadi dingin dan tertutup. “Menjadi diri sendiri” tanpa memperhatikan konteks sosial bukanlah kekuatan, melainkan isolasi yang tersembunyi di balik topeng kemandirian.
Empati adalah jembatan yang menghubungkan keteguhan diri dengan dunia luar. Ia bukan berarti membiarkan diri terombang-ambing oleh opini orang, tetapi memberi ruang bagi perasaan dan pengalaman orang lain untuk hadir dalam pertimbangan kita. Dalam dunia yang kompleks, seringkali kita tidak hanya butuh prinsip, tapi juga kehadiran—dan empati adalah bentuk kehadiran paling halus namun bermakna.
Maka, menjadi kuat secara emosional tidak berarti menutup diri dari perasaan orang lain. Justru sebaliknya—semakin kita mampu berdiri teguh di tengah badai, semakin besar kapasitas kita untuk menjadi tempat berlindung bagi yang lain. Keteguhan tanpa empati hanyalah kesunyian yang keras kepala. Tapi keteguhan yang penuh empati adalah ruang aman, tempat kita dan orang lain bisa tumbuh bersama.
Jadi, mungkin bukan soal memilih antara kendali atau perasaan, antara Stoikisme atau empati. Mungkin justru keduanya perlu berjalan beriringan. Seperti kerangka dan jantung dalam tubuh: satu memberi bentuk, yang lain memberi kehidupan. Kita tak hanya butuh logika untuk bertahan, tetapi juga kasih untuk benar-benar hidup.
Post Stoicism: Memadukan Kendali dan Kesadaran Sosial
Saya menyebut pendekatan ini sebagai Post Stoicism. Bukan untuk menolak Stoikisme, tapi untuk mengajaknya tumbuh. Di sini, dichotomy of control tetap menjadi pondasi. Kita tetap belajar menerima apa yang tak bisa kita ubah, dan memperjuangkan yang bisa. Tapi di atas itu, kita tambahkan satu prinsip penting: seeing through another’s eyes—melihat dunia dari mata orang lain.
Empati dalam Post Stoicism bukan berarti kita dikendalikan oleh penilaian sosial. Bukan pula mengorbankan prinsip demi penerimaan. Tetapi ia adalah jembatan: antara keutuhan diri dan keutuhan bersama. Antara keheningan batin dan gema suara publik. Ia tidak melemahkan kendali, justru memperluasnya—karena kini kita tidak hanya belajar mengendalikan reaksi kita terhadap dunia, tapi juga merespons dengan kebaikan terhadap dunia itu sendiri.
Post Stoicism lahir dari kesadaran bahwa manusia bukan hanya makhluk yang berpikir, tetapi juga yang merasakan dan terhubung. Dalam dunia yang makin terpolarisasi, prinsip-prinsip kendali diri perlu dilengkapi dengan kemampuan untuk mendengar dan memahami. Ketenangan batin tidak cukup jika tidak diiringi oleh keterbukaan batin terhadap pengalaman orang lain. Dalam kerumitan zaman ini, kebijaksanaan bukan hanya soal diam dalam badai, tapi juga berjalan bersama mereka yang diterpa badai yang berbeda.
Banyak orang menggunakan Stoikisme sebagai tameng untuk menjauh dari luka sosial—menghindari konflik, menutup telinga dari ketidakadilan, atau sekadar mengejar ketenangan personal. Post Stoicism mengajak kita untuk tetap tenang, tetapi tidak apatis; untuk tetap teguh, tapi juga terlibat. Ia mengajak kita turun tangan, tanpa kehilangan ketenangan tangan itu. Karena terkadang, cara terbaik untuk menyembuhkan diri adalah dengan menyentuh luka dunia.
Melalui Post Stoicism, kita tidak hanya bertanya: “Apa yang bisa saya kendalikan?” tapi juga, “Apa yang bisa saya pahami dari pengalaman orang lain?” Di sinilah kendali bertemu dengan kepedulian. Kita tetap menjadi subjek dalam hidup kita, tetapi subjek yang sadar bahwa hidup ini tidak dijalani sendirian. Kita adalah titik-titik kecil dalam jejaring yang lebih besar—dan semakin sadar kita akan keterhubungan itu, semakin bermakna pula kehadiran kita.
Post Stoicism bukan soal menjadi lebih baik dari Stoikisme, tapi menjadi lebih utuh sebagai manusia. Ia membuka ruang bagi prinsip dan perasaan, bagi jarak dan kehadiran, bagi keteguhan dan empati. Karena barangkali, menjadi manusia yang bijak bukan hanya tentang mampu berdiri sendiri, tapi juga mampu berjalan bersama.
Bukan Tawakal, Bukan Amor Fati, tapi Gabungan Keduanya
Dalam tradisi Islam, saya menemukan dua konsep yang sering disandingkan dengan Stoikisme: tawakal dan husnuzhan. Tapi ternyata keduanya tidak selalu sejalan. Tawakal lebih menyerupai amor fati, mencintai takdir. Sementara dichotomy of control lebih mirip dengan husnuzhan—berbaik sangka pada apa yang terjadi, bukan karena pasrah, tapi karena sadar kita tak bisa mengendalikan segalanya.
Namun dalam Post Stoicism, kita mencoba menyatukan keduanya. Kita tidak sekadar menerima, tapi juga memahami. Tidak hanya mencintai takdir, tapi juga mencintai sesama. Inilah jalan tengah—jalan batin yang tidak anti-sosial, dan jalan sosial yang tidak reaktif.
Dalam kerangka Post Stoicism, tawakal menjadi bukan hanya soal melepaskan beban kepada Tuhan, tetapi juga kepercayaan yang aktif—bahwa setiap individu punya tanggung jawab etis di tengah keterbatasannya. Sementara husnuzhan tidak lagi sekadar menjadi prasangka baik kepada Tuhan atau orang lain, tetapi juga menjadi cara pandang yang membuka kemungkinan dialog, pengertian, dan perjumpaan. Kita belajar melihat dunia sebagai ruang yang tidak sepenuhnya bisa kita atur, tetapi tetap bisa kita rawat.
Inilah titik pertemuan antara spiritualitas dan kemanusiaan. Post Stoicism mendorong kita untuk tidak hanya berdamai dengan diri sendiri, tetapi juga membangun kedamaian dengan orang lain. Bahwa ketenangan bukanlah penghindaran dari konflik, melainkan kemampuan untuk hadir secara penuh—dalam doa, dalam percakapan, dalam aksi. Kita belajar menjadi manusia yang tidak hanya kuat dalam kesendirian, tapi juga lembut dalam kebersamaan.
Post Stoicism menjembatani dua dunia: dunia batin yang mencari makna, dan dunia luar yang menuntut kehadiran. Ia memelihara keheningan tanpa mengabaikan jeritan, dan menyambut keterbatasan tanpa kehilangan harapan. Seperti dalam Islam, di mana keikhlasan bukan berarti diam, tapi keterlibatan yang penuh cinta, Post Stoicism mengajak kita menjadi pribadi yang tidak hanya sabar dalam menghadapi hidup, tetapi juga aktif mencintai kehidupan—termasuk kehidupan orang lain.
Subjek yang Tangguh, Dunia yang Lebih Lembut
Post Stoicism pada akhirnya adalah usaha untuk membentuk subjek yang tangguh, bukan hanya karena ia kuat menahan badai, tetapi karena ia tahu bahwa badai juga dialami oleh orang lain. Kita menjadi individu yang utuh, tapi juga bagian dari jaringan makna yang saling terhubung.
Ini bukan pendekatan batu—dingin, keras, tak peduli. Ini pendekatan air: mengalir, menyentuh, tapi tetap punya arah. Kendali memberi kita keteguhan, empati memberi kita arah.
Dan siapa tahu, dari keduanya, lahirlah manusia yang tidak hanya tahan banting—tapi juga tahan mendengar.
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)