Paraphalanthe Dora Sigar Soemitro: Bunga, Ibu, dan Ingatan dalam Diplomasi Presiden
Dr. Funco Tanipu, ST., M.A.
Sosiolog Universitas Negeri Gorontalo
Langit cerah menyambut langkah Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto di Parliament House, Singapura, Senin, 16 Juni 2025. Prosesi kenegaraan berjalan penuh kehormatan: sambutan militer, jamuan kenegaraan, dan pertemuan bilateral yang menghasilkan 19 nota kesepahaman strategis antara Indonesia dan Singapura. Namun dari seluruh agenda itu, satu momen kecil justru menyimpan resonansi paling dalam dan manusiawi: penamaan bunga anggrek. Presiden Prabowo menamai bunga itu Paraphalanthe Dora Sigar Soemitro, untuk menghormati perempuan yang ia panggil mama—ibunya, Dora Marie Sigar.
Ini bukan hanya gestur diplomatik. Ia adalah isyarat cinta, ingatan, dan simbol pulang yang sangat personal dari seorang presiden kepada ibunya, yang dulu ikut bersamanya dalam pengasingan dari negeri ini.
Dora Sigar: Perempuan yang Membentuk Sunyi Prabowo
“Ibu saya bukan orang yang suka menasihati dengan panjang lebar,” ujar Prabowo dalam wawancara dengan Tempo (2009). “Tapi cara hidupnya, disiplin, caranya menghadapi hidup yang keras, itulah yang membentuk saya.”
Dora Marie Sigar, perempuan Minahasa kelahiran Langowan, adalah istri dari ekonom terkemuka Prof. Soemitro Djojohadikusumo. Setelah konflik politik memaksa Soemitro hengkang dari tanah air pada 1957, Dora menjadi pusat dari kehidupan keluarga yang hidup dalam eksil selama satu dekade. Mereka berpindah dari Singapura, Bangkok, Hong Kong, Kuala Lumpur, Zurich, hingga London. Dalam keterasingan itulah, Dora menjalankan tugas keibuannya—bukan hanya untuk membesarkan anak-anak, tetapi untuk menjaga agar mereka tetap merasa Indonesia.
“Beliau yang selalu mengatakan: kamu jangan lupa, kamu orang Indonesia,” kenang Prabowo dalam acara keluarga. “Itu yang tidak pernah saya lupakan.”
Dalam dunia sosiologi memori, Maurice Halbwachs mengajarkan bahwa ingatan tidak dibentuk dalam kesendirian. Ia tumbuh dalam keluarga, dalam komunitas, dalam ruang sosial. Dora adalah penjaga memori itu. Ia adalah institusi kultural dalam rumah tangga eksil. Seperti yang dijelaskan oleh Paul Connerton, ingatan bisa hidup dalam tubuh dan rutinitas: dalam bahasa, makanan, jadwal belajar, dan suasana rumah. Dora menciptakan Indonesia kecil di tanah asing.
Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo, pernah berkata dalam wawancara:
“Mama selalu menjadi jangkar kami. Saat kami pindah-pindah negara, kehilangan teman, ganti sekolah, tidak tahu apakah bisa kembali ke Indonesia, dia yang membuat semuanya terasa tetap utuh.” (Wawancara, 2020)
Dora Sigar bukanlah nama yang diajarkan dalam pelajaran sejarah nasional. Namun melalui bunga ini, ia memperoleh ruang dalam kesadaran kolektif kita. Ia menjadi simbol dari ribuan perempuan Indonesia yang tak pernah tampil di panggung politik, tetapi membentuk sejarah dari ruang makan, dari pelukan malam, dari nasihat sunyi.
Ketika anggrek Paraphalanthe Dora Sigar Soemitro mekar di taman-taman negara, ia membawa serta kisah panjang eksil, kerinduan, dan kesetiaan. Ia tumbuh dari tanah simbolik yang mengandung peluh perempuan Minahasa yang merantau, mengasuh, dan mendidik tanpa pamrih.
Ketika Prabowo memilih masuk AKABRI, bukan hanya darah nasionalis sang ayah yang mengalir dalam dirinya, tetapi juga amanat ibu yang diam-diam mengakar. Keputusan itu adalah bentuk pulang dari anak eksil yang dididik dalam rasa cinta dan tanggung jawab.
Anggrek sebagai Monumen Cair dan Politik Ingatan
Penamaan anggrek di Singapore Botanic Gardens menjadi simbol dari pertemuan antara pribadi dan negara, antara memori dan diplomasi. Dalam perspektif Jeffrey C. Alexander, ini adalah monumen cair—ia tidak kaku seperti prasasti batu, melainkan tumbuh, lembut, dan penuh emosi. Melalui bunga, Prabowo tidak hanya mengenang ibunya; ia mengangkat sosok yang selama ini berada di balik layar sejarah—perempuan yang mengasuh dalam diam, tetapi membentuk generasi pemimpin.
Menurut Stuart Hall, representasi bukan sekadar menunjuk pada sesuatu. Ia adalah proses produksi makna—apa yang ditampilkan, bagaimana ditampilkan, dan untuk siapa. Maka, penamaan Paraphalanthe Dora Sigar Soemitro adalah bentuk politik representasi: Dora, yang selama ini tak tercatat dalam arsip negara, kini hadir dalam lambang kenegaraan. Seorang perempuan Minahasa, seorang perawat, seorang ibu eksil, dijadikan simbol dalam taman diplomatik Singapura.
Dalam kerangka global, momen ini juga menjelma sebagai bentuk reteritorialisasi memori, sebagaimana dibahas oleh Arjun Appadurai. Keluarga Prabowo pernah tercerabut dari Indonesia dan mengembara melintasi Asia dan Eropa. Kini, bunga yang dinamai atas nama ibunya tumbuh di Singapura—salah satu tempat pertama pengasingan mereka. Ia menjadi tanda bahwa sejarah pribadi bisa kembali ke ruang publik global. Bahwa eksil tidak hanya berarti kehilangan, tetapi juga bisa menjadi bagian dari ingatan kolektif bangsa.
Anthony Giddens menyebut tindakan seperti ini sebagai bagian dari reflexive project of the self—bagaimana seseorang membentuk identitasnya dengan merangkul masa lalu, menyusun narasi tentang siapa dirinya dan dari mana ia berasal. Di hadapan dunia, Prabowo tidak hanya tampil sebagai presiden, tetapi sebagai anak dari seorang ibu yang membesarkannya dalam pengasingan, dalam keheningan, dan dalam cinta yang tak tercatat di buku sejarah.
Penutup: Cinta yang Ditanam dalam Diplomasi
Apa yang bisa lebih manusiawi dari seorang anak yang mengenang ibunya dalam bentuk bunga? Dan apa yang lebih dalam dari cinta yang dibungkus dalam diplomasi?
Kita sering membicarakan bangsa dalam angka dan strategi. Tapi sesungguhnya, seperti yang diingatkan oleh sosiologi emosi kontemporer, bangsa juga dibentuk dari ikatan personal, dari ingatan kolektif, dan dari tindakan-tindakan kecil yang membawa cinta ke dalam ruang kenegaraan.
Dora Sigar wafat pada 22 Desember 2008, di Singapura—negeri yang dulu menyambut keluarganya sebagai pelarian, dan kini menyambut nama ibunya dalam bentuk anggrek kenegaraan. Di makamnya, Prabowo menyematkan kalimat sederhana: Ibu yang paling setia
Kini, di tengah hiruk-pikuk peran kenegaraan, Prabowo memilih momen yang paling manusiawi: mengenang ibunya dengan bunga. Di dalam Paraphalanthe Dora Sigar Soemitro, kita tidak hanya melihat cinta seorang anak, tetapi juga rangkuman dari seluruh kisah diaspora, eksil, dan upaya untuk tetap menjadi bagian dari Indonesia meski dari kejauhan.
Anggrek itu mekar dalam diplomasi, tetapi akarnya tumbuh dari ingatan seorang ibu yang tak pernah ingin anak-anaknya melupakan tanah air. Dan mungkin, di setiap keheningan Prabowo, di situlah suara Dora Sigar paling kuat terdengar.
Anggrek itu adalah cinta. Ia adalah Dora. Ia adalah eksil yang berakar. Dan kini, ia mekar di tempat yang dahulu menjadi pengasingan—tapi kini, menjadi panggung penghormatan.