Akuntabilitas Bea Keluar Emas dan Batu Bara
Kebijakan fiskal adalah cerminan dari prioritas dan strategi suatu negara dalam mengelola keuangannya. Pada Senin, 7 Juli 2025, pemerintah bersama Komisi XI DPR RI menorehkan babak baru dalam sejarah penerimaan negara kita dengan menyepakati perluasan basis penerimaan negara.
Salah satu poin krusial yang disepakati adalah pengenaan bea keluar atas produk emas dan batu bara. Keputusan ini, yang dibahas dalam rapat kerja Komisi XI DPR RI bersama jajaran petinggi ekonomi negara, bukan sekadar penambahan pos pendapatan, melainkan juga sebuah uji coba terhadap prinsip “akuntabilitas” dalam tata kelola pemerintahan.
Sebagai mahasiswa akuntansi, saya memahami betul bahwa akuntabilitas adalah tulang punggung dari setiap kebijakan publik yang efektif dan berkeadilan. Ini bukan hanya tentang pencatatan keuangan yang rapi, tetapi juga tentang transparansi, kejelasan tujuan, efisiensi penggunaan dana, dan pertanggungjawaban kepada publik. Dalam konteks bea keluar emas dan batu bara, akuntabilitas memegang peranan sentral.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyatakan bahwa pengaturan teknis bea keluar ini akan mengacu pada peraturan Kementerian ESDM. Ini adalah langkah awal yang baik untuk akuntabilitas, karena penetapan tarif dan mekanismenya harus jelas dan berdasarkan data teknis yang valid. Saat ini, emas mentah atau dore bullion sudah dikenai bea keluar sesuai PMK Nomor 38/2024.
Namun, tantangannya ada pada perluasan objek ke emas batangan dan perhiasan. Jika kebijakan ini diterapkan, perlu ada kejelasan yang rinci mengenai metode penilaian, titik pengenaan bea, dan bagaimana ini akan memengaruhi rantai pasok industri emas secara keseluruhan.
Tanpa transparansi yang memadai, potensi praktik penghindaran pajak atau bahkan penyelundupan bisa saja terjadi, yang pada akhirnya akan menggerogoti potensi penerimaan negara dan merusak iklim investasi yang sehat.
Yang tak kalah penting adalah pengenaan bea keluar untuk batu bara. Sejak 2006, batu bara hanya dikenai royalti sebagai PNBP. Keputusan untuk mengenakan kembali bea keluar pada komoditas ini membuka peluang besar untuk penerimaan, namun juga menuntut akuntabilitas yang tinggi.
Wakil Ketua Komisi XI DPR RI, Fauzi H Amro, menyampaikan bahwa tarif bea keluar akan diusulkan oleh Kementerian ESDM kepada Kementerian Keuangan dan ditetapkan dalam bentuk PMK. Ini menunjukkan adanya koordinasi antarlembaga, namun proses perumusan tarif ini harus dibuka seluas-luasnya untuk partisipasi publik, khususnya pelaku industri. Bagaimana tarif ini dihitung? Apa saja pertimbangan di balik angka tersebut, apakah memperhitungkan fluktuasi harga global, biaya produksi, atau bahkan dampak lingkungan?
Semua pertanyaan ini membutuhkan jawaban yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Akuntabilitas juga berarti memastikan bahwa pendapatan yang terkumpul dari bea keluar ini digunakan secara efisien dan efektif untuk kepentingan rakyat. Di sinilah peran pengawasan dari DPR dan partisipasi masyarakat menjadi sangat krusial.
Penerimaan dari sektor sumber daya alam, termasuk bea keluar, idealnya dialokasikan untuk pembangunan berkelanjutan, diversifikasi ekonomi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, atau bahkan untuk mengatasi dampak negatif dari aktivitas pertambangan itu sendiri. Tanpa mekanisme alokasi yang transparan dan audit yang ketat, dana ini berpotensi disalahgunakan atau tidak tepat sasaran.
Selain emas dan batu bara, Komisi XI juga mendorong perluasan basis penerimaan melalui ekstensifikasi barang kena cukai baru, khususnya pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Rencana ini, yang ditujukan untuk produk dengan kadar gula di atas 6 persen, memiliki dimensi akuntabilitas yang berbeda.
Di satu sisi, ada pertanggungjawaban pemerintah untuk melindungi kesehatan masyarakat. Di sisi lain, ada akuntabilitas dalam memastikan bahwa kebijakan ini tidak membebani masyarakat berpenghasilan rendah secara tidak proporsional atau justru mematikan industri minuman.
Fauzi H Amro menekankan pentingnya sosialisasi agar kebijakan tidak menimbulkan polemik. Ini adalah inti dari akuntabilitas komunikasi. Pemerintah tidak bisa hanya menetapkan kebijakan, lalu berharap masyarakat menerima begitu saja. Sosialisasi harus dilakukan secara masif, melibatkan berbagai pihak, dan menjelaskan secara gamblang tujuan, manfaat, serta dampak dari kebijakan tersebut.
Keterbukaan informasi ini akan membangun kepercayaan publik dan mengurangi potensi resistensi. Waktu penerapan, apakah pada semester II 2025 atau mulai 2026, juga harus dijelaskan secara transparan, termasuk alasan di balik penundaan atau percepatan.
Singkatnya, kebijakan bea keluar untuk emas dan batu bara, serta rencana cukai MBDK, adalah langkah strategis untuk memperkuat postur fiskal negara. Namun, nilai sebenarnya dari kebijakan ini tidak hanya terletak pada seberapa besar penerimaan yang dapat dikumpulkan, melainkan juga pada seberapa akuntabel proses perumusan, implementasi, dan pengelolaannya.
Sebagai mahasiswa akuntansi, saya percaya bahwa akuntabilitas yang kuat adalah jaminan bahwa setiap rupiah yang diperoleh dari kebijakan ini akan benar-benar digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Tanpa akuntabilitas, kebijakan fiskal hanya akan menjadi alat pengumpul dana tanpa arah yang jelas.
Oleh: Siti Nurul Hikmah – (Mahasiswa Akuntansi UNUSIA)