Darurat Sungai Nasional, Prabowo Didesak Bentuk Kementerian Kesungaian
JAKARTA — Hari Sungai Nasional yang diperingati setiap 27 Juli kembali hadir tanpa gebrakan berarti. Di tengah krisis air yang makin parah, sungai-sungai Indonesia tak lagi menjadi urat nadi peradaban, melainkan wajah telanjang dari kegagalan tata kelola lingkungan nasional.
Laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan, lebih dari 90 persen Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia berada dalam kondisi rusak atau kritis. Banjir besar, pencemaran air, sedimentasi, dan konflik agraria kini menjadi narasi rutin, bukan peringatan luar biasa.
“Ini bukan bencana alam, ini bencana tata kelola. Kita sedang menyaksikan runtuhnya peradaban air,” tegas Dr. Funco Tanipu, sosiolog dan peneliti kebijakan publik. Dalam pernyataannya, Funco mendesak Presiden Prabowo Subianto membentuk Kementerian Kesungaian sebagai otoritas tunggal yang menangani sungai secara menyeluruh dan lintas sektor.
Menurutnya, saat ini pengelolaan sungai tercerai-berai: Kementerian PUPR sibuk membangun bendungan, KLHK fokus rehabilitasi lahan, sementara masyarakat hanya jadi penonton dari krisis yang memiskinkan. “Negara seperti tidak punya peta. Sungai dikelola seperti saluran irigasi kolonial, bukan ruang hidup,” ujar Funco.
Kepedulian Presiden Prabowo terhadap kondisi sungai—terlihat dari inspeksi mendadaknya ke Sungai Cidepit dan Cipakancilan di Bogor pada Februari 2025—dipuji banyak kalangan. Tapi Funco menyebut hal itu belum cukup. “Gestur simbolik bagus, tapi tidak akan menyelamatkan sungai. Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah kelembagaan,” katanya.
Menurutnya, Kementerian Kesungaian harus dibentuk dengan kewenangan regulasi, anggaran, dan koordinasi lintas kementerian. Lembaga ini harus merancang konservasi berbasis masyarakat, mengintegrasikan tata ruang DAS, dan menegakkan keadilan air. “Jika laut punya kementerian, maka sungai juga harus punya. Kita sudah terlalu lama meminggirkan air tawar dari agenda negara,” tegasnya.
Tak hanya itu, Funco juga menyoroti kesenjangan serius dalam dunia akademik. Ia menyebut, “Hampir semua universitas punya Fakultas Kelautan, tapi adakah yang punya Fakultas Kesungaian? Tidak ada.” Menurutnya, ini cermin dari cara berpikir yang parsial dan elitis. Sungai hanya diajarkan sedikit dalam teknik sipil, geografi, atau studi lingkungan—tanpa pendekatan interdisipliner.
Ia mendorong pendirian Fakultas Kesungaian sebagai basis keilmuan baru yang menggabungkan ekologi, hukum, teknik, antropologi air, hingga ekonomi komunitas. “Kalau kita tidak bisa memahami sungai secara utuh, bagaimana kita bisa menyelamatkannya?” ujar Funco.
Lebih jauh, ia menyebut perlunya kurikulum kesungaian sejak pendidikan dasar, agar generasi muda memahami sungai sebagai lanskap kehidupan, bukan sekadar saluran limbah. “Kita butuh revolusi cara pandang. Sungai itu halaman rumah, bukan selokan,” katanya.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) pada 2023 mencatat bahwa 52 persen kawasan lindung di sekitar DAS telah berubah fungsi menjadi industri dan perkebunan. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) melaporkan lebih dari 30 konflik agraria terjadi di kawasan sungai sepanjang 2022. Funco menyebut ini sebagai “kolonialisme baru atas air”.
Di tengah bencana ekologis yang kian masif, Funco melihat hanya satu cara untuk menghentikan arus krisis: reformasi kelembagaan dan intelektual secara serentak. “Kementerian Kesungaian di tingkat pusat, Fakultas Kesungaian di dunia akademik. Dua itu harus hadir bersama. Kalau tidak, krisis air akan menjadi krisis peradaban,” pungkasnya.
Catatan Redaksi:
Sungai adalah jantung kehidupan. Tapi di tangan kekuasaan yang abai, ia menjadi liang bencana. Pemerintah ditantang menjadikan sungai bukan hanya agenda teknis, tapi agenda keadilan. Karena di setiap alirannya, ada hak rakyat yang tak boleh hanyut.