LBH PB PMII Anggap Bupati Bone Tidak Memiliki Pacce
Bakukabar.id- Gelombang penolakan masyarakat terhadap kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB P-2) hingga 300 persen di Kabupaten Bone berakhir ricuh. Aksi yang dimulai siang hari hingga pukul 22.20 WITA di sekitar Kantor Bupati Bone, Jalan Ahmad Yani, hingga area Kampus IAIN Bone, memperlihatkan wajah buram demokrasi lokal, Selasa(19/8/2025).
Alih-alih menjadi ruang konstitusional rakyat untuk menyampaikan aspirasi, aksi justru diwarnai tindakan represif aparat gabungan Polri, TNI, dan Satpol PP. Gas air mata ditembakkan secara membabi buta, bahkan mengenai Masjid Agung Kabupaten Bone, sementara sejumlah demonstran dan jurnalis menjadi korban kekerasan aparat. Beberapa warga mengalami luka serius di bagian kepala, dan aparat melakukan penyisiran hingga ke permukiman. Praktik ini dinilai mencederai prinsip negara hukum dan hak asasi manusia.
Di tengah eskalasi yang semakin panas, publik menyoroti absennya Bupati Bone, Andi Asman Sulaiman, yang tidak sekalipun hadir menemui massa. Ketidakhadiran pemimpin daerah ini dinilai memperburuk situasi dan menegaskan lemahnya kepemimpinan. “Bupati Bone tidak menunjukkan Pacce yang sejati,” tegas Ady Mancanegara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) PB PMII dalam keterangannya.
Pacce yang Hilang dari Pemimpin Bone
Dalam budaya Bugis, Pacce berarti empati yang diwujudkan melalui nilai Sipakatau (saling memanusiawi), Sipakainge (saling mengingatkan), Sipakalebbi (saling menghormati), dan Sipatokkong (saling membantu). LBH PB PMII menilai, sikap Bupati Bone yang absen dari dialog dengan massa aksi bertentangan dengan nilai luhur tersebut.
“Pemimpin seharusnya hadir di tengah rakyatnya, bukan bersembunyi di balik aparat. Ketika mayoritas pembayar PBB adalah petani yang menggantungkan hidup dari lahan pertanian, kebijakan ini semakin memperlihatkan bahwa Bupati Bone tidak berdaulat atas nasib petani di wilayahnya,” ujar pernyataan resmi LBH PB PMII.
Penundaan Kebijakan Bukan Solusi Substansial
Pasca kericuhan, Pemerintah Daerah melalui Sekretaris Daerah Bone mengumumkan penundaan sementara kenaikan PBB P-2 untuk dilakukan pengkajian ulang. Namun, LBH PB PMII menilai keputusan itu hanya langkah taktis untuk meredam amarah, bukan jawaban substantif atas keresahan rakyat.
“Penolakan terhadap kenaikan PBB P-2 bukan sekadar soal angka, tetapi simbol perlawanan terhadap praktik represif yang merusak sendi demokrasi. Pemerintah seharusnya segera menghentikan intimidasi, membebaskan demonstran yang ditahan tanpa dasar hukum, dan membuka ruang dialog yang jujur serta setara dengan masyarakat,” lanjut LBH PB PMII.
Belajar dari Bone dan Pati
Aksi Bone semakin menarik perhatian setelah sebelumnya penolakan serupa terjadi di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Hal ini memperkuat indikasi bahwa kebijakan kenaikan PBB P-2 secara nasional berpotensi memantik gejolak di berbagai daerah. Dalam kondisi ekonomi rakyat yang masih tertekan pasca pandemi dan melonjaknya harga kebutuhan pokok, kebijakan fiskal semacam ini justru dianggap mempersempit ruang hidup rakyat kecil.
Tuntutan Demokrasi dan Kemanusiaan
LBH PB PMII menegaskan bahwa penyelesaian konflik kebijakan pajak tidak boleh ditempuh melalui jalan kekerasan. Negara wajib menjamin hak rakyat untuk berpendapat, berkumpul, dan bebas dari perlakuan sewenang-wenang.
“Bone hari ini bukan hanya tentang pajak, tetapi tentang demokrasi yang dilukai dan kemanusiaan yang diabaikan. Pemerintah harus segera kembali ke jalur Pacce, berdiri di sisi rakyat, dan bukan bersembunyi di balik tameng aparat,” pungkas LBH PB PMII.