Timnas Rasa Belanda: Rethinking Nasionalisme di Lapangan Hijau
Bagi kita, penggemar sepak bola Indonesia, wajah Timnas Indonesia kini tampak berbeda. Dulu, kita mengenal pemain-pemain yang tumbuh besar di sini, dengan karakter dan ciri khas lokal yang tak bisa dilepaskan. Namun kini, hampir setiap pemain Timnas yang tampil memiliki tubuh tegap, kulit putih, dan seolah membawa cita rasa Eropa, terutama Belanda. Mereka bukanlah anak-anak Indonesia yang lahir di Nusantara, melainkan anak-anak diaspora yang kini tengah dipanggil untuk menjadi bagian dari proyek besar PSSI, sebuah ambisi untuk membawa sepak bola Indonesia ke level yang lebih tinggi, lebih berkelas, dan lebih siap menghadapi tantangan dunia.
Namun, fenomena ini bukanlah sesuatu yang hanya terjadi di Indonesia. Dunia sepak bola, sejak lama, telah menjadi panggung bagi globalisasi identitas. Negara-negara besar seperti Prancis, Jerman, bahkan Belanda, sudah lebih dulu mengenalkan konsep pemain diaspora atau imigran dalam timnas mereka. Dalam sepak bola, kebangsaan bukan lagi soal di mana seseorang lahir, melainkan soal komitmen, kesempatan, dan—yang paling penting—kesediaan untuk bermain demi satu bendera, satu negara, meskipun darah yang mengalir di tubuh mereka tak selalu berasal dari tanah tersebut.
Di tengah perubahan ini, perdebatan pun muncul. Banyak yang bertanya-tanya, apakah benar orang-orang berwajah Eropa yang bahkan belum fasih berbahasa Indonesia ini bisa menjadi representasi Indonesia? Bukankah kita sudah punya takaran tentang orang Indonesia yang khas?
Di sinilah cultural studies memainkan peran penting. Menurut Stuart Hall, identitas bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan hasil dari negosiasi dan proses yang terus berkembang. Identitas terbentuk dari budaya, kekuasaan, dan imajinasi kolektif.
Benedict Anderson, dengan teorinya tentang “komunitas terbayang,” menyodorkan gagasan bahwa bangsa bukanlah fakta alamiah, melainkan konstruksi ideologis. Kita merasa menjadi satu bangsa karena kita membayangkan diri kita sebagai satu. Dalam sepak bola, imajinasi itu menemukan panggung terbesarnya. Stadion adalah ruang performatif di mana nasionalisme dipertontonkan, dikonsumsi, dan ditafsir ulang.
Nama-nama seperti Jordi Amat, Shayne Pattynama, dan Rafael Struick lebih dari sekadar pemain bola. Mereka adalah simbol baru dari hubungan yang rumit antara Indonesia dan Belanda—sebuah hubungan pascakolonial yang kini mendapat makna baru. Dulu, Belanda adalah penjajah yang menindas, namun sekarang, Belanda menjadi tempat lahirnya potensi-potensi baru untuk Timnas Indonesia. Di sana, bibit-bibit Garuda diasah, dilatih, dan dipersiapkan untuk bertarung di lapangan hijau.
Namun, ada ironi kecil yang terus menggelitik: para pemain ini—yang kini jadi simbol nasionalisme baru—tidak berbicara dalam bahasa Indonesia. Di ruang ganti, mereka bercakap dalam bahasa Belanda dan Inggris. Wawancara pasca-pertandingan dilakukan dengan Bahasa Inggris atau lewat penerjemah. Lagu kebangsaan mereka nyanyikan dengan fasih tetapi dengan aksen Eropa.
Ini adalah jarak yang nyata, sekaligus pengingat bahwa identitas kebangsaan hari ini tidak lagi diikat oleh bahasa ibu, tetapi oleh kesediaan untuk memeluk imajinasi yang sama. Mereka mungkin tidak tumbuh dengan cerita rakyat Nusantara atau belajar Pancasila di sekolah dasar, tapi mereka bersedia menaruh seluruh tubuh dan talentanya untuk satu nama: Indonesia.
Darah Indonesia di tubuh pemain diaspora adalah bibit bagi imajinasi primordial tentang Indonesia. Kita tidak peduli mereka lahir dan tumbuh di Belanda, asalkan ada “sedikit” Indonesia dalam tubuh mereka, itu cukup untuk menyalakan imajinasi kita tentang kejayaan. Ini bukan sekadar soal sepak bola, ini tentang keinginan kolektif untuk merasa berharga di panggung dunia.
Di titik ini, nasionalisme kita mengalami pergeseran. Ernest Gellner mengatakan bahwa nasionalisme bukan muncul dari tradisi, tapi dari modernitas. Kita tidak mewarisi nasionalisme; kita membangunnya, melalui narasi, pendidikan, dan—sekarang—melalui sepak bola. Maka pemain diaspora, terutama dari Belanda, adalah buah dari proyek modern: anak-anak Indonesia di tubuh Belanda, yang kini “dipulangkan” untuk membentuk citra baru tentang kita.
Namun, nasionalisme hari ini lebih subtil dari sekadar gegap gempita. Michael Billig menyebutnya banal nationalism, nasionalisme yang hadir dalam simbol-simbol harian: bendera kecil di pundak jersey, penyebutan “Garuda” di layar televisi, atau nyanyian Indonesia Raya sebelum kick-off. Maka ketika media menyebut Rafael Struick sebagai “pahlawan baru Garuda,” itu bukan sekadar pujian atletik, melainkan penguatan nasionalisme yang banal tapi efektif. Seolah berkata: kita bisa hebat, bahkan lewat darah-darah yang pernah tercerai dari ibu pertiwi.
Ironisnya, narasi ini membuat nasionalisme kita makin bergantung pada eks-Belanda. Negara yang dulu mengeksploitasi kini memberi kita pemain terbaik. Tapi justru di sinilah nasionalisme kontemporer diuji: apakah kita cukup matang untuk menerima bahwa “menjadi Indonesia” tidak selalu berarti lahir di Nusantara, berbicara dalam bahasa ibu, atau tumbuh dengan nasi dan sambal?
Sebaliknya, menjadi Indonesia adalah tentang siapa yang mau membawa kita menuju panggung dunia.
Di lapangan hijau, nasionalisme tidak lagi soal masa lalu. Ia tentang keinginan kolektif untuk menang, untuk diakui, untuk membentuk imajinasi baru tentang Indonesia yang bisa sejajar dengan bangsa manapun.
Jadi, ketika kita berdiri menyanyikan Indonesia Raya bersama para pemain diaspora Belanda, mungkin yang kita rayakan bukan keseragaman identitas, tapi kekuatan imajinasi: bahwa Indonesia bisa, dan akan, berjaya—meski kadang lewat jalur yang tidak konvensional, bahkan paradoksal.
Dan bukankah itu, justru, nasionalisme yang paling otentik?
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)