Tragedi Kenaikan PBB dan Gelombang Suara Rakyat

Foto: Salah satu tokoh pemuda kabupaten Maros, TAKBIR ABADI.jika wajah rakyat muram, maka ada yang kelam dalam kebijakan negara.

Oleh: Ahmad Takbir Abadi

Maros, Sulawesi Selatan-Dalam catatan sejarah sosial, rakyat selalu menjadi cermin bagi negara: jika wajah rakyat muram, maka ada yang kelam dalam kebijakan negara. Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di beberapa daerah adalah sebuah peristiwa yang lahir dari niat fiskal, namun tumbuh menjadi tragedi sosial. Sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk menguatkan kas pembangunan, justru berubah menjadi bara di tengah masyarakat.

Aksi-aksi protes bermunculan: di jalanan, di ruang diskusi warga, di forum-forum kecil yang sederhana. Gelombang suara penolakan ini bukan sekadar letupan emosional, melainkan representasi dari rasa ketidakadilan. Rakyat merasa tanah yang mereka pijak, yang diwarisi dari leluhur, kini dihitung dengan angka-angka dingin yang melampaui daya hidup mereka.

Dari sudut pandang akademis, hal ini mencerminkan ketidakseimbangan antara kebijakan fiskal dan realitas sosial-ekonomi. Pajak dalam teori administrasi publik bukan hanya sekadar pungutan; ia adalah instrumen kontrak sosial. Maka, ketika pajak dipandang tidak lagi adil, kontrak sosial itu retak. Di sinilah terlihat kegagalan komunikasi kebijakan: pemerintah daerah lebih memilih mengumumkan keputusan, ketimbang mengajak rakyat bicara.

Namun sejarah selalu punya caranya sendiri untuk menegur. Gelombang protes yang terus menguat akhirnya memaksa pemerintah pusat—melalui Kementerian Dalam Negeri—turun tangan. Instruksi untuk mengkaji ulang PBB dikeluarkan. Sebuah langkah korektif, yang menunjukkan bahwa bahkan dalam sistem pemerintahan modern, suara rakyat tetap menjadi kekuatan penyeimbang.

Kisah ini dapat dibaca sebagai drama kebijakan publik: di satu sisi ada kalkulasi fiskal yang kaku, di sisi lain ada denyut sosial yang cair dan penuh perasaan. Negara, jika terlalu larut dalam angka-angka, akan kehilangan sentuhan pada rasa keadilan. Dan rakyat, jika terlalu ditekan, akan menemukan bahasa perlawanan yang lebih keras dari sekadar kata-kata.

Maka, tragedi kenaikan PBB seharusnya menjadi pengingat: bahwa pembangunan sejati bukan hanya soal menghimpun dana, tetapi juga soal merawat kepercayaan. Pajak bukan hanya angka yang ditulis di lembar tagihan, tetapi juga simbol kebersamaan antara negara dan rakyatnya.

Dalam horizon akademis, ini adalah pelajaran tentang pentingnya partisipasi, transparansi, dan keadilan. Dalam horizon sastrawi, ini adalah kisah tentang rakyat yang bersuara, negara yang mendengar, dan sebuah kontrak sosial yang perlu terus dijaga.

Namun, protes atas kenaikan PBB ini juga memberi gambaran bahwa masyarakat kini semakin melek terhadap hak-hak sipilnya. Mereka tidak lagi pasif menunggu penjelasan, melainkan aktif mempertanyakan legitimasi dan proporsionalitas sebuah kebijakan. Di sinilah letak dinamika demokrasi lokal: rakyat bukan sekadar objek pembangunan, melainkan subjek yang menuntut agar pembangunan berjalan dengan logika keadilan. Dalam terminologi ilmu politik, ini adalah ekspresi dari civic engagement—partisipasi warga yang lahir bukan dari undangan formal pemerintah, tetapi dari rasa memiliki terhadap ruang hidupnya.

Lebih jauh, tragedi kenaikan PBB mengajarkan bahwa setiap kebijakan publik adalah teks yang harus dibaca dengan hati-hati. Ia bukan hanya teks hukum, tetapi juga teks sosial yang sarat makna. Jika pemerintah menulis kebijakan dengan bahasa kering angka-angka, maka rakyat akan membalasnya dengan bahasa protes. Namun jika kebijakan ditulis dengan narasi partisipatif, penuh empati, dan mendengar suara rakyat, maka ia akan dibaca sebagai bentuk kasih sayang negara kepada warganya. Di titik inilah, ilmu administrasi publik bertemu dengan kebijaksanaan sosiologis, dan politik bertemu dengan kemanusiaan.

tragedi kenaikan PBB tidak semata-mata soal nominal yang membebani rakyat, melainkan juga soal relasi antara negara dan masyarakat dalam bingkai kepercayaan. Gelombang protes yang muncul adalah refleksi dari retaknya komunikasi kebijakan dan rapuhnya sensitivitas sosial dalam perumusan fiskal daerah. Dari kacamata akademis, hal ini menegaskan bahwa keberhasilan kebijakan publik tidak hanya diukur dari besarnya pendapatan yang terkumpul, tetapi juga dari seberapa jauh kebijakan itu diterima dengan lapang oleh rakyat yang menjadi sasaran.

Pada akhirnya, setiap kebijakan adalah cermin moral dari negara. Jika ia lahir dengan keadilan, maka rakyat akan menerimanya dengan kerelaan. Tetapi jika ia datang dengan paksaan, maka protes akan menjadi jawabannya. Tragedi kenaikan PBB ini seharusnya menjadi pelajaran kolektif: bahwa negara perlu menulis kebijakan dengan pena empati, tinta keadilan, dan kertas partisipasi. Sebab hanya dengan cara itulah, kontrak sosial antara rakyat dan pemerintah dapat terus terjaga, serta pembangunan dapat berjalan bukan sekadar dengan angka-angka, melainkan juga dengan kepercayaan dan cinta dari rakyatnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup