Dekolonisasi Ingatan atau Revitalisasi Propaganda? Menimbang Ulang Penulisan Sejarah

Hendra Marhum

Belakangan ini, masyarakat disuguhi kabar tentang upaya penulisan ulang sejarah nasional. Proyek ini disebut sebagai langkah menuju penyempurnaan narasi sejarah yang lebih positif dan inklusif. Namun, di balik niat yang terdengar mulia itu, muncul pertanyaan yang tak bisa begitu saja diabaikan: benarkah ini sekadar penyempurnaan, atau justru bagian dari usaha untuk menghapus jejak-jejak masa lalu yang dianggap mengganggu?

Sejarah, sebagaimana mestinya, adalah ruang bagi bangsa untuk bercermin. Ia tidak diciptakan untuk membuat nyaman, tetapi untuk membuat sadar. Maka, ketika narasi sejarah ingin “diperhalus” dengan alasan membangun semangat kebangsaan, kita perlu waspada. Sebab, tak jarang, upaya memperhalus itu justru menjadi cara paling halus untuk menyembunyikan. Menyembunyikan luka, menyamarkan dosa, dan membebaskan beberapa pihak dari tanggung jawab moral atas peristiwa-peristiwa penting yang pernah terjadi.

Kita tahu bahwa sejarah tidak pernah benar-benar netral. Ia ditulis oleh manusia, dipengaruhi oleh kekuasaan, dan sering kali dipilah sesuai kepentingan. Lihat saja bagaimana banyak negara bekas penjajah di Eropa selama puluhan tahun menutupi kekerasan kolonial dalam buku pelajaran mereka. Perbudakan, penjarahan, dan genosida di wilayah-wilayah jajahan sering kali dihapuskan dari narasi resmi dan digantikan dengan kisah “peradaban” atau “misi kemanusiaan.” Justru karena sejarah rentan digunakan sebagai alat kekuasaan, maka penulisannya harus dijaga agar tidak jatuh menjadi alat pembenaran. Bila yang ditonjolkan hanya bagian-bagian yang menyenangkan, sementara bagian yang menyakitkan disingkirkan, maka sejarah bukan lagi ruang belajar, melainkan panggung sandiwara.

Inilah yang membuat penulisan ulang sejarah tidak bisa dipandang ringan. Jika proses ini digunakan untuk membentuk memori baru yang bersih dari kontroversi, maka kita patut khawatir. Sebab bisa saja proyek ini bukan semata-mata untuk memperkaya narasi bangsa, melainkan untuk memutihkan catatan lama. Fakta-fakta yang dulunya dianggap “gelap” bisa saja dikesampingkan, tokoh-tokoh yang pernah bermasalah bisa saja ditampilkan sebagai pahlawan, dan luka kolektif bisa dihapuskan atas nama harmoni yang artifisial.

Konsekuensinya pun tidak kecil. Bila generasi muda hanya dikenalkan pada sejarah yang penuh kebanggaan dan prestasi, tanpa disandingkan dengan konflik, kegagalan, atau kekerasan yang pernah terjadi, mereka akan tumbuh dengan pandangan yang sempit. Mereka akan mudah terjebak pada glorifikasi masa lalu, tetapi rapuh menghadapi realitas sosial hari ini. Mereka akan belajar bahwa yang penting adalah terlihat baik, bukan menjadi baik. Di titik ini, sejarah kehilangan daya kritisnya sebagai cermin bangsa.

Padahal, bangsa yang sehat bukan bangsa yang menutupi masa lalunya, melainkan bangsa yang mampu menatap masa lalu dengan jujur. Afrika Selatan, misalnya, berani membuka luka sejarah apartheid melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Truth and Reconciliation Commission), yang mempertemukan pelaku dan korban dalam ruang pengakuan dan keadilan. Sejarah yang terbuka, termasuk pada luka dan kesalahan, adalah fondasi yang jauh lebih kokoh daripada sejarah yang disusun ulang demi pencitraan. Kita tidak bisa membangun masa depan dengan menyangkal masa lalu. Kebenaran, seburuk apa pun rupanya, adalah syarat utama untuk membentuk kedewasaan kolektif.

Tentu, menulis ulang sejarah bukan sesuatu yang keliru jika tujuannya adalah memperluas cakrawala, mengangkat suara yang lama terpinggirkan, dan melibatkan berbagai perspektif yang dulu diabaikan. Banyak kelompok minoritas, perempuan, dan masyarakat adat yang selama ini dilupakan dari narasi sejarah arus utama, layak mendapat tempat dalam catatan bangsa. Namun, bila yang terjadi justru penghilangan terhadap hal-hal yang dianggap tidak sesuai dengan citra ideal bangsa, maka yang sedang dilakukan bukanlah penulisan ulang, melainkan penghapusan ingatan.

Dan ketika ingatan kolektif mulai dihapus atau dikaburkan, maka kita bukan sedang membangun bangsa, melainkan sedang memutus akar keberadaannya sendiri.

Karena itu, menjaga kejujuran sejarah bukan sekadar tugas para sejarawan. Ia adalah tanggung jawab moral seluruh warga bangsa. Masyarakat sipil, akademisi, jurnalis, dan generasi muda mesti terlibat aktif mengawal narasi sejarah agar tetap utuh, termasuk yang luka dan kelam. Hanya dengan menatap masa lalu tanpa manipulasi, kita bisa membangun masa depan dengan integritas.

Sebab, bangsa yang besar bukanlah bangsa yang bersih dari kesalahan, melainkan bangsa yang berani mengakui dan belajar darinya.

Penulis : Hendra Marhum(Mahasiswa Sosiologi di Universitas Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup