Puzzle Terakhir Demokrasi: Partisipasi Publik di Media Digital

Ilustrasi

Indonesia sudah lama menerima demokrasi sebagai bentuk. bahkan sejak awal diproklamirkan, demokrasi diterima sebagai instrumen politik utama. Tetapi entah kenapa, selalu terasa ada yang kurang lengkap. Seolah ada satu puzzle yang hilang dan membuat demokrasi kita tak utuh. Yaitu partisipasi publik yang subtantif. Padahal, partisipasi publik adalah mandat utama demokrasi.

Selama bertahun-tahun, partisipasi publik dalam siklus demokrasi adalah sebatas mendatangi bilik suara. Publik memilih, lalu pulang. Setelah itu, suara rakyat berhenti. Menunggu lima tahun berikutnya.

Pemerintah menjalankan kekuasaan dengan sedikit sekali kontrol dari warga. Lembaga legislatif, yang seharusnya menjadi penghubung antara rakyat dan kebijakan, justru sering tampil sebagai perpanjangan tangan pemerintah. Fungsi pengawasan melemah, fungsi representasi menguap.

Demokrasi akhirnya tereduksi menjadi rutinitas prosedural. Ia hidup dari satu jadwal ke jadwal berikutnya, tanpa diiringi kesadaran politik yang utuh. Partisipasi warga dibatasi pada euforia pemilu, lalu dibiarkan hilang begitu kekuasaan terbentuk.

Ruang-ruang partisipasi yang tersedia lebih banyak bersifat kosmetik: forum publik yang dikendalikan elit, uji publik yang hanya formalitas, dan mekanisme aduan yang tidak pernah sungguh-sungguh menyelesaikan persoalan. Atau paling keras adalah demonstrasi mahasiswa yang berakhir bentrok.

Dalam situasi semacam itu, yang tumbuh bukan kesadaran kolektif, melainkan frustrasi kolektif. Frustrasi yang tidak diberi ruang justru menjelma menjadi ancaman diam-diam. Demokrasi yang kehilangan saluran partisipasi sejatinya sedang memelihara kemarahan. Ketika suara rakyat dipinggirkan, dan partisipasi dikunci rapat oleh elit, kemarahan itu tidak hilang—ia hanya menunggu tempat untuk meledak.

Ledakan itu tidak datang dari jalan. Tidak dari kampus. Tapi ruang yang tumbuh dan tak terkendali secara global: media digital.

Media sosial berbasis digital sejatinya tidak dirancang untuk urusan politik. Tapi justru di sanalah politik warga menemukan ekspresinya. Ruang digital memungkinkan rakyat berbicara tanpa batas dan tanpa izin siapa-siapa. Di sinilah publik mulai berbicara, mengorganisasi opini, menggalang solidaritas, bahkan bisa menekan kebijakan.

Contoh paling terlihat jelas terjadi pada 2020, saat Undang-Undang Cipta Kerja disahkan. Gelombang penolakan muncul bukan hanya dari jalanan, tapi juga dari jagat digital. Tagar #TolakOmnibusLaw menjadi trending. Ratusan desain poster, utas edukatif, dan video pendek menyebar luas, memperluas kesadaran publik tentang isi dan dampak regulasi tersebut.

Aksi digital itu bukan sekadar ekspresi—ia adalah intervensi. Bahkan Mahkamah Konstitusi akhirnya menyatakan UU tersebut “inkonstitusional bersyarat”. Ini bukan kemenangan instan, tapi menunjukkan bahwa ruang digital bisa menjadi kanal kontrol publik terhadap kekuasaan.

Transformasi ruang digital menjadi arena politik warga terjadi secara organik. Tidak dikoordinasikan negara, tidak dipandu oleh partai politik. Ia tumbuh dari kebutuhan untuk bersuara dan terlibat.

Ruang digital memberi peluang partisipasi yang lebih terbuka dan horizontal. Siapa pun bisa menyampaikan pendapatnya tanpa harus punya posisi formal. Seorang pelajar, nelayan, guru, atau pekerja informal bisa mengungkapkan kritiknya langsung kepada pemegang kebijakan—dan bisa viral.

Di sinilah demokrasi menemukan bentuk yang lebih lengkap. Bukan hanya soal memilih, tapi juga soal mengawasi. Bukan hanya suara lima tahunan, tapi suara harian yang bisa muncul dari mana saja.

Tentu ruang digital tidak tanpa masalah. Di sana juga ada hoaks, polarisasi, dan penggiringan opini oleh aktor politik. Tapi ruang yang bising lebih sehat bagi demokrasi dibanding ruang yang sunyi dan terkendali.

Persoalannya hari ini justru terletak pada negara. Apakah negara siap mengakui ruang digital sebagai bagian dari demokrasi? Atau justru merasa terganggu dan ingin menertibkannya dengan dalih keamanan atau ketertiban?

Beberapa kebijakan yang lahir belakangan ini menunjukkan kecenderungan mengawasi dan membatasi ruang digital, bukan memperkuatnya sebagai kanal partisipasi. Ini berbahaya. Karena akan membawa kita mundur ke demokrasi prosedural yang semu.

Jika demokrasi ingin hidup, maka partisipasi publik tidak boleh dimarjinalkan. Dan hari ini, partisipasi itu nyata hadir di ruang digital. Bukan hanya sebagai ekspresi, tetapi sebagai pengaruh.

Puzzle terakhir demokrasi akhirnya ditemukan. Bukan di kantor pemerintahan. Bukan di gedung parlemen. Tapi di layar ponsel warga biasa.

Dan dari situ, demokrasi Indonesia pelan-pelan mulai berbentuk lebih utuh.

Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup