Petani; Nasibmu Dulu dan Kini
Berikut adalah potongan tulisan kritis saya dalam buku bunga rampai: Eulogi Untuk Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro (Mengenang dan Meneladani Sang Guru).
Dalam realisasinya, program ini sangat kental dengan praktik kapitalisme. Sebagaimana lazimnya revolusi hijau, mulailah petani diberi penyuluhan, diperkenalkan dengan teknologi pertanian, diberi bibit unggul secara gratis, namun teknologi bawaannya harus dibayar dengan sangat mahal. Pertanian tradisional perlahan mulai ditinggalkan. Banyak petani pemilik lahan (ta ohu’uwo lo ilengi) dan penggarap (ta kara-karaja) yang tergiur dengan hasil yang melimpah bermigrasi ke pertanian modern.
Kritikan penulis yang bertajuk “Program Agropolitan? Tunggu dulu” di harian Gorontalo Post medio tahun 2004 cukup “menjewer” sang kepala daerah. Tulisan ini terbit bersambung. Sempat disanggah pihak terkait, tetapi sanggahannya tidak rasional, justru semakin membongkar praktik kapitalisasi yang terbungkus dalam program agropolitan itu. Akhirnya tulisan-tulisan kritis selanjutnya yang makin berani itu tidak pernah dimuat.
Patut diakui bahwa program agropolitan telah memacu pertumbuhan ekonomi Gorontalo. Secara makro ekonomi, terjadi pertumbuhan pesat. Sebagaimana tulis Fadel Mohammad (2008) dalam buku “Reinviting Local Government; Pengalaman dari Daerah”, bahwa jagung mulai dibudidayakan secara besar-besaran sejak tahun 2002 melalui pencanangan program agropolitan.
Pada tahun 2002 luas panenan jagung baru 45.718 ha tahun 2003 meningkat menjadi 58.716 ha dan tahun 2004 mencapai 72.529 ha. Luas areal panen dalam tiga tahun telah meningkat sebesar 58,64%. Produksi jagung meningkat secara signifikan. Jika pada tahun 2002 baru mencapai 130.252 ton, pada tahun 2003 telah meningkat menjadi 183.998 ton, tahun 2004 menaik menjadi 270.418 ton. Dalam tempo tiga tahun produksi jagung telah meningkat sebesar 92,87%.
Pemerintah daerah dengan bangga mengklaim bahwa terjadi perbaikan ekonomi makro, terjadi penurunan angka kemiskinan dan pengangguran, sebagaimana dalam laporan penelitian Universitas Negeri Gorontalo 2013, disebutkan bahwa program agropolitan merupakan salah satu pendorong terjadinya perbaikan ekonomi makro selang tahun 2002-2008, seperti halnya pendapatan per kapita naik dari 2,5 juta menjadi 4,9 juta, pertumbuhan ekonomi naik dari 6,45% menjadi 7,51 %, kemiskinan turun dari 32,13% menjadi 24,88%. Dari sisi mikro, produksi jagung naik dari 7.000 ton menjadi 752.727 ton. Kondisi pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi 7,68%, kemiskinan 18,02%, dan pengangguran terbuka 4,61%. produksi jagung 605.000 ton atau berada di bawah target RPJMD 2007-2012 sebesar satu juta ton jagung.
Sebuah pencapaian yang mencengangkan, menjadikan sang kepala daerah menerima berbagai penghargaan baik dari dalam maupun luar negeri. Secara ekonomi memang terjadi pertumbuhan yang pesat, tetapi secara ekologi dan sosial budaya, terjadi degradasi yang mengkhawatirkan. Berbagai produk teknologi pertanian yang sarat kimiawi laris manis dijual bebas.
Menurut Suhari (2014), pada kurun 2013 hingga Maret 2014, tingkat penggunaan pestisida di lahan pertanian di Gorontalo, meningkat tajam hingga 10 persen. Angka itu, menurutnya sudah terbilang tinggi, idealnya penggunaan pestisida hanya pada kisaran 1-4 persen. Menurutnya hal ini terjadi karena petani di Gorontalo berupaya mencari cara tercepat menanggulangi hama tanaman, mengingat anomali cuaca yang serba tidak menentu.