Anak-anak Nakal ke Barak Militer: Menyimak Langkah KDM, Merenungkan Akar Masalahnya

Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)

Beberapa waktu terakhir, Kang Dedi Mulyadi (KDM)—gubernur Jabar yang dikenal dekat dengan rakyat dan aksi-aksi spontan di lapangan—kembali menjadi sorotan. Kali ini bukan karena blusukan atau cerita budaya, melainkan karena keputusannya membawa anak-anak yang dianggap “nakal” ke barak militer untuk dibina.

Video-video anak-anak itu—berbaris, menyebutkan identitas dengan suara lantang, diajak berbicara soal kedisiplinan—disebar ke publik. Sebagian menyambut dengan tepuk tangan, menyebutnya sebagai solusi nyata di tengah keresahan masyarakat. Sebagian lain bertanya-tanya: benarkah ini jalan keluar?

Sebagai langkah cepat, apa yang dilakukan KDM memang terkesan tanggap. Ketika masyarakat melihat gejala sosial yang mengganggu— taweuran, anak nongkrong sampai larut, merokok di pinggir jalan, atau bicara kasar—pemimpin hadir, bertindak, dan menertibkan. Ini menciptakan rasa aman dan harapan bahwa negara (atau setidaknya pejabat publik) tidak diam.

Namun, jika kita melihat lebih dalam, pertanyaan yang lebih besar muncul: Apakah ini penyelesaian atau sekadar penanganan? Apakah ini mengobati atau hanya meredakan gejala?

Di Permukaan: Respons yang Tanggap

KDM merespons pada lapisan peristiwa. Ia mengambil tindakan saat ada keresahan sosial yang muncul secara nyata—anak-anak nongkrong larut malam, merokok di tempat umum, berbicara kasar, bahkan kadang menantang otoritas. Dalam kerangka Iceberg Model, ini adalah lapisan paling atas—reaksi terhadap kejadian yang tampak. Dan ini penting. Dalam masyarakat yang sedang lelah, risau, dan cemas terhadap masa depan generasi muda, pemimpin yang cepat bertindak memberi rasa aman. Tindakan itu menciptakan narasi bahwa ada yang peduli, ada yang hadir, dan ada yang bersuara lebih keras dari keluhan yang selama ini hanya bergema di grup WhatsApp RT.

Namun reaksi, sekuat dan setegas apa pun, tidak bisa berdiri sendiri. Ia seperti pemadam kebakaran yang penting dalam situasi genting, tapi tidak bisa dijadikan solusi jangka panjang tanpa pembenahan kabel listrik yang korslet atau gas bocor yang tak terlihat. Reaksi hanya menyentuh gejala, bukan penyebab.

Tantangannya muncul saat kita menyadari bahwa pola anak-anak “bermasalah” ini bukan hal baru. Dari kampung ke kota, dari wilayah pesisir sampai perkotaan, cerita serupa bergema: remaja berkeliaran tanpa arah, abai terhadap norma sosial, bahkan kehilangan ketertarikan terhadap sekolah. Mereka sulit dikendalikan, tidak merespon ancaman, apalagi nasihat. Kita seolah hidup dalam pola berulang yang tak pernah selesai. Setiap generasi orang dewasa mengeluh tentang “generasi muda yang mulai rusak,” dan setiap generasi muda mencari tempat untuk didengar tapi jarang mendapatkannya.

Jika kita jujur, yang muncul di permukaan itu bukan hanya kenakalan, tetapi hasil dari akumulasi diam. Diamnya sistem pendidikan yang makin jauh dari kehidupan nyata. Diamnya ruang publik yang tidak ramah anak. Diamnya komunitas yang kehilangan kehangatan. Reaksi seperti yang dilakukan KDM tentu menciptakan efek jera, tapi tanpa menyentuh akar, kita hanya akan terus berputar dalam siklus yang sama: masalah muncul, pemimpin turun tangan, publik tepuk tangan, lalu semuanya kembali seperti semula. Sampai nanti muncul video baru yang memicu reaksi serupa.

Lebih Dalam: Pola dan Sistem

Jika kita menyelam sedikit lebih dalam, kita akan menemukan sistem yang memungkinkan pola-pola itu tumbuh dan berulang. Anak-anak tidak lahir dan tumbuh dalam ruang hampa. Mereka dibentuk oleh lingkungan sosial yang setiap hari mereka alami—di rumah, di sekolah, di jalanan, bahkan di dunia digital.

Banyak dari anak-anak ini hidup dalam sistem sosial yang padat: rumah sempit, lingkungan bising, tetangga yang tidak saling kenal. Mereka tumbuh dalam situasi di mana kebutuhan dasar fisik mungkin terpenuhi, tetapi kebutuhan emosional, pengakuan, dan arah hidup justru kosong. Ruang aman—di mana mereka bisa merasa diterima tanpa syarat, bisa berekspresi tanpa takut, bisa bicara tanpa dimarahi—hampir tak tersedia.

Sekolah yang semestinya menjadi ruang pendampingan justru sering kali hanya fokus pada angka dan kepatuhan. Anak-anak tidak diajak memahami diri sendiri, tidak dilatih mengenali emosi, apalagi diberi ruang untuk bertanya tentang hidup. Kesalahan kecil dianggap pembangkangan, perbedaan sikap dilabeli kenakalan. Sementara itu, keluarga—terutama dari kelas ekonomi bawah—kerap terjebak dalam perjuangan harian yang melelahkan. Orang tua bekerja seharian demi dapur tetap berasap, dan ketika malam tiba, yang tersisa hanya kelelahan. Anak lalu belajar sendiri—tentang hidup, tentang pertemanan, tentang nilai—di tempat yang tersedia: jalanan, tongkrongan, atau layar gawai.

Jalanan pun menjadi guru alternatif. Di sana, mereka belajar tentang loyalitas, tentang keberanian, tentang cara menunjukkan eksistensi. Tapi nilai-nilai itu datang tanpa penyaring. Apa yang mereka dapat sering kali bukan etika sosial, melainkan logika kekuasaan: siapa yang berani, dia yang dihormati. Siapa yang keras, dia yang dianggap pemimpin. Dan siapa yang berbeda, dia yang disingkirkan.

Jika sistem tidak memberi ruang aman, anak-anak akan menciptakan ruang sendiri. Dan ruang itu, jika tidak didampingi, bisa tumbuh menjadi kantong-kantong resistensi sosial—bukan karena mereka jahat, tapi karena mereka mencari cara bertahan. Di titik ini, kita tidak hanya melihat “kenakalan,” tapi juga tanda kegagalan kolektif: bahwa kita belum menyediakan rumah sosial yang cukup luas untuk menampung energi muda yang sedang mencari tempatnya sendiri di dunia.

Di Akar: Cara Pandang terhadap Anak

Lapisan terdalam dalam pendekatan iceberg adalah mental model—cara kita memandang dan memahami realitas. Di sinilah persoalan kita mungkin bermuara secara paling dalam dan paling menentukan. Kita bisa saja memperbaiki sistem dan membuat program baru, tapi jika cara kita memandang anak-anak tetap sama, maka perubahan hanya akan bersifat kosmetik.

Pertanyaannya sederhana namun fundamental: apakah kita memandang anak sebagai pihak yang harus dikendalikan, atau sebagai individu yang sedang tumbuh dan perlu dipahami? Apakah penyimpangan mereka selalu kita anggap sebagai pembangkangan, atau justru sebagai sinyal—cara paling jujur yang mereka punya untuk menunjukkan bahwa ada kebutuhan yang tak terpenuhi?

Banyak anak yang kita anggap “nakal” sebenarnya sedang bicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. Mereka tidak selalu pandai berkata-kata, tapi mereka menunjukkan sesuatu: dengan diam, dengan memberontak, dengan menantang aturan. Sering kali itu adalah kegelisahan yang tak terucap, kekosongan relasi yang mereka rasakan, atau kerinduan akan pengakuan—bukan karena mereka ingin melawan, tapi karena mereka ingin dikenali.

Namun, sebagai masyarakat—dan sering kali sebagai orang dewasa—kita terlalu terburu-buru. Kita memberikan label, lalu hukuman. Kita mendefinisikan mereka sebelum sempat mendengar ceritanya. Kita menyuruh diam sebelum sempat bertanya: “Apa yang sebenarnya kamu rasakan?”

Mental model ini, jika tak dibongkar, akan terus mereproduksi pola penanganan yang represif. Kita bisa terus mengirim anak-anak ke barak, ke pesantren, ke tempat rehabilitasi—tapi kalau kita tetap memandang mereka sebagai “masalah” yang harus dibereskan, bukan manusia muda yang sedang mencari jalan, maka kita hanya akan mencetak generasi yang pandai menyesuaikan diri di depan, namun luka dan kosong di dalam.

Perubahan sejati dimulai dari keberanian untuk melihat ulang cara pandang. Mungkin kita tidak butuh lebih banyak larangan, tetapi lebih banyak ruang mendengarkan. Mungkin kita tidak perlu membentuk anak-anak dengan cara keras, tetapi menyentuh mereka dengan ketegasan yang berempati.

Menuju Pendekatan yang Lebih Dalam

Apa yang dilakukan Kang Dedi Mulyadi patut dihargai. Ia tidak tinggal diam ketika keresahan sosial muncul. Ia hadir secara fisik, mengambil risiko secara moral, dan bertindak cepat di tengah kekosongan respons dari banyak aktor lain. Dalam dunia yang semakin terbiasa dengan reaksi dingin dan birokrasi yang lamban, kehadiran langsung seperti itu adalah bentuk keberanian. Ia mencoba menghadirkan negara—dalam wujud manusiawi—di hadapan persoalan sosial yang konkret.

Namun, dalam setiap tindakan cepat, ada pertanyaan yang harus menyusul dengan pelan dan dalam: setelah ini, apa?

Apakah setelah keluar dari barak, anak-anak itu benar-benar punya tempat untuk pulang? Pulang bukan hanya dalam arti rumah fisik, tapi juga secara sosial dan emosional. Apakah mereka akan bertemu orang dewasa yang siap mendengar mereka, bukan hanya mengatur dan menertibkan mereka? Jika tidak, maka barak itu hanya akan menjadi jeda sementara—bukan penyelesaian, tapi penundaan.

Justru dari momentum inilah kita bisa mulai memikirkan ulang (rethinking) pendekatan kita terhadap anak-anak dan remaja yang disebut “bermasalah”. Mereka bukan objek binaan yang cukup ditertibkan dan dilepas kembali. Mereka adalah bagian dari ekosistem yang harus kita bangun bersama—ekosistem yang memberi rasa aman, arah, dan pengakuan.

Kita juga perlu merancang ulang (redesigning) ruang-ruang tumbuh mereka: sekolah yang tidak hanya mendidik tapi juga menggembirakan, komunitas yang tidak hanya menuntut tapi juga merangkul, ruang publik yang memungkinkan interaksi sehat dan membangun. Anak-anak tidak seharusnya tumbuh dalam ketakutan, tapi dalam pendampingan.

Dan lebih dari itu, kita harus mengubah bingkai berpikir (reframing): dari melihat anak sebagai “nakal” menjadi melihat mereka sebagai “mencari tempat.” Sebab sering kali, apa yang kita label sebagai kenakalan hanyalah cara mereka menyuarakan kebingungan, kegelisahan, atau kehausan akan makna yang belum sempat mereka pahami apalagi utarakan.

Kalau itu bisa kita lakukan—menggabungkan keberanian bertindak seperti KDM dengan keberanian merefleksi dan membangun sistem—maka langkah KDM bukan sekadar aksi viral, tapi bisa menjadi batu loncatan menuju diskusi publik yang lebih luas dan sistemik: tentang pendidikan yang manusiawi, keluarga yang hadir, masyarakat yang mendukung, dan negara yang benar-benar hadir untuk masa depan anak-anaknya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup