Alkisah; Mengejar Fitri Yang Ternoda

Ilustrasi/bakukabar.id/Reza

Suatu siang, Kamani Kuca mengecat pagar depan rumahnya. Sudah beberapa hari dia aktif bersih-bersih. Tampak lingkungan sekitar rumahnya sedap dipandang mata. Seorang tetangga yang lewat dengan bercanda menyapa Kamani “Debo mamo mata puasa wanu odiye” (Bulan puasa sudah pasti ya). “Juu”, jawabnya singkat sambil mengelap keringat dengan lengan kaosnya.

Kamani sudah biasa membersihkan lingkungan rumahnya setiap bulan sya’ban. Dia juga sudah berbelanja pakaian untuk anak istrinya jauh-jauh hari. Ini adalah strategi Kamani agar fokus menjalankan ibadah puasa. Mengejar tilawah 2-5 kali khatam, menghidupkan sholat-sholat sunnah, sholat 5 waktu di masjid dan berbagi dengan kaum dhuafa dan kerabat dekat.

Strategi ini berbeda dengan warga pada umumnya.  Berjibaku justru di akhir Ramadhan. Seolah hari raya lebih bernilai tinggi daripada bulan Ramadhan. Sebagaimana kisah berikut, yang menggambarkan kesibukan rakyat kecil memegahkan hari raya.

 

Demi Hari Raya

Sebut saja Arif, pemuda kampung yang bertumbuh jadi remaja. Sejak kecil dibelikan baju hanya setahun sekali. Ketika mau lebaran. Bajunya baju murahan. Pas hari H warna dan mode bajunya tabrakan di mana-mana. Hasil belanja ibunya dari pasar obral. Menyesuaikan dengan uang penghasilan ayahnya sebagai buruh tani.

 

Kali ini dia berusaha beli baju sendiri. Menjadi pekerja dadakan tukang cat. Ikut pamannya yang jadi tukang kayu. Setiap pekan pindah bangunan. Memandikan dinding-dinding kantor dengan putihnya warna cat. Pekerjaan ini ditekuni Arif sejak awal Ramadhan.

 

Persis malam tumbilotohe, pemilik proyek datang menyapa. Mengeluarkan catatan nama-nama dan besaran ongkos kerja. Uang sejuta 500 ribu sudah dikantong Arif. Upah mengecat mengisi ramadhan. Hanya sejuta yang dia akan habiskan berbelanja. Selebihnya uang saku jalan-jalan bersama kekasih.

 

Jelang berbuka, Arif ke pasar senggol. Berbekal uang upahnya. Dia mulai memilah milih pakaian sesuai isi kantongnya. Beduk tanda berbuka sudah terdengar, belum satupun yang terbeli. Dia buru-buru berbuka secukupnya, melewatkan sholat magrib dan melanjutkan berbelanja.

 

Tepat azan isya berkumandang, Arif menemukan pakaian incarannya. Baju koko kekinian, dipadu dengan celana berbahan kain. Sandal dan peci yang serasi. Tampilannya bak seorang ustadz di hari raya, tetapi puasanya tidak sempurna. Sholat taraweh hanya di awal-awal. Sholat 5 waktu enggan karena bermandikan cat. Puasa Arif hanya menahan lapar dan haus.

 

Insiden di Pasar Senggol

Dangi Rami nyaris tergoda es krim yang dijual tersembunyi. Akibat berdesak-desakan di pusat perbelanjaan. Teringat beberapa tahun yang lalu ketika dia melempar zumroh di tanah suci. Kali ini lebih terasa menyesakkan dada. Apalagi banyak barang bagus yang tak terjangkau. Uangnya pas-pasan tersisa di dompet. Ditambah lagi aroma keringat dan bau badan pengunjung yang campur aduk tak karuan.

Seorang ibu di sebelahnya menjerit. Sebelah tangannya meraba-raba pinggang kiri kanan dan dadanya. Dompetnya hilang. Maci Pango baru sempat berbelanja sepasang sandal dan keset kaki. Uang sejuta pemberian suaminya dari bekerja upahan di kebun (hemo hama gaji) habis tak berbekas. Dua pasang baju koko untuk dua putranya masih dalam genggaman. Belum berhasil melakukan transaksi di kasir yang antrian.

Dia teringat pesan Paci, suaminya. “Poodahwa doimu ipito lo tawu nou. Bilarasa wau lohimoa doi po dulahu bukamu wolo tau kekeingo. Ulau openu bo palipa tunggohu po tabiyau”. (Hati-hati uangmu dicopet mak. Susah payah aku mengumpulkan uang utuk belanja hari rayamu dengan anak-anak. Aku cukup belikan sarung buat sholat id). Pesan Paci masih mengiang-ngiang di telinganya.

Sudah sekitar 2 jam Maci Pango bolak-balik memeriksa, memprediksi dan mengkalkulasi barang-barang yang akan dibelinya. Ada baju bagus tapi harganya mencekik. Ada yang harganya murah tapi masih membingungkan. Andai dari tadi dia segera berbelanja, uang pemberian Paci sudah habis terpakai. Bagaimana nanti dia pulang tak bawa sarung pesanan Paci? Hanya bawa sandal dan keset kaki?

Donggo Pongola (Buat apa lagi)

Lain halnya dengan Kuni Pari. Dia tidak susah-susah pergi berbelanja ke toko. Perempuan berpendidikan tinggi itu cukup puas berbelanja secara online. Hampir setiap hari tukang kurir mengantarkan paket ke kediamannya yang megah.

 

Belanja online membutuhkan ketelitian dan kejelian, jika tidak, barang yang dibeli tidak sesuai harapan. Terlihat bagus saat spill gambar. Begitu tiba, barangnya jauh dari harapan. Mau komplen, tak berhadapan dengan penjual. Kadang tukang kurir yang jadi sasaran.

 

Terlebih berbelanja pakaian. Ukurannya harus benar-benar diteliti.  Sebagaimana yang pernah terjadi pada Dangi Rami. Ukuran baju XXL yang pas dengan ukuran badannya, ternyata setelah tiba, baju terusan itu ketat, setara ukuran XL. Tampak tubuh bulat Dangi Rami yang terbungkus baju pesanannya itu seperti bentuk burasa.

 

Belanja online memang memerlukan kesabaran. Saat berbelanja hari ini, harus menunggu paket datang berhari-hari. Semakin terasa pada momentum hari raya. Banyak kiriman paket mengalami penundaan dan penumpukan di gudang transit. Ketika kapasitas pengiriman melalui pesawat terbang sudah tidak mencukupi, paket-paket tersebut terpaksa dialihkan menggunakan kapal laut. Akibatnya, paket yang dinanti-nanti, baru tiba setelah hari raya. Donggo pongola.

 

Bo Pakusa (karena terpaksa)

Minal aidin walfaidzin, mohon maaf lahir dan batin, adalah ungkapan yang lazim pada hari raya idul fitri. Sayangnya, tidak semua orang bisa memaafkan. Sebagaimana dialami Matinggi Deka. Dia mendadak dihindari Dangi Rami. Sejatinya Dangi Rami yang berhutang padanya. Tapi justru dia memperlihatkan sikap tak bersahabat.

 

Fenomena seperti ini sering terjadi pada momentum hari raya.  Lazimnya, meminta maaf atau saling memaafkan ditujukan kepada mereka yang pernah bertikai dan terputus komunikasi karena sesuatu dan lain hal. Sejak hari raya, mestinya kembali memulai hidup baru.

 

Kenyataannya, Dangi Rami lebih seru bermaaf-maafan dengan sahabat-sahabat dekatnya, yang selama ini baik-baik saja. Tetapi dengan Matinggi Deka yang sering menagih hutang padanya, seolah tiada pintu maaf baginya.

 

Memaafkan kepada yang justru tak bersalah, juga dialami Aba Danggu. Sakit hatinya kepada Balimbo Gani belum terbayarkan. Kejadiannya setahun yang lalu. Ternak sapi Balimbo melahap tanaman siap panen di kebunnya. Sudah begitu, Balimbo malah menyalahkan Aba Danggu yang tidak memagari kebunnya. Terjadi adu mulut hingga ke kantor desa. Pak Kades kewalahan dibuatnya.

 

Kini lebaran mempertemukan mereka dalam kekakuan.  Andai bukan karena imam masjid, mungkin Aba Danggu tak menyambut jabatan tangan Balimbo Gani yang terpaksa. Permohonan maaf seperti ini sensasinya nihil. Tidak ada getaran hati dan sengatan spiritual, biasa saja dan karena terpaksa (bo pakusa).

 

Lebih seru permohonan maaf Patinggi Yusu dan Ka Dula. Dua sahabat yang berhubungan baik dengan Aba Danggu. Berjabatan tangan penuh keakraban. Tangan berguncang berkali-kali. Sampai berpelukan erat seraya berucap mohon maaf lahir batin. Padahal selama ini mereka baik-baik saja.

 

Demikianlah

Idul fitri sejatinya momentum lahirnya pribadi yang taqwa. Lebaran seharusnya saat berlega-lega bagi yang siang dan malamnya terasa sempit, berletih-letih, terkantuk-kantuk merawat ibadah. Hari raya mestinya hari kemenangan bagi yang berhasil melawan hawa nafsu sebulan lamanya. Bukan hanya nafsu makan atau berkumpul suami istri, tetapi lebih dari itu, nafsu berbelanja ini dan itu atas nama hari raya.

Tak sedikit mereka yang berjibaku mengumpulkan rupiah, demi memegahkan hari raya. Begitu banyak orang yang peras keringat dan terpaksa meneguk air di siang hari lantaran memenuhi tuntutan kebutuhan anak istri untuk berhari raya. Super sibuk bersih-bersih rumah di ujung Ramadhan.

Ini adalah kisah rakyat kecil, mungkin juga para elit, yang memperlihatkan betapa hari raya adalah puncak keberagamaan yang harus dimegahkan. Mereka penuh suka cita ke masjid dan tanah lapang, memakai baju baru, sarung baru, mukena baru, sajadah baru dan sandal baru untuk menunaikan sholat sunnah idul fitri. Padahal sholat-sholat wajib selama Ramadhan keteteran.

Mereka berhasil tiba di terminal Idul Fitri, berjabatan tangan antara ikhlas dan enggan. Berpakaian baru, bermerek dan putih bersih. Sayangnya, puasanya penuh noda dan bercak dosa.

Gorontalo, 29 Ramadhan 1446 H

Dr. Momy Hunowu, M.Si

Dosen Sosiologi Agama IAIN Sultan Amai Gorontalo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup