“Tuhan-tuhan Kecil” Yang Suka Menghukumi

Dr. Samsi Pomalingo, MA, Akademisi dan Pegiat Keberagaman.

Lagi-lagi belakangan ini media sosial kita khususnya Facebook, dipenuhi dengan berbagai postingan yang mengekspresikan penolakan terhadap keberadaan kelompok LGBT di Gorontalo. Banyak pengguna yang mengangkat isu seperti “Tolak LGBT”, “Selamatkan Gorontalo sebagai Serambi Madinah dari Kelompok LGBT”, dan “Hilangkan kaum LGBT dari Bumi Gorontalo”. Fenomena ini mencerminkan adanya gelombang penolakan yang kuat terhadap keberadaan LGBT di kalangan sebagian masyarakat Gorontalo. Beberapa waktu sebelumnya juga misalnya ada aksi mahasiswa dan karang taruna yang menolak keberadaan mereka. Aneh, rupanya sebagian masyarakat Gorontalo hanya bisa berteriak untuk menolak keberdaan kelompok  transgender, tapi tidak punya kemampuan untuk membina dan memberikan pemahaman atas identitas tersebut.

Dalam masyarakat modern, isu transgender menjadi salah satu topik yang sering diperbincangkan. Akan tetatpi sering kali perbincangan tersebut diwarnai oleh perilaku negatif, seperti suka menghukumi yang menghalangi upaya pembinaan dan pemahaman terhadap kelompok ini. Perilaku ini mencerminkan ketidakmampuan sebagian orang untuk menerima perbedaan, yang pada gilirannya dapat memperburuk stigma dan diskriminasi.

Penilaian yang negatif terhadap individu transgender sering kali didasarkan pada stereotip dan prasangka yang tidak berdasar. Masyarakat cenderung menganggap bahwa mereka yang berbeda dari norma gender yang umum harus diubah atau dihukum. Perilaku ini tidak hanya menyakitkan bagi individu transgender, tetapi juga menciptakan lingkungan sosial yang tidak ramah dan penuh ketegangan.

Stigma yang melekat pada transgender sering kali berasal dari ketidaktahuan. Banyak orang tidak memahami proses dan perjalanan yang dilalui oleh individu transgender, sehingga mereka lebih memilih untuk menghukum daripada berusaha untuk memahami. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan kesadaran sosial sangat penting dalam membina masyarakat yang inklusif dan suportif. Bukan hanya individu, tetapi juga institusi sosial sering kali berperan dalam memperkuat perilaku “menghukum” ini. Media, misalnya, sering kali menampilkan berita negatif tentang transgender yang semakin memperkuat stereotip. Ketika media lebih fokus pada aspek-aspek negatif, masyarakat pun semakin terjebak dalam pandangan sempit yang merugikan.

Menghukumi suatu kelompok bukanlah solusi yang konstruktif. Sebaliknya, pendekatan yang lebih baik adalah dengan membina dan memberikan dukungan. Masyarakat seharusnya berupaya untuk menciptakan ruang yang aman bagi individu transgender, di mana mereka dapat mengekspresikan diri tanpa takut akan penilaian atau pengucilan. Ini tidak hanya bermanfaat bagi transgender itu sendiri, tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Jika ditanyakan kepada mereka, apakah mereka (transgender) meminta untuk diciptakan sebagai waria?, maka jawabannya tidak.

Harus diingat bahwa Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah untuk membawa misi yang sangat mulia, menyempurnakan akhlak dan membimbing umat manusia ke jalan yang benar. Dalam ajaran Islam, beliau tidak hanya berfungsi sebagai seorang pemimpin spiritual, tetapi juga sebagai teladan dalam perilaku yang baik dan penuh kasih sayang.

Nabi Muahammad SAW tidak datang untuk menghukumi, tetapi untuk memberikan petunjuk dan mengajak umatnya untuk untuk mentauhidkan Tuhan Yang Maha Esa. Dengan pendekatan yang penuh kasih, Nabi Muhammad SAW menunjukkan bahwa setiap individu berhak mendapatkan bimbingan dan kesempatan untuk berubah menjadi lebih baik. Inilah bedanya Nabi Muhammad SAW dengan para Nabi sebelumnya. Jika ummat para Nabi sebelumnya melakukan pelanggaran atau tidak mengindahkan apa yang disampaikan, maka para Nabi sebelumnya langsung mengangkat tangan dan berdoa agar diturunkan adzab bagi ummatnya, seperti Nabi Luth as. Berdoa kepada Tuhan agar memberikan adzab, begitu pula Nabi-nabi lainnya, hal ini ini berbeda dengan Nabi Muhammad SAW.

Jika ada ummat Islam saat ini yang suka menghukumi keberadaan para LGBT, maka mereka menyerupai tindakan para Nabi sebelum Nabi Muhammad SAW. Sekali lagi Nabi Muhammad SAW diutus untuk membawa pesan toleransi dan memperbaiki akhlak, bukan untuk menghukumi ummatnya, karena itu otoritas mutlak Sang Penguasa langit dan bumi.

Penting bagi kita umat Islam saat ini untuk merenungkan ajaran Nabi Muhammad SAW dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Apalah artinya kita mengaku ummat Nabi Muhammad tapi tidak mengikutinya dengan baik. Kita perlu membangun masyarakat yang saling mendukung di mana setiap individu merasa diterima dan dihargai, terlepas dari identitas mereka. Dengan pendekatan ini, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih harmonis dan penuh kasih, sesuai dengan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Pernyataan bahwa kelompok transgender adalah ciptaan Tuhan yang harus dihormati, ini menegaskan pentingnya pengakuan akan martabat setiap individu. Dalam konteks ini, menghukum atau merendahkan mereka bukan hanya tindakan yang tidak adil, tetapi juga mencerminkan ketidakpahaman terhadap hakikat penciptaan.

Setiap manusia terlepas dari identitas gendernya, adalah bagian dari ciptaan Tuhan dan memiliki hak untuk dihargai dan diperlakukan dengan baik. Jika kita menilai dan menghukum orang lain tanpa memahami perjalanan hidup mereka, kita sebenarnya sedang merusak nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya kita junjung tinggi.

Menganggap diri kita berhak untuk menghukumi orang lain, hal itu sama dengan mengambil peran yang seharusnya menjadi hak Tuhan. Dalam ajaran agama, kita diajarkan untuk menyerahkan penilaian akhir kepada Sang Pencipta, yang lebih mengetahui segala sesuatu tentang makhluk-Nya. Dengan demikian, kita seharusnya lebih fokus pada sikap saling menghormati, memahami, dan berempati.

Pertanyaan retoris tentang siapa kita dalam konteks ini mengajak kita untuk merenungkan posisi kita sebagai manusia. Adalah penting untuk menyadari bahwa kita bukanlah pengadilan bagi orang lain. Tugas kita adalah menjadi agen perubahan yang positif, menciptakan lingkungan di mana semua orang merasa diterima dan dihargai. Membangun masyarakat yang inklusif dan saling menghormati bukan hanya bermanfaat bagi kelompok yang terpinggirkan, tetapi juga bagi kita semua. Ketika kita menghargai perbedaan dan mendukung satu sama lain, kita sedang menciptakan dunia yang lebih baik, sesuai dengan kehendak Tuhan.

Banyak masalah penting di sekitar kita yang sering kali terabaikan, seperti kerusakan ekologi, deforestasi, sampah yang berserakan di jantung-jantung kota, perampasan aset, korupsi, kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan. Isu-isu ini memiliki dampak yang luas dan mempengaruhi kehidupan banyak orang. Namun, perhatian yang berlebihan pada satu isu, seperti transgender, dapat menyebabkan kita kehilangan fokus pada berbagai masalah krusial lainnya.

Ketika kita mengabaikan isu-isu ini, kita sebenarnya membiarkan diri kita terjebak dalam sikap apatis. Ini menunjukkan bahwa kita mungkin tidak sepenuhnya memahami betapa kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh masyarakat kita. Menyikapi berbagai masalah secara bersamaan adalah kunci untuk menciptakan perubahan yang berarti. Kita perlu berupaya untuk lebih sadar dan aktif dalam menghadapi berbagai isu yang ada. Masyarakat yang peduli adalah masyarakat yang tidak hanya fokus pada satu aspek, tetapi juga memperhatikan banyak aspek kehidupan. Kita dapat berkontribusi dalam menciptakan solusi yang holistik dan berkelanjutan.

Dakwah para ustadz tidak hanya terbatas pada momen-momen  seperti isra’ mi’raj, nuzulul qur’an, maulid nabi, halal bi halal apalagi takziah kematian, tetapi juga harus mencurhakan perhatian untuk mendatangi kelompok transgender, sangat penting untuk dipahami. Peran ustadz seharusnya mencakup upaya membina dan mendukung semua individu, termasuk mereka yang terpinggirkan, bukannya ikut memperburuk situasi dengan menambah ketegangan melalui komentar atau status di facebook.

Dakwah yang efektif adalah dakwah yang bersifat inklusif dan penuh kasih. Ustadz diharapkan dapat menjadi jembatan antara masyarakat dan kelompok-kelompok yang sering kali diabaikan atau dihukum. Dengan mendatangi dan berinteraksi langsung dengan kelompok transgender, para ustadz dapat memberikan pemahaman dan kesadaran atas “perilaku” yang dianggap menyimpang oleh masyarakat.

Alih-alih “menyalakan kompor gas” yang dapat memanaskan suasana, seharusnya ustadz mendorong dialog yang konstruktif. Penyuluhan dan pendidikan tentang keberagaman dan penerimaan menjadi kunci untuk menciptakan masyarakat yang harmonis. Ketika para ustadz berani melakukan pendekatan ini, mereka dapat membantu meruntuhkan stigma dan prasangka yang ada, serta membangun pemahaman yang lebih baik di kalangan masyarakat.

Oleh : Dr. Samsi Pomalingo, MA(Akademisi dan Pegiat Keberagaman)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup