Apa yang Tersisa dari Ied Al-Fitr untuk Kita Perjuangkan?

Tarmizi 'Arief' Abbas, MA, Alumni CRCS, UGM Yogyakarta dan Peneliti di Inhides Gorontalo - FOTO : Arief

1 Syawal Hijriyah/31 Maret 2025 Masehi menjadi penanda berpisahnya kita dengan Ramadan dan menyambut hari baru. Hari ini kita berlebaran. Kumandang takbir yang agung bersahut-sahutan. Ada perasaan haru kembali ke fitr (suci); namun pada saat yang, ada perasaan tidak kuat menahan kepergian Ramadan yang berlalu begitu cepat. Sebab Ramadan, bagaimana pun juga, adalah bulan yang agung. Farid Essack, seorang sarjana kenamaan Afrika Selatan, di dalam On Being Muslim (2002), menggambarkan Ramadan dengan metafora “ketika kapal-kapal aman bersandar di dermaga setelah berlayar 11 bulan lamanya di lautan lepas”.

Kapal-kapal itu bagaikan diri kita yang, sepulangnya dari pelayaran panjang, mengalami lubang di banyak bagian. Lubang itu kita peroleh karena bersinggungan dengan hal-hal duniawi. Kita berbuat salah dan dosa sepanjang tahun dan di bulan Ramadan, kita semua memohon ampun dan memperbanyak ibadah. Dosa-dosa itu ibarat lubang, bulan Ramadan adalah dermaga, dan ibadah serta pertobatan kepada Tuhan sepanjang Ramadan adalah cara untuk menambal lubang-lubang itu. Itu sebabnya Ramadan adalah jalan pulang.

Namun pulang, bersandar di dermaga, bukanlah sebuah akhir. Setelah menetap selama sebulan di dermaga untuk memperbaiki lubang-lubang yang menganga, kapal-kapal bersiap kembali berlayar untuk 11 bulan berikutnya. Penandanya adalah Ied Al-Fitr: kembali ke fitrah, kepada kesucian. Pada momentum ini, semua bergembira. Sanak-saudara dan karib-kerabat yang jauh kemudian berkumpul dan saling sapa. Hari baru diukir kembali. Pintu rumah terbuka untuk semua orang untuk saling berbagi cerita. Segala salah dimaafkan. Silaturahmi kembali dieratkan. Namun pertanyaannya, apakah hanya sebatas ini?

Tradisi Selebratif

Akhir Ramadan, khususnya di Indonesia, menjadi momen yang riang-gembira. Di Gorontalo misalnya, 10 hari sebelum Ramadan, orang-orang ramai iktikaf di masjid; tiga hari sebelum Ramadan diperingati dengan tradisi tumbilotohe, atau menyalakan lampu botol sebagai ekspresi keislaman menyambut Laylah Al-Qadr (Malam 1000 bulan di mana malaikat turun—sebagaimana ayat Al-Quran Surah Al-Qadr 1-5). Malam-malam ini juga diisi oleh ramainya orang-orang, khususnya anak-anak, yang meminta jakati dengan mengunjungi rumah-rumah. Sedangkan ketika menyambut 1 Syawal, menyambut Hari Raya Idul Al-Fitr, orang-orang saling berkunjung untuk saling memaafkan dan mempererat kembali silaturahim.

Tradisi-tradisi yang demikian ini menunjukkan bahwa akhir Ramadan hingga menyambut 1 Syawal di Gorontalo itu memiliki watak yang selebratif. Kita bisa menyebut bahwa kegembiraan ini sebagai festival. Dalam penelusuran historis yang dilakukan oleh Mun’im Sirry di dalam Islam Revisionis (2018) memang, kata Id sendiri di dalam bahasa Arab bermakna “festival”. Kata ini sebenarnya merupakan lingua franca Aramain, lalu diadopsi oleh orang-orang Arab dengan arti yang sama. Nabi Muhammad, seturut penjelasan Sirry, pun tidak pernah melarang hal ini. Sebab beliau menyadari bahwa, di dalam masa-masa pembentukan Islam awal, kegembiraan menyambut hari-hari besar pada agama-agama sebelum Islam itu sudah ada dan tidak bermasalah.

Hal ini misalnya ditunjukkan ketika Aisyah R.A., istri Nabi Muhammad Saw, menyenandungkan nyanyian di rumah Nabi pada saat Idul Fitr. Meskipun sempat ditegur oleh Abu Bakar, ayahanda Aisyah, namun respons nabi mengejutkan karena beliau justru berkata bahwa “biarkanlah setiap masyarakat punya festival (id) sendiri, dan hari ini adalah hari festival kita” (Sirry, 2018). Ini menunjukkan bahwa Nabi, pemegang otoritas tertinggi dalam Islam bukan hanya memperbolehkan “kegembiraan” menyambut lebaran, melainkan juga turut melanjutkan tradisi yang telah ada sebelumnya, khususnya di dalam pada agama Abrahamik: Yahudi dan Kristen. Dengan demikian, watak selebratif yang diwujudkan oleh masyarakat Gorontalo, dengan cara apa pun juga untuk menyambut kegembiraan di 1 Syawal, adalah hal yang wajar.

Tetapi…

Namun apakah perayaan terhadap Idul Fitr hanya tampak begitu saja? Bagaimana jika watak selebratif ini justru membenamkan tujuan kita berpuasa: membelajarkan diri sebaik-baiknya. Tentang hal ini, saya tidak ingin mereduksi tujuan berpuasa sebatas pada aspek religiusitas: beribadah semabuk-mabuknya. Saya pikir, beberapa hal penting yang dapat menjadi refleksi selama Ramadan selain mempertahankan kehidupan spiritual, adalah soal berempati: merasakan kehidupan mereka yang marjinal tidak hanya karena tidak bisa makan yang cukup, melainkan juga mereka yang mendapat tekanan struktural dari kelas sosial yang lalim dan despotic. Saya pikir, mengalami hal-hal ini menjadi hal yang relevan untuk setiap perjumpaan kita dengan Ramadan.

Saya pernah bertanya di dalam diri sendiri di banyak kesempatan: apa benar bahwa dunia ini terus dibiarkan berputar oleh Allah SWT karena adanya kehadiran orang-orang yang beribadah semalam suntuk, meskipun pada saat yang sama, marginalisasi terus terjadi? Di belahan bumi lain yang enggan terjamah, barangkali ada orang-orang yang dihimpit kuasa despotik sehingga mereka berada dalam keadaan miskin yang, alhasil, untuk makan dan minum pun harus bekerja mati-matian. Atau barangkali ada mereka yang dihantam kalangan mayoritas Muslim dengan madzhab dominan agar tidak bisa beribadah di tengah Ramadan sesuai tafsir dan pemahaman madzhab mereka. Fakta yang terakhir ini benar-benar terjadi dan menyayat hati, ketika saya membaca Catatan Sejuk yang memberitakan komunitas Ahmadiyah di Lombok, Nusa Tenggara Barat yang akhirnya harus merayakan Idul Fitr di kamp-kamp pengungsian selama 16 tahun karena diusir oleh mayoritas.

Ramadan juga mengingatkan kita tentang sulitnya mempertahankan kehidupan spiritual. Ini juga mengundang pertanyaan: mengapa kita tidak bisa se-religius saat ini di luar bulan Ramadan? Tentu saja, pertanyaan ini tidak pantas diajukan jika seseorang memiliki kadar kedekatan pada Allah SWT yang stabil. Sayangnya, tidak ada manusia selain Nabi Muhammad yang agung pernah melakukannya. Alasannya karena kondisi manusia yang dinamis. Selalu saja ada faset, keburukan, kejahatan, bahkan hanya di dalam niat sekalipun yang membuat kita berada jauh dari Allah. Namun ini juga menjadi tanda: tanpa kesadaran religius yang melemah, Ramadan tentu saja bukan Ramadan. Essack lagi-lagi menganalogikan hal ini bagaikan musim panas: jika yang ada hanya panas, untuk apa ada “musim”. Musim, bagi dirinya, tidak merujuk pada satu kondisi saja, melainkan menunjukkan “kepelbagaian”: musim dingin, musim panas, musim semi, dsbg.

Tapi tentu saja, Essack tidak mengharapkan ini. Baginya, pertanyaan paling dasar yang perlu diajukan adalah: apa yang kita lakukan pada “musim panas”, untuk memasuki dan mempersiapkan “musim dingin”? Ini persis dengan Ramadan: apa yang kita lakukan di luar Ramadan, untuk mempersiapkan diri menyambut Ramadan? Bagi saya, sebenarnya, Ramadan tidak membelajarkan seseorang menjadi Muslim yang sempurna. Kita tidak mungkin mencapainya. Sebaliknya, bukan kesempurnaan yang kita capai, melainkan sebuah kemajuan. Ramadan hari ini, yang telah selesai, adalah cara seseorang membangun komitmen: Ramadan berikutnya kita lebih dekat pada Allah dan menjadi pribadi yang lebih baik. Ini persis dengan ungkapan Seyyed Hosn Nasr: “kita terlahir kembali, menjadi suci kembali [di momentum Idul Fitr], semata-mata untuk bersiap menghadapi tahun berikutnya agar lebih mantap hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.

Yang paling sulit dari kedua argumen di atas adalah menerjemahkan kesadaran Ramadan setelah itu berakhir. Kita tidak ingin berakhir seperti ultimatum Nabi “banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain lapar, tidak mendapat apa-apa dari ibadahnya selain kelelahan”. Namun bagaimana melakukannya? Apakah dengan melakukan puasa sunnah dan lebih-lebih beribadah secara telaten dan konsisten? Ini ada benarnya. Namun Nabi sebenarnya menghendaki hal yang lebih: sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat untuk orang lain. Argumen ini sangat kuat menunjukkan bahwa kesalihan spiritual saja tidak cukup. Di luar dari itu, kita butuh kesalihan sosial. Ramadan sebenarnya mengajarkan ini.

Lewat mongopanggola juga bapak dan ibu sejak kecil, saya diajarkan untuk memahami Ramadan sebagai cara untuk merasakan laparnya orang-orang miskin sehingga dengannya, tangan kita terbuka untuk memberi dan berbagi. Kemiskinan bukan satu-satunya problem. Ada hal lain seperti marjinalisasi, persekusi, pembatasan terhadap hak-hak minoritas untuk mengakses keadilan, dan masih ada berlusin-lusin problem yang dihadapi. Itu sebabnya, saya pikir, sebagian orang yang merindukan Ramadan di hari-hari akhir, boleh jadi merupakan pendusta, tak terkecuali saya sendiri. Skeptisisme ini selalu terjadi berulang-ulang. Jangan-jangan, banyak dari kita yang justru berharap Ramadan karena rangkaian selebrasi setiap tradisi di dalamnya? Tapi ini juga tidak berarti merindukan Ramadan dan berharap agar bisa bertemu dengannya adalah hal yang tidak relevan.

Idul Fitr dan Momen Perjuangan Setelahnya

Pulang di dermaga, sekali lagi, bukanlah akhir. Di depan sana, setelah khatib turun dari mimbar pasca Salat Ied Al-Fitr, setelah bermaaf-maafan dan merayakan kegembiraan, kapal-kapal kembali bersiap untuk berlayar. Pertanyaannya, apakah momen-momen pelayaran kembali akan kita arungi dengan begitu-begitu saja? Maksud saya, apakah marginalitas, despotisme, kesalihan sosial yang terbenam, akan tetap kita biarkan terjadi? Tiga masalah ini begitu akut dan selalu kita hadapi setiap harinya. Saya pikir, hanya dengan membebaskan Islam dari sekadar urusan-urusan ibadah menuju aksi merupakan jawabannya.

Membebaskan Islam, sekali lagi, adalah term yang saya gunakan untuk memberi pandangan alternatif terhadap tafsir Islam yang kaku dan literal-atomistik, dengan mengajukan pandangan Islam yang lebih ramah dan akomodatif terhadap realitas “yang lain” di dalam kehidupan sehari-hari. Islam tidak sekadar urusan legal formal; mengurusi apa yang Islami dan tidak Islami. Lebih dari itu, Islam juga beririsan dengan persoalan HAM, egalitarianisme, filsafat, sosial dan budaya, Islam lokal vis a vis Islam universal. Pandangan semacam ini hanya bisa dilakukan dengan melakukan pembacaan secara terus menerus terhadap realitas kebudayaan yang ada.

Shahab Ahmed, di dalam What is Islam? (2015) memberikan pandangan yang sangat baik terkait hal ini. Baginya, korpus besar dalam Islam (Al-Quran dan Hadist) memang menjadi standar utama setiap Muslim mengambil kebenaran. Namun pada dasarnya, ada “pre-teks” atau sebuah fenomen yang tidak tertangkap oleh “teks” Al-Quran dan Hadist. Dua hal ini bagaikan gunung es: teks adalah gunung es yang terlihat di permukaan; dan “pre-text” merupakan gunung es yang tertutupi air laut. Selanjutnya, ada yang disebut “context” yang bagi Ahmed merupakan keseluruhan pemaknaan dari tafsir terhadap teks dan pre-teks yang dilakukan sepanjang sejarah. Bagi Ahmed, cara untuk keluar dan membebaskan Islam adalah dengan melakukan pembacaan secara totalitas terhadap wahyu kenabian: teks, pre-teks dan konteks.

Kita bisa berkaca pada situasi yang kacau belakangan ini. Misalnya, terkait pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang berkehendak mengembalikan TNI ke berbagai ranah sipil. Hal ini tentu saja mendapat berbagai pertentangan, khususnya dari berbagai kalangan akademisi dan koalisi masyarakat sipil. Seminggu ini, bahkan banyak aksi demonstrasi yang menentang sahnya UU TNI karena dinilai mengangkangi amanat Reformasi yang telah dipertahankan selama 27 tahun belakangan. Namun, apakah Islam memiliki jawaban atas hal-hal ini? Sejujurnya, saya belum menemukan bagaimana respons para intelektual Muslim, khususnya di Indonesia, khususnya dalam konteks legal formal bicara soal ini. Namun jika doktrin Islam ditarik ke level yang lebih praksis, saya pikir bisa.

Sejatinya, sebuah peraturan, apalagi undang-undang yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, harus dibahas secara terbuka. Sayangnya, dalam konteks pengesahan RUU TNI, hal ini tidak dilakukan. Proses pengesahan RUU TNI ini dinilai cacat konstitusi karena tidak adanya mekanisme uji publik yang memadai, termasuk dari akademisi, masyarakat sipil dan organisasi HAM. Sudah begitu, pembahasannya dilakukan begitu cepat bukan di ruang DPR, melainkan di sebuah hotel. Kedua, RUU ini memiliki kontradiksi dengan konstitusi dan semangat reformasi TNI. Ada banyak kajian yang menyimpulkan bahwa RUU ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI lewat beberapa pasal yang memungkinkan perwira aktif TNI untuk menduduki jabatan sipil di berbagai kementerian dan lembaga. Hal ini juga bertentangan dengan UU No. 34/2004 yang membatasi peran TNI agar tidak masuk di ranah sipil. Ketiga, UU ini berpotensi mengancam demokrasi dan HAM lewat keterlibatan militer di ruang sipil.

Selain membahayakan demokrasi, revisi UU TNI juga berpotensi memperburuk ketimpangan sosial dan krisis ekologis. Sejarah menunjukkan bahwa keterlibatan militer dalam bisnis ekstraktif kerap berujung pada perampasan tanah, penggusuran paksa, serta kriminalisasi terhadap petani dan aktivis lingkungan. Dampak lainnya adalah meningkatnya kekerasan terhadap kelompok rentan, terutama perempuan. Di wilayah kaya sumber daya alam dan daerah konflik, kehadiran militer sering kali beriringan dengan meningkatnya kasus pelecehan, kekerasan seksual, serta intimidasi terhadap perempuan. Aktivis perempuan yang memperjuangkan hak-haknya pun semakin berisiko mengalami represi dan kriminalisasi. Masuknya militer di ranah sipil hanya akan memperkuat budaya kekerasan dan impunitas, yang semakin mempersempit ruang aman bagi perempuan dalam memperjuangkan hak- haknya.

Kebebasan akademik dan ruang demokrasi juga menjadi sasaran. Akademisi dan mahasiswa yang mengkritisi kebijakan negara atau meneliti isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM dan eksploitasi sumber daya alam semakin berisiko mengalami tekanan dan represi. Ruang akademik yang seharusnya menjadi tempat berpikir kritis dapat berubah menjadi ajang sensor dan pembungkaman. Di sisi lain, jurnalis dan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengadvokasi hak-hak kelompok rentan juga semakin terancam dengan dalih stabilitas dan keamanan nasional. Dengan semakin besarnya peran militer dalam ruang-ruang sipil akan berpotensi korosif terhadap proses demokrasi berlangsung pasca reformasi.

Jika membacanya dengan konteks demikian, saya percaya Islam memiliki jalan masuk untuk mengkritisi segenap dampak potensial dari sahnya RUU TNI. Misalnya, dalam konteks eksploitasi, Islam menaruh perhatian agar manusia tidak membuat kerusakan di bumi (Qs. Al-A’raf: 56), menggunakan sumber daya alam secara bijak dan tidak melampaui batas (Qs. Al-A’raf: 31), memanfaatkan alam dengan seadil-adilnya (Qs. Ar-Rahman 78). Di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nabi Muhammad bahkan menerangkan bahwa “Bumi itu seperti ibu kalian. Maka, jagalah dia dan jangan merusaknya.” Dalam pasase yang lain, Islam juga menjunjung tinggi martabat perempuan (Qs. Al-Ahzab: 35), membela perempuan dari segala bentuk pelecehan (Qs. Al-Qasas: 77), bahkan menaruh kepentingan bahwa perempuan berhak melawan ketidakadilan lewat berbagai hadist Nabi. Kita juga bisa melihat bagaimana Islam menaruh keistimewaan terhadap ilmu pengetahuan dengan membebaskan setiap orang untuk berpikir sebagai bagian dari pencarian kebenaran (Qs. Al-Baqarah: 256), memberikan ruang pada perdebatan akademik (Qs. An-Nahl: 125), hingga pencarian kebenaran yang berdasarkan bukti (Qs. Al-Baqarah: 111).

Saya pikir, beberapa doktrin Islam di atas yang telah dikemukakan itu dapat menjadi basis untuk membaca Islam pada kondisi saat ini melalui pre-text, teks dan konteks. Tiga hal ini adalah model pembacaan terhadap “totalitas pewahyuan” ala Ahmed. Apa tujuannya? Ya tentu saja dengan mendorong adanya payung hukum rekognisi hak-hak mereka yang rentan lewat Undang-Undang dan peraturan terkait. Hal-hal yang demikian itulah yang perlu dilakukan dan sangat mendesak. Saya pikir, seperti inilah Islam semestinya diterjemahkan pasca-Lebaran nanti. Kita tentu saja terlambat. Namun tetap saja, momentum syawalan ini menjadi penting karena “kapal-kapal baru akan berlabuh”. Jalan terjal yang bakal dilalui dengan hantaman ombak sana-sini baru akan dimulai. Bahkan meskipun kita berada di akhir sekalipun, tidak ada yang sia-sia. Sabab ujar Nabi Muhammad yang agung: “meskipun kiamat sebentar lagi dan kamu masih memegang tunas untuk ditanam, maka lanjutkanlah niatmu dan tanamlah!”. A luta continua!

Penulis : Tarmizi Abbas, MA(Alumni CRCS UGM, Yoyakarta dan Peneliti di Inhides Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 Komentar

  1. Ukhi Mamonto

    Keren, tulisan ini mengambarkan bagaimana peran luas islam dalam menyemburkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, nilai-nilai pancasila, serta penolakan terhadap peraturan yang memarjinalkan kaum-kaum yang tidak merdeka. minaladinwalfaizin ka arif kece.🙏

    Balas
Sudah ditampilkan semua
Tutup