Bukit Sampah Kotor di Bulan Suci

Selepas tarawih, sebuah mobil pick up hitam pucat berisi karung, berhenti mendadak. Di tengah jembatan, mobil tua itu terpaku. Nampaknya mesinnya mati. Seketika dua orang lelaki di atasnya, bak dikomando, melempar satu demi satu karung berwarna hijau dan putih keremus. Melemparnya, dari atas jembatan ke air keruh sungai Bolango yang membelah wilayah Kota dan Kabupaten Gorontalo itu.

Rupanya karung itu berisi sampah. Aromanya cukup menyengat. Hanya hitungan menit, prosesi tak beradab itu selesai. Mobil pemilik lapak sayur mayur itu tancap gas. Sisa-sisa sampah berserakan. Bergelantungan pada selasar jembatan dan kabel telkom yang terbentang. 

Tak lama berselang. Sebuah motor matic berhenti di arah berlawanan. Seorang laki-laki berkopiah hitam sambil menggunakan masker. Dua tas kresek ukuran kecil dan besar seperti bergandengan tangan, langsung dilempar dengan tangan kirinya. “Buuk” terdengar suara pantulan air dari bawah jembatan. 

Rupanya, jam-jam begini, warga sekitar memanfaatkan aliran sungai sebagai tempat pembuangan akhir (TPA). Air sungai tercemar, tak lagi menjadi pilihan yang baik untuk mandi dan mencuci. Suatu saat akan hilang cerita indah mandi di sungai pada anak-anak kekinian. Yang ada, cerita buruk berbagai jenis sampah plastik yang terbawa arus sungai Bolango, bertebaran di pesisir pantai.

Sekitar akhir tahun 1990-an. Jembatan sepanjang sekitar 30 meter ini selesai dibangun pemerintah. Penantian panjang warga di dua sisi sungai itu terwujud sudah. Sungai tempat memandikan kuda yang sepi itu berubah ramai. Menjadi tempat berkumpul pemuda-pemudi dari kecamatan Dungingi dan sekitarnya, dengan pemuda pemudi dari wilayah Telaga. Pada hari-hari awal Ramadhan, usai sholat subuh, suasana di jembatan baru ini ramainya bak konser band Sukatani yang lagi viral dengan lagunya “bayar…bayar…bayar” itu. 

Dua komunitas yang dulu terpisah sungai, tak saling kenal, kini menjadi akrab. Terkoneksi jembatan baru itu. Bunga-bunga cinta kuncup dan mewangi di selasar jembatan. Konon, berkat jembatan itu, beberapa pasang muda mudi yang berkenalan ba’da subuh, merajut cinta bak rajutan indah kerawang khas Gorontalo, lalu berlanjut ke jenjang pernikahan. Itulah kenapa, jembatan ini populer dengan nama JEMBATAN JODOH.

Sayangnya, momen Ramadhan beberapa tahun terakhir ini, jembatan jodoh tak lagi ramai. Tak ada kelompok muda-mudi yang mau berjodoh lagi di sana. Jembatan jodoh sudah tak bersahabat. Bau tak sedap dari sisa-sisa sampah yang tersangkut di selasar jembatan cukup menyengat. Tempat itu kini jadi TPA. bagi para pedagang ikan dan sayur, yang menjamur di kedua ujung jembatan itu. 

Fenomena sampah berserakan, nampaknya sudah menjadi pemandangan yang biasa, meski cukup mengganggu. Di mana ada tempat yang sepi, di situ ada tumpukan sampah. Ada yang terisi rapi pada tas kresek, ada pula yang terbalut kencang pada karung 50kg. 

Isinya? diantaranya popok bayi bekas, jenis sampah yang sulit dimusnahkan. Siang hari dibersihkan oleh pemilik lahan, keesokan paginya, sampah serupa berserakan kembali. Lama tak diurus berubah membukit. Betul kata pepatah, “dikit-dikit, lama-lama jadi bukit”.

Meski sudah dipasang spanduk besar dengan caption huruf besar-besar pula. Ada yang berisi himbauan “Stop Buang Sampah di sini”, ada yang mengancam “Dilarang Buang Sampah di sini, awas Katapel”, ada pula yang agak keras “Jangan Buang Sampah disini Olobu” (kerbau). Rupanya spanduk larangan, himbauan dan ancaman itu seolah ajakan ramah membuang sampah.

Konon, sampah-sampah kotor itu sengaja dibuang oleh warga pemukiman padat penduduk, atau warga baru komplek perumahan. Dugaan ini cukup beralasan. Tak ada pembuangan sampah di sana. Apalagi petugas sampah. Tak ada jalan lain, selain membawa sampah secara sukarela, diam-diam pada malam hari. 

Ada yang membuang di tempat sampah yang sebenarnya tapi milik orang lain. Ada yang membawa sampahnya dari rumah lalu membuangnya di tong sampah kantor. Ada orang kabupaten membuang sampahnya di kota. Ada yang membuang sampah di tempat sepi, dan yang terbaru, sampah mulai berserakan di beberapa titik jalan GORR. Betapa buruknya kesadaran kita mengurus sampah.

Momentum bulan suci Ramadhan, terjadi peningkatan volume sampah, seturut meningkatnya daya beli masyarakat, baik makanan maupun barang-barang rumah tangga. Lihat saja. Tempat pembuangan sampah di pusat-pusat perbelanjaan dan pemukiman. Volumenya melebihi kapasitas tempat pembuangan yang tersedia. Tengok selokan dan saluran air. Isinya sampah plastik. Botol air mineral dan gelas plastik aneka minuman dibalut lumpur. 

Bulan suci menjadi tak suci lagi. Banyak sampah beraroma tak sedap sisa-sisa makanan berbuka dan sahur berserakan. Tak ada yang serius mengurusnya. Petugas dan armada sampah jumlahnya tak sebanding dengan volume sampah, yang terus meningkat. Pusat-pusat perbelanjaan bak jamur di musim hujan, tak diiringi dengan peningkatan pengelolaan sampah yang ramah lingkungan. 

Tak ada yang peduli. Selain diri kita sendiri. Pemerintah? Sepertinya serius sekali mengurus sampah, tapi pada saat berkampanye. Gagasannya mentereng. Solusinya gampang. Tapi hanya pemanis, agar terpilih. Setelah itu, “tingga mati hila’u”.

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup