Masjid dan Gereja: Bukan Sekadar Perbedaan Bangunan
Perbedaan antara masjid dan gereja mungkin terdengar sederhana, bahkan anak kecil pun bisa membedakannya; cukup dengan melihat bentuk kubah dan salib, akan tampak jelas perbedaan keduanya. Namun, dalam praktik sosial dan kehidupan beragama, perbedaan itu menyimpan kompleksitas yang jauh lebih dalam.
Masjid dan gereja bukan semata soal bentuk bangunan atau simbol agama, tetapi juga menyangkut hak, pemahaman, serta relasi antarumat beragama. Di balik perbedaan fisik itu, tersembunyi lanskap sosial yang tidak sesederhana kelihatannya, tetapi juga terkait persoalan penerimaan serta upaya menjalani keberagaman secara adil dalam kehidupan bersesama.
Kendati demikian, penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah, khususnya gereja masih kerap terjadi. Ironisnya, alasan di balik penolakan tersebut bukan soal administratif atau teknis semata, melainkan juga berasal dari ketidaktahuan yang berakar pada prasangka dan kebencian.
Dalam banyak kasus, pembangunan gereja sering kali dianggap sebagai bagian dari agenda kristenisasi. Padahal, anggapan tersebut tidak selalu benar. Bisa jadi, hal itu semata merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan spiritual warga negara yang kebetulan menganut keyakinan berbeda dari kelompok mayoritas di wilayah tersebut.
Namun yang kerap luput disadari adalah komunitas Kristen sendiri terdiri atas berbagai denominasi seperti Katolik, Protestan, Pentakosta, dan lainnya; yang masing-masing memiliki tata cara ibadah serta liturgi yang berbeda. Oleh karena itu, kebutuhan akan rumah ibadah yang beragam bukanlah soal kemewahan, melainkan cerminan dari realitas keberagaman internal yang nyata. Ini berbeda dengan umat Islam, meskipun memiliki perbedaan mazhab atau aliran, secara umum tetap dapat beribadah bersama dalam satu masjid.
Sayangnya, sebagian masyarakat masih terjebak dalam anggapan yang keliru. “Untuk apa membangun gereja di sini, bukankah sudah ada dua?” Kalimat semacam ini mungkin terdengar logis di permukaan, namun sejatinya lahir dari ketidaktahuan terhadap dinamika internal dalam komunitas Kristen. Jika tidak diluruskan, kesalahpahaman ini dapat tumbuh menjadi opini kolektif yang bisa menghambat hak warga untuk menjalankan keyakinannya secara layak dan setara.
Demikian pula, jika ketidaktahuan semacam ini tidak segara dijembatani oleh pemahaman, ia tumbuh menjadi kecurigaan. Jika dibiarkan, kecurigaan ini bisa mengeras menjadi permusuhan. Pada titik inilah relasi antarumat menjadi rapuh. Asumsi keliru dianggap fakta, dan itu membahayakan kebersamaan.
Di sinilah pentingnya kehadiran tokoh agama, penyuluh, dan pemimpin masyarakat. Mereka memegang kunci untuk menjernihkan kabut prasangka. Gereja tidak dibangun untuk menandingi masjid, melainkan untuk memberi ruang ibadah bagi warga yang berhak merasakannya.
Mengutip pandangan Gus Dur, banyaknya gereja di suatu daerah bukanlah tanda ancaman, melainkan cerminan dinamika kompetisi sehat di internal umat Kristiani untuk melayani jemaat masing-masing. Masjid, gereja, pura, klenteng dan vihara adalah wajah dari sebuah masyarakat yang plural. Mereka tidak sedang bersaing, melainkan memperlihatkan kebebasan beragama yang dijamin oleh konstitusi dan dijiwai oleh nilai-nilai kemanusiaan.
Dengan semangat itu, kita diajak untuk menanggalkan prasangka dan menumbuhkan pemahaman. Karena membangun harmoni bukan tentang menyamakan semua perbedaan, melainkan menerima bahwa perbedaan adalah bagian dari sunnatullah.
Pembangunan rumah ibadah bukanlah ancaman, ia adalah pengingat bahwa semua orang, tanpa kecuali, punya hak untuk percaya dan beribadah menurut imannya, dan toleransi sejati bukan sekadar tinggal berdampingan, tapi juga memahami alasan mengapa yang lain bisa berbeda dengan kita. Tanpa kesalingpahaman, damai hanya akan jadi wacana.
Pada akhirnya, ketika kebencian terdengar lebih nyaring daripada empati, dan penolakan terasa lebih mudah daripada upaya memahami, barangkali inilah saatnya kita jeda sejenak; berdiam diri, mendengar, dan dengan rendah hati menelusuri ketidaktahuan kita. Sebab menyadari ketidaktahuan bukanlah kelemahan, melainkan langka pertama menuju kebijaksanaan. Dalam keheningan itulah, kita berpeluang menemukan kembali nilai-nilai kemanusiaan yang sering terpinggirkan oleh ego, prasangka dan ilusi ketakutan terhadap perbedaan.
Oleh : Suaib. A. Prawono – Koordinator Wilayah GUSDURian Sulawesi, Maluku dan Papua (Sulampapua)