Alam adalah Ayat Makro Kosmos, Kitab Suci adalah Ayat Mikro Kosmos

Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)

Oleh: Pepi Albayqunie – (Jamaah GUSDURian tinggal di Sulawesi Selatan yang lahir dengan nama Saprillah)

Tulisan ini terinsiprasi dari sambutan Menteri Agama, Prof AGH Nazarudin Umar dalam acara peluncuran buku tafsir ayat-ayat ekologi: membangun kesadaran ekoteologis berbasis Alquran yang dilaksanakan di Gedung Bayt Alquran, TMII oleh LPMQ (Lajnah Pentashih Mushaf Quran).

Dalam epistemologi Islam, ayat bukan sekadar rangkaian kalimat dalam kitab suci. Ia berarti “tanda” kehadiran Tuhan dalam segala sesuatu. Karena itu, Tuhan tidak hanya menulis satu jenis kitab, tetapi dua: kitab tertulis (kitāb masṭūr) dan kitab terbentang (kitāb manṣūr). Yang pertama hadir sebagai teks wahyu yang dapat dibaca dengan bahasa; yang kedua hadir sebagai semesta yang dapat dibaca dengan kesadaran. Keduanya bersumber dari Kalam Ilahi yang sama, hanya berbeda dalam medium penyingkapan.

Dalam pandangan para sufi seperti Ibn ‘Arabi, al-Ghazali, dan Jalaluddin Rumi, alam adalah tajalli—penyingkapan diri Tuhan yang terus berlangsung. Alam tidak diam; ia berbicara dengan bahasa sunyi, berzikir dalam ritme waktu, dan menampakkan keindahan Tuhan melalui harmoni ciptaannya. Kitab suci hadir untuk menuntun manusia membaca bahasa alam dengan makna yang benar, sementara alam menegaskan kebenaran kitab suci melalui realitas yang hidup. Inilah dua teks Ilahi yang saling menjelaskan, yang satu bersifat makro kosmos, yang lain mikro kosmos.

Namun modernitas sering memisahkan keduanya. Alam direduksi menjadi objek eksploitasi, kitab suci direduksi menjadi teks hukum. Pandangan ini melahirkan krisis spiritual dan krisis ekologis sekaligus—manusia kehilangan kesadaran akan kesucian ciptaan. Alam dipandang sebagai benda mati, bukan ayat yang bernyawa. Padahal, Al-Qur’an sendiri berulang kali menyeru: “Apakah kamu tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, langit bagaimana ditinggikan, dan bumi bagaimana dihamparkan?” (QS. Al-Ghasyiyah: 17–20). Seruan ini adalah ajakan untuk membaca alam sebagai teks teologis, bukan sekadar objek empiris.

Kesadaran seperti itu sebenarnya telah lama hidup dalam tradisi lokal Nusantara. Dalam kosmologi Bugis-Makassar misalnya, percaya bahwa seluruh unsur alam memiliki ruh dan fungsi kosmik. Ritual sebelum menanam, melaut, atau menebang pohon bukan bentuk tahayul, melainkan ekspresi dari kesadaran teologis bahwa alam adalah bagian dari kehidupan spiritual manusia. Petani membaca tanda musim seperti menafsirkan ayat, nelayan menatap langit seperti membaca firman. Di sana, pengalaman religius melebur dalam etika ekologis.

Pandangan progressif yang melekat pada kebudayaan lokal ini menemukan relevansinya kembali dalam gerakan ekoteologi Kementerian Agama, melalui peluncuran buku tafsir ekoteolog—sebuah upaya spiritual dan kebijakan sosial untuk menghidupkan kembali kesadaran teologis terhadap alam. Melalui pendekatan program-program berbasis ekoteologi, Kementerian Agama menegaskan bahwa krisis lingkungan bukan hanya masalah ilmiah, melainkan masalah iman.

Kementerian Agama berupaya memulihkan kesadaran spiritual masyarakat terhadap bumi. Alam tidak lagi dipandang sebagai sumber daya yang habis pakai, melainkan sebagai mitra spiritual dalam perjalanan manusia mengenal Tuhan.

Pendekatan ini sejatinya adalah kebangkitan dimensi sufistik Islam di ruang kebijakan publik. Ia menegaskan kembali pandangan bahwa pengetahuan sejati bukan hanya hasil dari observasi empiris, melainkan juga musyahadah—penyaksian batin terhadap kehadiran Ilahi di setiap makhluk. Alam, dalam hal ini, adalah madrasah ruhaniyah tempat manusia belajar rendah hati, bersyukur, dan sadar akan keterhubungannya dengan seluruh ciptaan.

Gerakan ekoteologi Kementerian Agama juga berfungsi sebagai kritik epistemologis terhadap cara berpikir modern yang antroposentris. Gerakan ini menegaskan perlunya reorientasi spiritual dari paradigma “penguasaan alam” menuju “peleburan bersama alam.” Dalam konteks ini, teologi Islam ditafsir ulang secara praksis—dari dogma menuju ekosistem kesadaran; dari ritual menuju tanggung jawab ekologis.

Ketika kesadaran makro dan mikro kosmos ini dihidupkan, agama tidak lagi berdiri berhadapan dengan sains, melainkan berdialog secara mendalam. Sains membaca hukum-hukum Tuhan dalam wujud fenomena, agama membaca makna Tuhan dalam wujud makna. Dan di antara keduanya, manusia berdiri sebagai penafsir—sebagai khalifah yang menjaga keseimbangan.

Maka, membaca kitab suci tanpa membaca alam berarti kehilangan separuh wahyu. Dan membaca alam tanpa kesadaran kitab suci berarti kehilangan arah ruhani. Keduanya harus bersatu dalam kesadaran ekologis yang baru—kesadaran yang menuntun manusia untuk hidup dalam zikir ekologis: menjaga bumi sambil menyadari bahwa setiap langkah di atas tanah adalah langkah di atas ayat.

Gerakan ekoteologi Kementerian Agama, dengan demikian, bukan hanya kebijakan administratif, melainkan panggilan spiritual untuk meneguhkan kembali posisi manusia dalam jaringan kosmik. Dalam bahasa sufi, ia adalah usaha untuk mengembalikan manusia ke maqamnya sebagai pembaca semesta—yang memahami bahwa setiap pohon adalah tasbih, setiap sungai adalah dzikir, dan setiap napas adalah kesaksian akan wahdatul wujud—kesatuan segala yang ada di bawah nama-Nya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup