Adakah tempat untuk Sejarah Lisan dalam “Re-historiografi Gorontalo”?

Hardiansyah Pakaya - Mahasiswa Pascasarjana jurusan Interdisciplinary Islamic Studies, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Saat sedang melakukan panggilan telepon dengan Arief Abbas, saya kemudian menceritakan soal lemahnya pembacaan teoritis mengenai sejarah. Arief yang ketika itu mengingat beberapa tulisan yang berkaitan dengan isu tersebut, menawarkan saya untuk ikut membaca bagaimana narasi dalam perdebatan itu. Tulisan pembuka dimulai oleh Samsi Pomalingo, dengan tajuk “Re-historiografi Gorontalo”, kemudian ditimpa dengan tulisan Daniel yang kembali mempertanyakan klaim-klaim Samsi menyoal pembacaan sejarah yang hanya bisa diterjemahkan oleh sejarawan di dalam “Rehistoriografi Gorontalo: Sebuah Dorongan Awal”.

Senang sekali membaca dua tulisan itu karena perdebatan tersebut hadir sebagai bentuk keresahan atas kemungkinan “kelatahan” sejarah Gorontalo yang hari ini dianggap telah mapan seperti Uduluwo limo Lo Pohalaa, 23 Januari, dan Islam di Gorontalo. Re-historiografi digaungkan sebagai tema sentral dalam membaca kembali gelanggang sejarah Gorontalo yang hari ini banyak ruang-ruang kosong diisi dengan “pokoknya bagitu“. Sebuah kebudayaan besar, tetapi jejak peradabannya belum digali sepenuhnya karena – entah dominasi sosial atau misi-misi imperial dari bangsa lain—saya  pikir kemudian teman-teman ini berpijak: sebagai bentuk bantahan sekaligus menawarkan pembacaan kembali atas sejarah Gorontalo yang mapan alih-alih memudar.

Membaca tulisan Daniel yang mengangkat perdebatan penting mengenai bagaimana seharusnya sejarah ditulis, oleh siapa, dan dengan pendekatan seperti apa. Kemudian, tulisan sebelumnya oleh Samsi (re-historiografi) yang turut menggugat dominasi narasi sejarah yang selama ini dianggap terlalu tersentralisasi, bersumber dari luar, dan cenderung tidak mengakomodasi perspektif serta pengalaman orang-orang Gorontalo sendiri. Kedua tulisan tersebut itu mendorong penulis supaya—perlunya penulisan sejarah berbasis lokal, khususnya melalui pendekatan sejarah lisan yang dianggap lebih mampu merekam memori kolektif masyarakat, termasuk yang tidak terekam dalam dokumen resmi atau arsip kolonial.

Perdebatan yang muncul dalam catatan di atas, berporos pada dua sumbu utama. Pertama, mengenai otoritas dalam penulisan sejarah—apakah sejarah Gorontalo sebaiknya ditulis oleh akademisi luar dengan akses pada metode historiografi modern, atau oleh masyarakat lokal yang lebih dekat dengan tradisi, ingatan, dan nilai-nilai budaya setempat. Kedua, menyangkut validitas sumber sejarah—apakah sejarah lisan bisa dianggap sahih dan setara dengan dokumen tertulis seperti arsip kolonial, catatan Belanda, atau dokumen administratif resmi?  Saya kira, di tulisan lebih awal,  tampak ada  kecondongongan untuk menempatkan sejarah lisan sebagai sumber utama, sebagai upaya “meluruskan” atau bahkan “menggugat” sejarah yang selama ini dipandang terlalu eksklusif dan tidak merepresentasikan identitas lokal.

Jika demikian, saya memiliki sejumlah catatan yang perlu dilayangkan: pertama, terlihat terlalu cepat mengidealkan sejarah lisan sebagai solusi atas kekosongan historiografi Gorontalo, tanpa terlebih dahulu mengkritisi secara serius tantangan-tantangan metodologisnya. Sejarah lisan memang penting untuk merekam pengalaman subjektif, namun perlu diingat, ia juga rentan terhadap distorsi ingatan, bias narator, dan kecenderungan untuk menarasikan mitos sebagai fakta. Sayangnya, di sisi lain, tulisan Samsi juga tidak menunjukkan adanya upaya kritis untuk membahas bagaimana sejarah lisan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, misalnya, melalui teknik verifikasi, triangulasi sumber, atau kritik internal terhadap kesaksian naratif.

Selanjutnya, saya penasaran, mengapa penulis tidak mengaitkan perdebatan lokal ini dengan perkembangan historiografi Indonesia secara lebih luas? Karena sependek pengetahuan saya, Sejak era pasca-reformasi, banyak daerah di Indonesia mengalami gelombang penulisan sejarah lokal, baik sebagai bentuk resistensi terhadap narasi sejarah nasional yang homogen, maupun sebagai bagian dari pencarian identitas daerah. Tanpa menempatkan Gorontalo dalam kerangka itu, tulisan sebelumnya seolah berdiri sendiri dan gagal memetakan dinamika yang lebih besar dari proses historisasi di daerah lain. Akibatnya, argumentasi menyoal Gorontalo mengalami “keterlambatan historiografis” menjadi kurang sehat karena tidak dibuktikan dengan dinamika secara umum di Nusantara—apa yang jadi tolak ukur penulis ketika berkata Gorontalo mengalami “keterlambatan historiografis” maksud saya, keterlambatan dari apa atau dari mana?

Betapapun perdebatan yang muncul seputar penulisan ulang sejarah Gorontalo—antara dominasi narasi kolonial/nasional dan upaya pelurusan melalui sejarah lisan lokal—tampaknya ada ketegangan epistemologis yang saya kira belum sepenuhnya disadari. Di satu sisi, sejarah formal yang berbasis arsip dan tulisan dianggap sahih karena mengikuti standar akademik-positivistik. Di sisi lain, sejarah lisan—yang mengandalkan memori kolektif, cerita rakyat, dan kesaksian individu—dianggap lebih jujur dalam menangkap makna dan pengalaman lokal. Yang tentu saja pada Pendekatan Samsi dan Daniel saya jumpai saling menegasikan. Maka, untuk menjembatani kutub tersebut, saya dengan rendah hati menawarkan formula pembacaan melalui pendekatan hermeneutik. Jika Theodore Noldeke membaca Quran dengan Kronologi wahyu, maka saya membaca Gorontalo dengan kronologi hermeneutik, sebagai upaya jalan tengah yang bersifat dialogis dan multivokal.

Hermenutik di sini dimaksudkan tidak sekadar dimaknai sebagai urutan waktu dalam kebudayaan, melainkan sebagai jejak transformasi nilai, praktik, simbol, dan narasi yang terus mengalami negosiasi dalam ruang sosial masyarakat Gorontalo. Tawaran saya senada dengan apa yang diistilahkan oleh Raymond Williams dengan konsep structure of feeling; yaitu setiap periode sejarah memiliki semacam suasana emosi kolektif dan struktur makna yang membentuk cara hidup masyarakat, yang tidak selalu dapat ditangkap hanya melalui data formal atau arsip resmi. Yang berarti, bahwa re-historiografi tidak lagi menganggap sejarah sebagai rekaman objektif atas peristiwa masa lalu, melainkan sebagai produk naratif yang dibentuk oleh seleksi, interpretasi, dan bahkan pengabaian tertentu.

Dalam kasus ini, karya Memory, History, Forgetting (2004), Ricoeur, menjadi titik tolak penting untuk menantang dominasi pendekatan sejarah yang semata-mata mengandalkan dokumen dan kronologi formal. bagaimana wacana ini membedakan dengan tajam antara memory as experience—ingatan yang mengakar pada pengalaman hidup, emosi, dan kesaksian pribadi maupun kolektif—dan, history as representation, yaitu sejarah sebagai konstruksi naratif yang dibentuk melalui teknik representasi akademik dan dokumenter. Re-historiografi yang berangkat dari horizon ini tidak hanya pada verifikasi fakta saja, tetapi juga membuka diri terhadap penerjemahan pengalaman, yaitu penafsiran atas simbol, ritus, dan praktik kultural sebagai bentuk memori yang sah dan bermakna.

Dalam spektrum sejarah Gorontalo, pendekatan ini, menurut saya, masuk akal karena; seyogyanya sejarah tidak dapat dipahami semata dari kronologi tertulis, tetapi harus digali dari ingatan kolektif yang hidup dalam budaya, bahasa, dan ritus lokal. Pijakan saya ini kemudian disokong Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), yang melihat budaya sebagai jaringan makna yang ditenun manusia dan ditafsirkan secara simbolik.

Pada agenda re-historiografi, pendekatan Geertz memperkaya upaya “menulis ulang” sejarah dengan menempatkan sistem simbolik sebagai sumber historis yang otentik. Sehingga, Sejarah Gorontalo misalnya, ia tidak hanya dapat ditelusuri melalui catatan kolonial atau dokumen administratif, tetapi juga melalui narasi adat, bahasa lokal yang berkembang secara diakronik, ekspresi seni dan musik tradisional, serta struktur sosial dan ritual keagamaan yang mencerminkan pemaknaan masyarakat atas peristiwa dan perubahan zaman.

Untuk itu, pembacaan kerangka re-historiografi ini; Ricoeur memberi kita alat untuk menafsirkan hubungan antara ingatan dan sejarah, sementara Geertz, menawarkan cara untuk membaca kedalaman makna budaya dalam narasi historis. Upaya ini diharapkan sebagai dorongan bagi pembaca untuk tidak hanya menuliskan apa yang terjadi, tetapi juga bagaimana peristiwa itu dimaknai, oleh siapa, dan dalam bahasa serta simbol apa sehingga, re-historiografi bukan sekadar koreksi terhadap historiografi, tetapi sebuah tindakan pemaknaan ulang yang menghidupkan kembali suara-suara yang terpinggirkan, simbol-simbol yang terlupakan, dan makna-makna yang terkubur oleh narasi dominan. Jelas bahwa, dalam bingkai ini, saya mendudukkan sejarah Gorontalo menjadi medan interpretasi yang terbuka—ruang di mana memori, simbol, dan representasi saling menyilang, dan masa lalu tampil sebagai sesuatu yang hidup, ditafsirkan ulang, dan terus-menerus dirundingkan.

Walaupun memang, saya mengakui bahwa Tulisan ini juga belum sepenuhnya menyentuh relasi antara sejarah dan trauma. Dalam banyak masyarakat pascakolonial, sejarah tidak hanya berisi kisah kemenangan atau kelahiran identitas, melainkan juga luka-luka yang belum sembuh. Sejarah lisan membawa potensi besar untuk menghidupkan kembali memori yang terpinggirkan, tetapi ia juga menyimpan potensi untuk membuka luka-luka kolektif yang selama ini diredam. Maka pendekatan hermeneutik tidak cukup hanya berfungsi sebagai metode memahami, tetapi juga harus menjadi metode merawat—merawat luka sejarah, merawat kegagalan memori, dan merawat ruang bagi mereka yang tidak pernah mendapat kesempatan bersuara. Sehingga, pembacaan yang lebih kaya terhadap tulisan ini menuntut keberanian untuk menggoyang fondasi yang telah dianggap mapan—bahwa menulis sejarah  bukan hanya tentang merebut narasi dari tangan sejarawan luar, melainkan tentang mempertanyakan ulang seluruh cara kita mengenali masa lalu. Sejarah, dalam pembacaan semacam ini, bukan lagi tentang apa yang terjadi, melainkan tentang bagaimana kita memilih untuk mengingat, dan mengapa kita memilih untuk melupakan. Hermeneutika, dengan demikian, bukanlah solusi netral, melainkan medan tempur tafsir yang menuntut kesadaran radikal atas posisi kita sebagai penulis, pembaca, dan pewaris dari sejarah yang belum selesai.

Dengan demikian, pembacaan saya berupaya untuk tidak menegasikan nilai sejarah lisan, tetapi juga tidak menolak pentingnya arsip tertulis. Ia berdiri sebagai jalan tengah yang mencoba membangun narasi sejarah dari dalam kebudayaan itu sendiri. Misalnya, alih-alih bertanya “kapan kerajaan Gorontalo berdiri?”, kita dapat bertanya “bagaimana terjemahan konsep kekuasaan kerajaan mulai hidup dalam simbol dan ritus masyarakat?” Pertanyaan semacam itu saya pikir,  memungkinkan pembacaan sejarah yang lebih kontekstual, reflektif, dan terbuka terhadap keragaman sumber serta lapisan makna. Lebih penting dari itu, pendekatan ini dapat menghindarkan kita dari jebakan sejarah yang politis atau ideologis. Dalam banyak kasus, sejarah lokal sering kali digerakkan oleh hasrat politis: baik untuk menunjukkan perlawanan terhadap narasi pusat, maupun untuk memperkuat identitas etnik tertentu. Dengan menempatkan budaya sebagai pusat pembacaan, kita dapat menjaga historiografi dari bias ideologis dan sebaliknya mengutamakan narasi yang tumbuh dari pengalaman bersama dan evolusi kebudayaan.

Sehingga jika saya tidak keliru, membaca sejarah Gorontalo awal melalui logika hermenutik bukanlah sebuah pelarian dari kritik akademik, tetapi justru sebuah usaha untuk mempertemukan pendekatan yang selama ini terpisah: antara—yang dokumenter dan—yang simbolik, antara—yang tertulis dan yang tertanam, antara sejarah sebagai fakta dan sejarah sebagai makna.

Hardiansyah Pakaya – (Mahasiswa Pascasarjana jurusan Interdisciplinary Islamic Studies, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup