Alissa Wahid dan Kartini yang Tak Pernah Selesai
Setiap April, memori tentang Kartini akan menyeruak. Ia datang, dikenang, dirayakan, dan diabadikan. Di ruang kelas, anak-anak berseragam menggelar lomba busana adat. Di media sosial, ucapan selamat Hari Kartini berseliweran, disertai kutipan populer dan foto perempuan berkebaya. Sebuah ritual yang terasa akrab, bahkan otomatis. Tapi siapa Kartini yang sebenarnya sedang kita rayakan?
Yang pasti bukan Kartini yang gelisah, yang menggugat, yang menulis dengan pedih karena merasa tak punya tempat di antara bangsanya sendiri. Yang kita rayakan seringkali adalah Kartini yang telah dipilihkan untuk kita—versi yang sudah diamankan, dijinakkan, dirapikan agar sesuai dengan narasi besar tentang perempuan Indonesia yang ideal: anggun, penuh kasih, terpelajar, tapi tetap dalam batas.
Kartini, dalam versi yang dominan, bukan lagi suara. Ia menjadi gambar.
Padahal, yang membuat Kartini penting bukanlah kebaya atau garis bangsawannya, melainkan keberaniannya untuk mengganggu. Ia menggugat otoritas ayahnya, mempertanyakan tafsir agama yang menindas, bahkan menantang wacana kolonial tentang bangsa terjajah. Dalam surat-suratnya, ia bukan sekadar mencurahkan isi hati. Ia sedang menulis ulang peta makna tentang perempuan, tentang Jawa, tentang masa depan.
Tapi sejarah tidak pernah berjalan netral. Seperti teks, ia bisa dipotong, ditafsir, dan dikemas ulang sesuai kepentingan. Di masa Orde Baru, Kartini direproduksi sebagai simbol perempuan ideal versi negara: cerdas tapi tetap berada di ranah domestik; mandiri tapi tidak melawan; maju tapi tidak memberontak. Ia menjadi ikon “emansipasi yang aman.”
Dengan cara itulah kekuasaan bekerja: mengatur bukan hanya tubuh dan ruang, tapi juga imajinasi. Membentuk bukan hanya kebijakan, tapi juga tafsir atas siapa yang patut dikenang, bagaimana ia harus dibicarakan, dan sampai sejauh mana ia boleh menginspirasi.
Tapi siapa yang berhak atas Kartini? Apakah kita hanya boleh mengenangnya, ataukah juga menafsirkannya ulang?
**
Hari kita hidup di era yang berbeda dengan Kartini, tapi pertanyaannya tetap menggema: siapa yang boleh bersuara, siapa yang didengar, dan bagaimana perempuan mengambil tempat di ruang publik. Di antara mereka yang menulis ulang makna itu lewat langkah nyata, ada satu nama yang tak sekadar melanjutkan, tapi menghidupkan semangatnya—Alissa Wahid.
Sebagai Koordinator Nasional Jaringan GUSDURian, Alissa memimpin gerakan yang mewarisi nilai-nilai besar dari Gus Dur—ayahnya—namun dijalankan dengan pendekatan yang relevan dengan zamannya. Ia tak sekadar menyuarakan toleransi dan keberagaman, tapi mewujudkannya dalam kerja nyata: pendidikan publik, advokasi, penguatan komunitas akar rumput, hingga pemulihan trauma korban kekerasan berbasis identitas.
Alissa hadir dengan kekuatan simbolik—trah keluarga, tradisi pesantren, dan jejaring luas—namun tak berhenti pada pelestarian warisan. Ia menafsir ulang, menghidupkan kembali makna dalam konteks baru. Dari kerja penafsiran inilah, relevansi dan pengaruhnya tumbuh.
Ia tidak membentuk “persona” publik yang flamboyan. Ia tampil apa adanya, tenang, lugas, bahkan sering memilih bekerja di balik layar. Tapi justru di situlah letak keberaniannya—keberanian yang tidak mencari tepuk tangan. Dalam dunia yang kerap mengukur pengaruh dari seberapa sering seseorang tampil di panggung, ia menunjukkan cara lain: bekerja tanpa hiruk-pikuk, memimpin tanpa mendominasi, memengaruhi tanpa merasa perlu selalu terlihat.
Keberaniannya bukan terletak pada sorotan, melainkan pada konsistensi. Pada keteguhan memegang nilai, pada kesediaan menempuh jalan sunyi demi perubahan yang nyata.
Jika kita membayangkan Kartini sebagai “perempuan yang menulis tentang kebebasan dari dalam ruang sempit,” maka Alissa adalah “perempuan yang menjahit ulang kebebasan dalam ruang publik yang berisik.” Beda zaman, beda medan, tapi kegelisahannya serupa: tentang bagaimana menjadi perempuan yang tidak hanya bicara tentang diri sendiri, tetapi tentang dunia yang lebih adil.
Apakah Alissa Wahid adalah Kartini? Tidak, tentu saja. Tapi itulah intinya. Kartini tidak perlu direinkarnasi dalam satu sosok. Ia bisa muncul dalam bentuk-bentuk yang tak seragam. Dalam aktivis di kota kecil, dalam pengacara publik yang mendampingi korban kekerasan, dalam ibu rumah tangga yang membentuk komunitas belajar, dalam penyintas yang menulis puisi untuk melawan sunyi.
Kartini bukanlah satu wajah. Ia adalah kemungkinan.
Dan Alissa bukan satu-satunya. Ada banyak Kartini lain: perempuan muda yang membentuk komunitas belajar di pinggiran kota, aktivis hukum yang membela buruh migran, jurnalis perempuan yang terus menggali kebenaran meski diintimidasi. Mereka tak selalu masuk berita, tapi kerja mereka menjahit ulang harapan.
Kita butuh simbol bersama. Kartini adalah itu. Sebuah nama yang mengingatkan bahwa sejarah pernah digugat oleh seorang perempuan. Dan bahwa gugatan itu perlu dilanjutkan—bukan dirayakan dengan potret manis, tetapi dihidupkan kembali dalam bentuk yang tak selalu seragam.
Maka, Alissa adalah satu tafsir. Sebuah jalan pembacaan ulang tentang apa artinya menjadi perempuan yang tidak tinggal diam. Ia adalah contoh bahwa warisan tak harus ditelan bulat-bulat, tapi bisa diolah menjadi keberanian yang relevan. Ia hadir bukan sebagai Kartini yang dibingkai, melainkan sebagai perempuan yang membaca ulang sejarahnya—dan menulis ulang masa depannya.
**
Dan mungkin inilah yang paling penting: kita tak perlu memonumenkan Kartini agar ia relevan. Kita justru perlu membebaskan dirinya dari beban monumen itu, agar tafsir-tafsir baru bisa tumbuh. Bukan hanya agar Kartini menjadi milik generasi kini, tapi agar generasi kini bisa melihat dirinya dalam sejarah—bukan sebagai pengikut, tetapi sebagai penafsir.
Karena simbol yang sehat bukan yang dikunci dalam patung dan perayaan tahunan. Simbol yang sehat adalah yang terus digugat, dibuka, dan dihidupi ulang.
Kartini belum selesai. Dan tugas kitalah untuk terus membacanya kembali—dengan gelisah, dengan jujur, dan dengan keberanian yang tak selalu harus lantang.
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)