“Mengapa Yang Tua Masih Relevan?” : Menakar Usia, Latar dan Kepemimpinan Gorontalo Pada Pilgub 2031

Oleb : Dr. Funco Tanipu, ST. M.A (Sosiolog, Founder The Gorontalo Institute)

Pilkada Gubernur Gorontalo 2031 memang masih berjarak enam tahun. Namun seperti politik pada umumnya, pertarungan tak selalu dimulai di hari pemungutan suara. Dinamika, penjajakan, bahkan tarik-menarik simbolik sudah mulai terasa dari sekarang. Menariknya, dari daftar tokoh yang kerap disebut dalam berbagai percakapan publik dan spekulasi politik, semuanya berasal dari generasi senior. Pada tahun 2031 nanti, Ismet Mile (lahir 26 Februari 1949) akan berusia 82 tahun, Adhan Dambea (7 Juni 1958) 73 tahun, Gusnar Ismail (12 Desember 1959) 72 tahun, Rum Pagau (13 Februari 1961) 70 tahun, dan Rachmad Gobel (3 September 1962) 69 tahun. Disusul Syaiful Mbuinga (5 Agustus 1963) 68 tahun, Dany Pomanto (30 Januari 1964) dan Idah Syaidah (11 Maret 1964) masing-masing 67 tahun. Sementara itu, Hamka Hendra Noer (20 Juli 1968), Ismail Pakaya (13 Januari 1968), dan Lukman Laisa (6 Maret 1968) akan menginjak usia 63 tahun, dan Syarief Mbuinga (16 Juni 1973) menjadi yang termuda dengan usia 58 tahun.

Semua nama itu bukan tokoh baru. Mereka telah menempuh jalan panjang di pemerintahan maupun politik. Sebagian besar bahkan masih aktif menjabat hingga 2029. Adhan Dambea adalah Wali Kota Gorontalo, Syaiful Mbuinga menjabat sebagai Bupati Pohuwato, Rum Pagau sebagai Bupati Boalemo, dan Ismet Mile sebagai Bupati Bone Bolango. Gusnar Ismail adalah Gubernur saat ini, didampingi Idah Syaidah sebagai Wakil Gubernur. Di level nasional, Rachmad Gobel menjabat sebagai anggota DPR RI, dan Syarief Mbuinga di DPD RI. Hamka Hendra Noer dan Ismail Pakaya pernah menjabat sebagai Penjabat Gubernur Gorontalo dan kini merupakan pejabat eselon I di Kemenpora dan Kemenaker. Lukman Laisa, juga eselon I, kini menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub. Dany Pomanto, meski tidak memegang jabatan saat ini, dikenal sebagai mantan Wali Kota Makassar dua periode yang masih punya daya tarik politik nasional.

Jika ditinjau dari afiliasi politik, wajah Pilkada Gorontalo 2031 bisa saja menjadi cerminan pertarungan lintas partai dan lintas poros lama. Adhan Dambea dan Syaiful Mbuinga mewakili Partai Gerindra. Rum Pagau dan Rachmad Gobel terafiliasi dengan Partai NasDem. Idah Syaidah adalah kader Partai Golkar, Gusnar Ismail berasal dari Demokrat. Tokoh-tokoh lain seperti Ismet Mile, Syarief Mbuinga, Dany Pomanto, Hamka Hendra Noer, Ismail Pakaya, dan Lukman Laisa tidak secara formal tercatat dalam partai politik tertentu, meskipun tetap aktif dalam jalur profesional maupun politik teknokratik.

Pertanyaannya, apakah usia tua menjadi kendala, atau justru aset? Teori-teori kepemimpinan kontemporer memberikan perspektif yang cukup beragam. Studi dari Journal of Leadership Studies (2022) menunjukkan bahwa usia lanjut bisa tetap menjadi sumber otoritas, terutama jika dibarengi dengan kemampuan reflektif dan pola kepemimpinan kolaboratif lintas generasi. Sementara itu, teori leadership life cycle yang dikembangkan oleh James MacGregor Burns dan Bernard Bass menegaskan bahwa pemimpin usia lanjut memang unggul dalam intuisi, pengalaman, dan stabilitas jaringan, namun bisa mengalami defisit pada inovasi dan kecepatan respons terhadap krisis.

Dalam konteks sosiologis, Pierre Bourdieu memandang usia sebagai bagian dari habitus yang dibentuk oleh pengalaman sosial jangka panjang. Namun ketika struktur sosial berubah cepat, seperti yang terjadi hari ini dalam era digital dan keterbukaan, maka habitus yang terlalu senior bisa terasing dari doxa generasi muda. Di titik ini, usia menjadi jarak simbolik yang harus dijembatani oleh kemampuan transformatif.

Itulah sebabnya, dari tahun 2025 hingga 2029, periode transisi sebelum Pilkada, menjadi sangat krusial. Mereka yang kini menjabat di eksekutif daerah harus menunjukkan bahwa usia mereka tidak menjadi beban, melainkan keunggulan yang bisa dikombinasikan dengan pendekatan baru. Mereka perlu membuktikan kapasitas bukan hanya sebagai administrator, tapi juga sebagai inovator dan fasilitator kolaborasi antar generasi. Membuka ruang kaderisasi, merangkul anak muda dalam pengambilan kebijakan, dan mendemonstrasikan keterbukaan terhadap gagasan baru menjadi keniscayaan.

Tentu kita tidak bisa menutup mata bahwa semua tokoh senior ini memiliki pengalaman panjang dalam perumusan kebijakan publik, pengelolaan birokrasi, dan kecakapan dalam relasi sosial-politik. Dalam banyak kajian—seperti yang diulas oleh Goleman (2013) dalam konsep emotional intelligence in leadership—kematangan usia kerap berkorelasi dengan kestabilan emosi, kemampuan membangun jejaring, dan mengelola konflik. Bandingkan dengan banyak tokoh muda yang meskipun kaya gagasan, sering kali belum matang dalam struktur kelembagaan atau rentan dalam manuver politik yang kompleks.

Namun tetap, pertanyaan reflektif “Mengapa hanya yang tua yang dianggap relevan?” layak dikedepankan. Ini bukan sekadar soal usia, melainkan mencerminkan ketidakmampuan sistem politik kita dalam membentuk ekosistem regeneratif. Partai masih tertutup terhadap kader muda, pemilih masih cenderung mengutamakan sosok dengan latar panjang, dan elite senior belum sepenuhnya rela membuka ruang. Regenerasi kepemimpinan justru kerap terjebak pada reproduksi dinasti politik, bukan meritokrasi.

Jika dibiarkan, situasi ini bisa menciptakan stagnasi struktural. Tantangan kepemimpinan di 2031 bukan hanya datang dari tuntutan internal pemerintahan, tetapi dari perubahan zaman yang menuntut pola baru dalam tata kelola: digitalisasi, partisipasi publik daring, hingga respons terhadap krisis iklim. Pemimpin di masa depan harus bisa bekerja dalam kompleksitas itu, bukan hanya andal dalam pendekatan konvensional.

Di sisi lain, dinamika elite lokal di Gorontalo juga tak luput dari catatan. Gesekan antar kepala daerah aktif yang sesekali muncul di ruang publik memperlihatkan betapa koordinasi antar wilayah masih rentan pada ego politik personal. Di saat publik berharap pada sinergi dan kohesi kebijakan lintas kabupaten dan kota, yang kerap terjadi justru silang pendapat yang mengarah ke polarisasi. Situasi semacam ini hanya bisa diatasi oleh pemimpin yang bukan hanya berpengalaman, tetapi juga dewasa secara politik dan matang secara etis.

Maka, jika generasi senior ingin tetap relevan dan dipercaya memimpin di era 2030-an, mereka harus bertransformasi: dari figur sentralistik menjadi penghubung lintas generasi, dari birokrat tradisional menjadi arsitek transformasi. Kepemimpinan di era digital dan demokrasi partisipatif bukan soal usia muda atau tua semata, tetapi soal siapa yang mampu menciptakan koneksi yang otentik, menyusun agenda publik yang berani, dan meninggalkan praktik eksklusif masa lalu.

Gorontalo punya waktu enam tahun sebelum 2031. Pertanyaannya bukan siapa yang akan maju, tetapi siapa yang berani tumbuh. Siapa yang tidak sekadar hadir dalam daftar panjang elite lama, tetapi mampu hadir sebagai representasi zaman baru.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup