Politik Citra, Bahasa Rakyat, dan Jalan Panjang Politik Kang Dedi Mulyadi

Ilustrasi/rm banten

Dedi Mulyadi, nama gubernur baru Jawa Barat. Orang-orang sudah lama memanggilnya Kang Dedi Mulyadi (KDM). Namanya mencuat karena gaya kepemimpinan yang berbeda. Ia kerap turun langsung dan memulai harinya dengan sapaan khas yang begitu membumi, “Kumaha damang?”—bagaimana kabar kalian? Sapaan itu meluncur begitu saja, tanpa protokol, tanpa sekat, hanya dengan senyum lebar dan mata yang menyapa lebih dulu daripada bibirnya. Di banyak tempat, dari gang sempit hingga pasar tradisional, warga menyambutnya seperti teman lama yang tak pernah pergi jauh. Ini bukan basa-basi politik. Ini adalah cara Dedi bertutur kepada rakyatnya, dalam bahasa yang tak pernah diajarkan di sekolah-sekolah administrasi pemerintahan.

Bahasa Sunda yang ia gunakan adalah bagian dari tubuhnya, bukan sekadar alat komunikasi. Dia tahu, sebelum bicara soal kebijakan, pemimpin harus hadir sebagai manusia yang bisa disentuh dan dimengerti. Dan Dedi hadir seperti itu—menghapus jarak yang biasanya melebar antara pemimpin dan yang dipimpin. Tidak dengan pidato gagah, tetapi dengan obrolan hangat dan telinga yang mendengar lebih banyak dari mulut yang berbicara.

Di tengah dunia politik yang kerap dipenuhi jargon teknokratis dan strategi pencitraan, Dedi menawarkan pendekatan yang hampir revolusioner: kembali ke bahasa rakyat. Tapi ini bukan sekadar strategi komunikasi. Ini adalah bentuk keberpihakan. Sebab bahasa bukan hanya alat bicara, ia adalah ruang tinggal kesadaran, tempat nilai-nilai tumbuh. Dan ketika seorang pemimpin memilih bahasa rakyat, ia sedang memihak pada pengalaman hidup rakyat itu sendiri.

Ada sesuatu yang terapeutik dalam cara Dedi berbicara. Ia tidak memaksakan program. Ia tidak membombardir dengan visi-misi. Ia hanya datang, mendengar, dan merespons. Dan dari sana, keputusan politik lahir dari ruang yang lebih jujur. Bukan dari kalkulasi elektoral, tetapi dari pengalaman hidup yang nyata dan dibagikan bersama. Ia menenun makna politik tidak dari kertas kerja, tetapi dari dialog yang berlangsung di tikungan pasar, di beranda rumah, di suara para pedagang kecil dan anak-anak yang tertawa.

Dedi Mulyadi Mengubah Cara Pandang Kita

Dedi Mulyadi sedang mengubah cara kita memandang politik. Ia memperlihatkan bahwa menjadi pemimpin tak harus dengan pakaian resmi dan barisan ajudan. Ia membongkar panggung kekuasaan yang terlalu tinggi, dan menggantinya dengan bangku kayu di bawah pohon rindang, tempat ia duduk bersama rakyatnya. Ia mereframing bahasa politik menjadi sesuatu yang lebih akrab, lebih terasa, lebih dekat dengan isi piring dan isi hati rakyat.

Ia seolah berkata bahwa politik tak perlu dipoles dengan kemewahan. Dalam setiap interaksinya, Dedi menanamkan pesan: bahwa yang paling dibutuhkan rakyat bukan simbol, tetapi sentuhan. Bukan narasi besar yang berjarak, tetapi kehadiran yang konsisten di ruang-ruang kecil kehidupan sehari-hari. Ia menggeser fokus dari pencitraan ke perjumpaan, dari janji ke interaksi. Ini bukan sekadar strategi, tetapi bentuk lain dari keberpihakan.

Jika dibandingkan dengan Ridwan Kamil-Gubernur Jawa Barat sebelumnya, Dedi tampil sebagai kontras yang mencolok. RK adalah representasi dari kelas menengah urban yang rapi, penuh dengan simbol elegansi dan modernitas. Ia fasih dalam bahasa media sosial, arsitektur, dan branding visual. Sementara Dedi Mulyadi membawa citra ndeso—tidak dalam makna yang merendahkan, tapi sebagai penegasan atas keberpihakannya pada suara-suara kecil di kampung-kampung, di lapak-lapak, di lumbung-lumbung. Bila RK berbicara dari atas panggung dengan desain memesona, Dedi bicara dari tanah, tempat di mana rakyat menapak dan hidup.

Gerakan populis Dedi Mulyadi menarik perhatian warga Indonesia. Banyak warga dari provinsi lain ter-dedi-dedi—terpukau oleh gaya kepemimpinan yang membumi dan penuh empati. Mereka menginginkan gubernur seperti Dedi. Bahkan ada yang bercanda akan pindah ke Jawa Barat hanya untuk merasakan kepemimpinan yang mengayomi itu. Di kolom-kolom komentar media sosial, tak sedikit pula yang mengharapkannya maju menjadi Presiden Republik Indonesia berikutnya—sebuah harapan yang muncul bukan dari kampanye, tetapi dari rasa keterhubungan.

Mungkin inilah makna terdalam dari kepemimpinan: bukan soal seberapa tinggi panggung yang dibangun, melainkan seberapa kuat ia mampu mendengar bisik-bisik dari bawah. Dedi Mulyadi sedang menunjukkan bahwa jalan sunyi bersama rakyat bisa lebih lantang dari sorak-sorai pesta demokrasi.

Menanti Konsistensi Dedi Mulyadi

Tapi politik bukan panggung satu babak. Dedi, meski gemilang dalam aksi, sedang berjalan di lintasan yang telah banyak menjebak para pemimpin sebelumnya. Kita semua masih ingat Jokowi, yang memulai semuanya dengan blusukan dan gaya kepemimpinan yang merakyat. Dulu, rakyat berebut memanggil namanya dengan bangga. Tapi waktu berjalan, dan perlahan panggung itu bukan lagi milik Jokowi seorang. Narasi yang ia bangun dibajak oleh kekuatan yang lebih besar. Lingkaran kekuasaan yang dulu ia dekati dengan lugu, perlahan berubah dan membentuk benteng yang menjauhkannya dari rakyat.

Dan, ini adalah pelajaran mahal dari kekuasaan: bahwa niat baik saja tidak cukup. Sistem memiliki logikanya sendiri, dan sering kali, ia menelan energi personal sekuat apapun jika tidak disertai kekuatan kelembagaan dan strategi jangka panjang. Dedi tampaknya memahami ini. Ia tahu bahwa jika ingin tetap setia pada rakyat, ia harus terus melawan godaan untuk menjadi “bagian dari sistem” hanya demi kenyamanan politik.

Di tengah euforia atas kedekatannya dengan rakyat, Dedi menghadapi risiko paling nyata: diseret masuk dalam permainan elite yang tak lagi mengenal batas antara idealisme dan kompromi. Sejarah politik Indonesia sudah terlalu banyak mencatat nama-nama besar yang akhirnya terjebak dalam skenario lama. Apakah Dedi akan berbeda? Itu tergantung pada seberapa jauh ia sanggup berjalan tanpa kehilangan dirinya sendiri.

Dedi sedang berdiri di titik yang sama: antara panggung yang ramai dan jalan sunyi menuju perubahan yang lebih dalam. Ia memang berhasil memikat simpati publik, tapi simpati tak bisa menggantikan struktur. Politik bukan hanya soal kedekatan emosional, melainkan juga kerja sistemik yang kompleks.

Analisis gunung es mengingatkan kita: apa yang terlihat hanyalah permukaan. Di bawah gaya Dedi yang penuh empati, ada pekerjaan rumah besar—mengubah regulasi, mengganti pola pikir birokrasi, dan menata ulang sistem agar lebih berpihak pada rakyat. Jika tidak, semua yang ia bangun akan lenyap bersama berakhirnya masa jabatan. Birokrasi akan kembali ke pola lama, dan rakyat akan kembali menunggu penyelamat berikutnya.

Karena itu, kepemimpinan yang otentik seperti Dedi harus diperkuat dengan infrastruktur kebijakan yang sistemik. Harus ada keberanian bukan hanya untuk mendengar rakyat, tapi juga untuk mengunci keberpihakan itu dalam mekanisme yang tahan terhadap pergantian kekuasaan. Tanpa itu, Dedi hanya akan menjadi legenda lisan yang manis, tetapi tidak mewariskan perubahan struktural yang nyata.

Sejatinya, pekerjaan rumah terbesar pemimpin bukan membangun koneksi emosional semata, tapi memastikan negara bekerja bahkan saat ia tak lagi menjabat. Kepemimpinan yang sejati adalah yang meninggalkan sistem, bukan sekadar kesan. Dan disitulah tantangan Dedi berikutnya—melampaui simpati menuju institusionalisasi keberpihakan.

Kini, elektabilitas Dedi mencuat. Ia dipandang sebagai wajah segar di tengah padang gersang politik yang dipenuhi jargon dan elitisme. Tapi ini juga berarti kekuasaan sedang mengintainya. Akan ada yang melamarnya menjadi calon presiden. Dan ketika itu terjadi, pertanyaan besarnya adalah: apakah Dedi akan tetap menjadi Dedi yang sekarang? Atau jalan sunyinya akan ditelan gegap gempita panggung nasional?

Modal Dedi memang bukan partai, bukan oligarki. Hanya aksi nyata dan simpati rakyat. Mungkin itu cukup untuk membawanya naik. Tapi untuk bertahan dan mengubah sistem dari dalam, ia butuh lebih dari itu: visi yang melampaui popularitas, keberanian untuk menolak dikendalikan oleh arus politik yang pragmatis, dan tekad untuk tetap berbicara dalam bahasa rakyat—bahasa yang jujur, menyapa, dan menyembuhkan.

Waktu akan menjawab. Tapi sejarah telah mencatat: pemimpin yang hanya bermain di permukaan, akan dilupakan seperti gelembung sabun. Sementara mereka yang menggali akar dan mengubah fondasi, akan tetap hidup dalam ingatan kolektif rakyat. Sekarang, semuanya tergantung pada sejauh mana Dedi berani melangkah.

Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup