ASN Wajib Posting atau TPP Hilang: Salahudin Pakaya Sebut Gubernur Gorontalo Langgar Konstitusi

Gubernur Gorontalo Gusnar Ismail saat memberikan pidato pengantar KUA-PPAS 2026 pada rapat paripurna ke-33 DPRD, Senin (14/7/2025). (Foto : Mila)

GORONTALO — Kebijakan Gubernur Gorontalo yang mewajibkan ASN menyebarkan informasi pemerintahan melalui akun media sosial pribadi mengundang sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum. Salahudin Pakaya, SH, praktisi hukum senior Gorontalo, menyebut langkah itu bukan hanya salah arah, tetapi juga menabrak berbagai ketentuan hukum secara terang-terangan.

 

Dalam Keputusan Gubernur Nomor 201/26/VII/2025, ASN diharuskan menyebarkan minimal 95 persen konten informasi pemerintahan melalui akun media sosial pribadi seperti WhatsApp dan Facebook setiap bulan. Jika tidak, Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) mereka ditunda. Kebijakan ini berlaku menyeluruh dan menyasar seluruh ASN tanpa mempertimbangkan jabatan, fungsi kerja, maupun ruang privasi mereka sebagai warga negara.

 

Salahudin menilai keputusan ini sebagai bentuk penyalahgunaan kewenangan dan pelanggaran prinsip dasar dalam tata kelola pemerintahan daerah. Ia menegaskan bahwa tidak ada satu pun undang-undang yang memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk memaksa ASN menggunakan akun pribadi sebagai alat penyebaran kebijakan pemerintah. “Ini pelanggaran hukum serius. Gubernur telah melampaui batas kewenangannya sebagai kepala daerah,” ujar Salahudin kepada Kompas, Kamis (17/7/2025), di Gorontalo.

 

Ia menjelaskan, penggunaan akun pribadi menyangkut hak konstitusional atas privasi, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G dan 28F UUD 1945. Di sisi lain, pemaksaan penggunaan akun pribadi untuk tugas negara tanpa persetujuan eksplisit juga melanggar Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. “Negara tidak boleh memaksa warga, apalagi ASN, untuk mengubah ruang privat menjadi ruang propaganda pemerintahan,” tegasnya.

 

Menurut Salahudin, sanksi penundaan TPP yang dikenakan kepada ASN karena tidak menyebarkan informasi juga melanggar hukum administrasi negara. Ia menegaskan bahwa TPP adalah bagian dari hak keuangan ASN yang pengaturannya harus berbasis pada hukum positif, bukan berdasarkan interpretasi sepihak seorang kepala daerah. “TPP itu diatur lewat sistem kepegawaian dan APBD. Tidak bisa Gubernur seenaknya mengkaitkan hak itu dengan aktivitas media sosial,” jelasnya.

 

Lebih lanjut, Salahudin mengingatkan bahwa kebijakan ini berpotensi membawa Gubernur ke hadapan hukum. ASN yang merasa haknya dilanggar bisa mengajukan gugatan ke PTUN. Bahkan, publik dapat mendorong Mahkamah Agung melakukan uji materiil terhadap keputusan tersebut. Ia juga menyebut Komnas HAM dan Ombudsman RI bisa turun tangan, karena terdapat indikasi kuat maladministrasi dan pelanggaran hak asasi ASN.

 

Ia menilai DPRD Gorontalo tidak boleh tinggal diam. Dengan adanya potensi pelanggaran terhadap konstitusi, UU ASN, dan UU PDP, menurutnya DPRD memiliki dasar yang cukup kuat untuk menggunakan hak angket. “Kalau DPRD tidak bergerak, maka mereka sama saja melegalkan penyalahgunaan kewenangan oleh eksekutif. Hak angket itu jalan konstitusional untuk mengontrol kepala daerah yang mulai bertindak otoriter,” kata Salahudin.

 

Dalam pandangannya, keputusan ini menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi tidak memahami batas antara ruang publik dan ruang privat. ASN bukanlah alat kekuasaan, melainkan pelayan masyarakat. Ketika pemerintah memaksa mereka menjadi corong informasi lewat akun pribadi, itu bukan hanya pembengkokan fungsi birokrasi, tetapi juga bentuk represi digital terselubung.

 

“Kita harus lawan kebijakan yang membungkus kontrol sosial dengan alasan penyebaran informasi. Ini negara hukum, bukan negara posting,” tutup Salahudin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup