Efek Domino Konflik Iran-Israel: Polarisasi Sektarian dan Agama di Indonesia

Kolase Bakukabar.id: Dua tangan hendak berjabat, satu dari Iran dan satu dari Israel, tapi tidak saling menyentuh—dengan latar penuh kawat berduri.

Mari kita sejenak merefleksi dan merenungkan sebuah fenomena yang menarik, sekaligus menantang. Pasca eskalasi konflik Iran-Israel meningkat, media sosial juga semakin riuh dengan postingan dan komentar pro-kontra. Bagaimana konflik nun jauh di sana, di Timur Tengah, yang notabene adalah soal perebutan hegemoni, mampu memicu kegaduhan sampai ke Indonesia.

Mungkin konflik Iran-Israel terkesan jauh, seolah tak relevan dengan keseharian kita. Namun, jika kita amati lebih dalam, percikan dari konflik itu ternyata mampu menghasilkan riak-riak di tengah masyarakat, bahkan berpotensi menguji fondasi kerukunan yang selama ini telah kita jaga. Isu yang awalnya tampak jauh, pada kenyataannya, mampu mengaduk-aduk sentimen sektarian dan agama, tak hanya sesama saudara Muslim, juga saudara sebangsa berbeda agama.

Pergeseran Simpati dan Identifikasi Sosial

Dari sudut pandang antropologi, kita bisa memahami bahwa sebagai manusia, kita memiliki kebutuhan dasar untuk merasa terhubung, untuk mengidentifikasi diri dengan suatu kelompok, dan merasakan afiliasi. Apalagi kalau kelompok itu sedang susah. Misalnya, sebagai Muslim, kita tentu merasa simpati dengan saudara kita di Palestina yang sedang menderita ulah Israel.

Ketika terjadi konflik Iran-Israel, banyak dari kita yang sebelumnya merasa tidak bisa apa-apa atas penderitaan Palestina, kini seakan menemukan momentum “balas dendam”, melihat ada sebuah negara yang mampu memberi Israel pelajaran agar tidak terlalu jumawa di kawasan. Dalam konflik Iran-Israel ini, simpulnya jadi jelas: siapa memihak siapa.

Solidaritas pada Palestina itu sah, itu kemanusiaan. Tapi, justru lucu, ketika Iran yang juga memihak Palestina, tapi karena dia Syiah, tiba-tiba solidaritas itu menjadi problematik bagi sebagian kalangan Muslim Sunni di sini. Narasinya bukan lagi soal penindasan, ini justru menguat soal preferensi sektarian. Alih-alih fokus pada solidaritas universal, mereka justru lebih kuat berpegang pada narasi anti-Syiah.

Teori identitas sosial dari Tajfel dan Turner mengungkap, kita punya kecenderungan menunjukkan favoritisme terhadap kelompok sendiri (in-group), sambil membedakan diri dari kelompok lain (out-group). Relevansi teori ini tampak pada bagaimana “Muslim Sunni” di sini justru lebih mengukuhkan identitasnya hanya untuk membedakan diri dari Syiah, bahkan ketika keduanya punya musuh yang sama. Narasi yang mengedepankan perbedaan dengan Syiah justru lebih dominan daripada solidaritas umum “Muslim melawan penindasan”.

Ini jelas paradoks, bahkan hipokrisi intelektual. Fenomena ini diperparah oleh “echo chamber” di media sosial. Di dalam ruang gema ini, kita cenderung hanya terpapar pada informasi yang hanya sesuai dengan keyakinan kita, sehingga mengukuhkan bias yang ada. Akibatnya, jurang pemisah bisa melebar dan stereotip menjadi semakin mengakar.

Polarisasi dan Mobilisasi Sosial di Ruang Publik

Secara sosiologis, Indonesia memang punya riwayat panjang dalam meletakkan agama di etalase publik. Konflik di Timur Tengah, sejauh ini seringkali dibalut retorika keagamaan, menjadi semacam katalis baru bagi munculnya polarisasi.

Kelompok-kelompok yang selama ini memiliki agenda sektarian atau ultra-konservatif yang cenderung kurang terbuka terhadap perbedaan, seolah menemukan “bahan bakar” baru. Mereka memanfaatkan isu Iran-Israel untuk memperkuat narasi mereka, terkadang dengan menyebarkan disinformasi atau stereotip negatif tentang Iran karena identitas Syiah-nya. Ini adalah penyederhanaan yang berbahaya, mengubah konflik geopolitik yang rumit menjadi sekadar pertarungan sektarian, padahal kenyataannya jauh lebih berlapis.

Manifestasi dari polarisasi ini tidak hanya terjadi di dunia maya. Ada potensi besar bisa bergeser ke ranah mobilisasi massa di dunia nyata. Misalnya, aksi solidaritas yang awalnya murni untuk mendukung Palestina, dengan niat baik, bisa saja “tersusupi” dan dialihkan menjadi ajang untuk menonjolkan perbedaan sektarian dan agama.

Disamping itu, konflik Iran-Israel seolah memberikan “pembenaran eksternal” bagi sebagian kelompok di Indonesia untuk menegaskan superioritas sektarian mereka, dan ini pada gilirannya dapat mengikis persatuan nasional kita.

Tidak hanya isu sektarian sesama Muslim, ada pula spektrum dukungan yang perlu kita pahami. Beberapa umat Kristen di Indonesia juga menunjukkan dukungan terhadap Israel, meskipun tidak sedikit pula yang bersimpati pada Palestina. Dukungan ini bisa berakar dari penafsiran Alkitab yang berbeda, pandangan politik pribadi, atau rasa solidaritas keagamaan. Penting bagi kita untuk menyadari bahwa pandangan keagamaan bukanlah monolit, dan keragaman ini justru menambah kompleksitas dalam upaya menjaga kohesi sosial kita.

Belum luput dari ingatan kita, sebuah video viral di akhir tahun 2023. Aksi bela Palestina di Kota Bitung, Sulawesi Utara (Sulut), berakhir ricuh. Massa aksi terlibat bentrok dengan salah satu ormas yang di video tampak membawa bendera Israel. Video itu viral dengan narasi liar terjadi bentrokan antara massa pro-Palestina dengan massa pro-Israel. Konflik semacam ini masih potensial terjadi.

Ancaman Disintegrasi dan Tantangan Kohesi Sosial

Ancaman disintegrasi sosial itu nyata, tapi bukan karena konflik yang terjadi di Timur Tengah sana, seringkali justru karena kemalasan berpikir kita. Jika narasi sektarian dan agama ini terus dibiarkan mengakar, kita akan melihat ketegangan komunal yang lebih parah.

Perdebatan teologis yang seharusnya menjadi ranah akademis atau diskusi terbatas, bisa meresap hingga ke akar rumput, memicu prasangka mendalam, diskriminasi, bahkan berujung pada kekerasan antarkelompok. Ini adalah skenario yang harus kita hindari bersama. Indonesia, dengan segala narasi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika-nya, yang justru oleh elit seringkali hanya jadi slogan kosong, kini sedang diuji.

Tantangan kohesi sosial ini adalah tantangan serius yang harus jadi perhatian semua pihak. Pemerintah, para tokoh agama, masyarakat sipil, perlu secara proaktif dan masif melawan narasi yang memecah belah ini.Edukasi tentang jargon persatuan, kerukunan, kebebasan, moderasi, hingga beragama maslahat akan berakhir omong kosong jika tak disertai rasionalitas kritis. Pemahaman tentang konflik global harus lepas dari bias sektarian. Penekanan pada persatuan dan toleransi itu hanya retorika belaka jika tidak ada upaya untuk memberantas mencegah narasi polarisasi sektarian dan agama baik di dunia nyata dan maya.

Tanpa upaya kolektif ini, “Perang Iran-Israel” yang nun jauh di sana, bisa-bisa menjadi “api” yang membakar kerukunan di rumah besar kita, Indonesia. Mari kita jaga bersama rumah kita ini dengan kebijaksanaan dan kedewasaan beragama. (***)

Oleh : Donald Q. Tungkagi(Dosen Sosiologi Agama IAIN Sultan Amai Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup