‘Wahabi Lingkungan’ dan Ancaman Wokisme: Gus Ulil Soroti Aktivis Lingkungan di Indonesia

Gus Ulil Abshar Abdalla/ ilustrasi bakukabar.id

Bakukabar.id – Istilah Wahabi Lingkungan datang dari ungkapan Ulil Abshar Abdalla atau kerap disapa Gus Ulil, seorang cendekiawan Muslim Indonesia. Istilah tersebut dialamatkan kepada para pegiat lingkungan yang selama ini terus bersuara akan isu ketidakadilan lingkungan, khususnya di Indonesia.

Akan tetapi, suara-suara para aktivis dalam memperjuangkan ketidakadilan lingkungan akibat kebijakan pemerintah, terutama pemberian konsesi tambang kepada ormas keagamaan dinilai didalangi kepentingan tertentu, bahkan berorientasi pada gerakan wokisme yang pernah populer di dunia barat.

Gerakan Wokisime berkembang di dunia barat, terutama di Amerika yang salah satu isu terpenting didorong ialah Isu lingkungan.

Bagi Gus Ulil, gerakan lingkungan akhir-akhir ini telah dinaikkan pada level ideologi, seperti wokisme.

Menurutnya, paham wokisme adalah sekelompok orang  yang mendapatkan hidayah. “Tapi hidayah yang sekuler”, ucap Gus Ulil dalam sebuah talkshow lesehan, dikutip bakukabar.id, Kamis (19/6/2025).

Kaum wokisme, lanjut Gus Ulil,  memiliki agenda-agenda perjuangan tertentu, salah satunya isu lingkungan. “Isu lingkungan bukanlah isu biasa, tapi juga ideology.  Yang membedakan mereka dengan manusia-manusia yang lain”, paparnya.

Di Indonesia sendiri, Gus Ulil menilai, bahwa kecenderungan adanya gerakan kaum wokisme belum nampak. Akan tetapi, pengaruh gerakan wokisme itu ada.

“Nah saya mencoba untuk mewanti-wanti jangan sampai kita ini melihat masalah lingkungan sebagai masalah ideologi. Masalah lingkungan harus dilihat dari kalkulasi maslahat dan mafsadatnya. Maslahatnya ada, mafsadatnya ada”, terangnya.

Ia bahkan mengatakan, untuk pengelolaan sumber daya alam perlu memperkuat maslahatnya dan memitigasi mafsadatnya.

Dengan demikian, Gus Ulil lalu mengajukan pertanyaan;  jika ada masalah lingkungan apakah kita mundur untuk tidak mengelola sumber daya alam sama sekali?

“Kalau bagi saya, seberapapun persoalan yang terjadi dalam pengelolaan lingkungan tidak harus membuat kita mundur untuk tidak menerima sama sekali. Justeru tidak mengelola lingkungan sama sekali adalah berbahaya”, katanya.

Di sisi lain, Ketua PBNU ini mendorong adanya diskursus secara terbuka dalam konsep pengelolaan lingkungan yang sering dikampanyekan para pegiat lingkungan selama ini.

“Saya ingin mendorong percakapan diperjelas. Posisi para pegiat lingkungan selama ini terhadap pertambangan? Apakah menolak sama sekali pertambangan atau hanya pertambangan yang sifatnya merusak?”, tanya Gus Ulil.

Di satu sisi, ada yang menurut Gus Ulil hilang dari diskursus terkait pengelolaan lingkungan di Indonesia selama ini, yakni Hak Pembangunan (right to development) bagi Negara-negara berkembang seperti Indonesia jarang dibicarakan.

“Orang-orang yang tertinggal di pedalaman misalnya punya hak untuk maju.  Dan kemajuannya bisa dibicarakan. Tapi jika kemajuannya yang dipilih salah satunya mengelola tambang yang ada di lingkungan mereka, why not?, tandasnya.

Pengampu pengajian online kitab Ihya Ulumuddin mengatakan, jika selama ini banyak masyarakat di lingkar tambang dan industri ekstraktif tidak diuntungkan, hal itu bisa diperbaiki bersama.

Ia mengapresiasi semangat para pegiat lingkungan yang selama ini terus bersuara,  karena dengan suara merekalah pemerintah dapat berpikir keras untuk mengevaluasi segala kebijakannya terkait tata kelola lingkungan.

“Kalau nggak ada mereka (aktivis lingkungan) ya repot juga. Kalau nanti hanya pengusaha tambang itu repot, kita nggak setuju juga. Harus ada orang-orang yang “berteriak” dan mengawasi itu semua”, tutup Gus Ulil dalam talkshow lesehan .

Ulil, PBNU, dan Pergeseran Posisi Intelektual

Coen Husain Pontoh seorang materialis dan pengampu media Indoprogress mengkritik argumen Gus Ulil dalam sebuah unggahan di media Facebook pribadinya.  Menurut Coen, argumen Ulil, khususnya di bagian awal di sebuah talkshow lesehan menunjukkan keterbatasan perspektif atau paradigma pembangunan modern.

Coen menilai, mengejar pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan secara bersamaan adalah mustahil dilakukan. “Sebab paradigma semacam ini adalah debat lama di dekade akhir 1960 an-hingga 1980 an sebelum disapu bersih oleh kebijakan neoliberal”, tulis Coen.

Krisis iklim menurut Coen nampak sejak modernisasi digencarkan, namun pertumbuhan ekonomi tak bisa dihentikan.  Dilema ini, kata Coen melalui pendekatan pembangunan berkelanjutan yang secara global dirumuskan melalui kesepakatan The Kyoto Protocol dan Paris Agreement.

“Saya tidak tahu apakah Ulil mengikuti perkembangan ini, tetapi pendekatan Pembangunan Berkelanjutan itu sendiri sebenarnya sudah gagal. Didorong oleh ideologi kapitalisme-neoliberal yang mengomodifikasikan seluruh aspek kehidupan, seperti lingkungan (udara, air, dst) hingga layanan-layanan publik, AS dan negara-negara Barat, serta Cina, gak pernah mau 100 persen melaksanakan kesepakatan-kesepakatan tersebut, bahkan AS kemudian menarik diri dari Paris Agreement. Cina bilang, “kamu udah merusak lingkungan lebih dulu untuk sampai pada posisi yang unggul seperti ini, terus kenapa kamu larang kami untuk tidak melakukan hal yang sama untuk bisa maju seperti kamu?” , terang Coen.

Coen dalam unggahan itu bilang, bahwa negara-negara berkembang seperti Indonesia, juga berargumen seperti Cina tersebut, bahkan dengan memberi tekanan politis: ini bentuk baru dari imperialisme dan kolonialisme berbaju krisis lingkungan.

“Masalahnya adalah, ini bukan semata soal kebijakan apalagi sekadar kebijakan tata kelola: membangun pertumbuhan ekonomi vs menjaga kelestarian lingkungan, tetapi ini soal paradigma pembangunan seperti apa yang mau kita jalankan. Tetapi, Ulil, sebagai intelektual Islam terkemuka, tentu membaca perkembangan pemikiran ini, mengikuti perdebatan di seputarnya, dan itu tercermin dalam berbagai cuitannya yang mengalami perubahan. Sebelumnya ia mengkritik strategi pembangunan yang hanya mendasarkan pada eksplorasi dan ekspropriasi sumber daya alam, yang menurutnya tidak berkorelasi dengan kemajuan ekonomi sebuah bangsa”, ungkap Coen.

Coen mempertanyakan posisi Ulil yang dengan mati-matian membela model yang ia kecam sebelumnya? Apakah secara teoritik ia telah berpindah posisi atau makin menegaskan posisinya sebagai seorang libertarian?

Jika melihat dari argumen-argumen Ulil membela kebijakan penambangan, kata Coen,  sungguh menyesakkan, karena pembelaannya dinilai bukan hanya miskin secara teoritik, memaksakan dalil-dalil keislaman, tetapi juga konspiratif.

Sebagai seorang materialis, Coen melihatnya karena  karena Ulil, yang kini menjabat sebagai Ketua PBNU, harus membela keputusan PBNU yang menerima konsesi tambang yang ditawarkan oleh pemerintahan Jokowi waktu itu.

“Ada kepentingan ekonomi-politik yang sangat material, di sana, di PBNU dan di Ulil, bahwa  menurutnya keputusan PBNU itu memberikan maslahat ekonomi, yakni meningkatnya kesejahteraan warga NU. Nah, Ulil mungkin harus menunjukkan, siapa saja warga NU yang mendapatkan keuntungan dan siapa warga NU yang dirugikan dari penerimaan konsesi tambang tersebut”, tutup Coen.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup