Ketika Karamah dan Budaya Menyatu: Menelusuri Jejak Spiritualitas Islam Gorontalo Lewat Sosok Bapu Paci Nurjana
Di tanah Gorontalo, Islam tidak hanya dipeluk dalam syariat, tetapi juga dirawat dalam budaya. Dalam ritus seperti modikili, tahlilan, maulidan, dan doa arwah, agama dan adat saling menyatu. Di antara masyarakat yang memegang teguh warisan ini, terdapat satu nama yang tetap harum hingga hari ini: KH Yahya Podungge, atau yang lebih dikenal dengan Bapu Paci Nurjana.
Bapu Paci bukan sekadar ulama. Ia adalah pengembara spiritual, penjaga nilai, dan saksi hidup tentang bagaimana Islam Nusantara bekerja: tidak menghapus budaya, tapi menyucikannya. Di tengah gempuran modernitas dan formalisme agama, warisan laku spiritual dan budaya Islam seperti ini penting untuk dikaji kembali—baik sebagai bahan refleksi keagamaan, maupun sebagai sumber keislaman khas Indonesia.
Karamah Sebagai Manifestasi Laku Spiritual
Dalam literatur klasik Islam, karamah didefinisikan sebagai peristiwa luar biasa yang terjadi pada diri seorang wali, berbeda dari mukjizat yang hanya dimiliki para nabi (al-Jurjani, al-Ta‘rifat, hlm. 204). Imam an-Nawawi menyebutkan bahwa karamah adalah bagian dari tanda kedekatan seorang hamba kepada Allah Swt (Lihat: al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, jilid 1).
Dalam konteks Bapu Paci, karamah bukan sensasi. Ia buah dari suluk dan khalwat bertahun-tahun. Menurut penuturan Imam Bidi, murid sekaligus saksi hidupnya, Bapu Paci melakukan khalwat di berbagai tempat seperti Atinggola dan Paguat, dalam rangkaian laku spiritual untuk memahami keberadaan makhluk gaib, para nabi, hingga Tuhan.
Fenomena ini bukan hal baru dalam tradisi Islam lokal. Martin van Bruinessen menyebut bahwa banyak ulama Nusantara menjalani tahapan suluk dan uzlah dalam proses pembentukan spiritualitasnya (Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, 1995). Ini menegaskan bahwa karamah dalam Islam bukan hal asing, namun justru bagian dari kosmologi keilmuan sufistik yang dikenal luas di dunia Islam tradisional.
Islam Kultural: Budaya Sebagai Medium Dakwah
Bapu Paci menerima dan menggunakan tradisi lokal seperti tahlilan, mauludan, dan modikili sebagai sarana dakwah. Ia tidak menghapus budaya masyarakat Gorontalo, melainkan menyisipkan nilai Islam ke dalamnya.
Konsep ini sejalan dengan gagasan Islam kultural sebagaimana yang digagas oleh Kuntowijoyo (2001) dalam bukunya Identitas Politik Umat Islam. Menurut Kunto, Islam kultural adalah cara memahami dan mengekspresikan Islam dalam bentuk nilai dan budaya, bukan semata-mata dalam formalisme syariat.
Bahkan, KH Hasyim Asy’ari sendiri dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim menekankan pentingnya ulama menjangkau masyarakat lewat tradisi lokal, selama tidak bertentangan secara prinsipil dengan akidah dan syariat. Apa yang dilakukan Bapu Paci adalah pengejawantahan dari semangat dakwah bil hikmah: merangkul, bukan menghakimi.
Spiritualitas dan Khalwat dalam Tradisi Islam
Dalam sejarah Islam klasik, khalwat adalah praktik utama dalam dunia tarekat. al-Qusyairi dalam al-Risalah al-Qusyairiyyah menulis bahwa khalwat menjadi wasilah bagi seorang salik untuk memurnikan jiwa dari gangguan syahwat dunia.
Tradisi ini dikenal luas dalam dunia sufi, termasuk di Nusantara. Fathurrahman (2017) dalam jurnal Heritage of Nusantara menyatakan bahwa suluk dan khalwat menjadi medium penting dalam konstruksi kewalian di dunia Melayu-Islam. Dalam hal ini, pengalaman khalwat Bapu Paci bukanlah anomali, tetapi bagian dari laku spiritual klasik Islam yang meresap dalam konteks lokal.
Toleransi dan Teologi Inklusif
Yang menarik dari Bapu Paci adalah sikap tolerannya terhadap non-Muslim. Ia pernah diminta mendoakan rumah seorang Hindu-Tionghoa di Gorontalo. Ketika ditanya, ia menjawab: boleh. Menurutnya, manusia dinilai bukan semata-mata dari agama formal, tetapi dari keyakinan terdalamnya kepada Allah dan hari akhir.
Sikap ini bersesuaian dengan QS. Al-Baqarah ayat 62, yang menyatakan bahwa siapa pun yang beriman kepada Allah, hari akhir, dan beramal saleh, maka akan mendapatkan pahala di sisi Tuhan mereka. Penafsiran ini sejalan dengan tafsir Fazlur Rahman, yang menyebut bahwa ayat ini menandai inklusivitas moral Islam, selama landasannya adalah keimanan dan amal saleh (Major Themes of the Qur’an, 1980).
Menolak Honor, Menjaga Keberkahan Ilmu
Bapu Paci menolak menerima honor dalam pengajaran kitab, bahkan menolak SK pengangkatan guru agama di SD karena tidak ingin “menggaji” ilmu agama. Sikap ini mencerminkan laku ikhlas yang tinggi, sebagaimana dicontohkan oleh ulama-ulama klasik.
Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, Imam al-Ghazali memperingatkan bahwa ilmu yang dicari karena dunia akan kehilangan barakah dan cahayanya. Semangat menjaga keikhlasan dalam pengajaran seperti ini adalah warisan penting dari ulama pesantren.
Islam yang Membumi dan Melangit
Sosok Bapu Paci Nurjana adalah gambaran konkret dari Islam Nusantara yang bercorak sufistik, kultural, dan humanistik. Ia tidak sekadar mengajarkan hukum-hukum agama, tetapi menanamkan kebijaksanaan spiritual yang hidup dalam masyarakat.
Kisah hidupnya menegaskan bahwa agama bukanlah monumen yang kaku, tetapi taman yang hidup—yang bisa tumbuh dalam berbagai tanah, selama disiram oleh ilmu, kesadaran, dan kasih sayang.
Penulis aktiv di Perkumpulan Kajian Keagaman dan Budaya (Association for Religious and Culture Studies, ARCS)