Demokrasi dan Distribusi Keadilan

Siti Sara Malase, Ketua Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Pasifik Morotai Periode 2023-2024.

Oleh: Siti Sara Malase

Bakukabar.id – Demokrasi merupakan salah satu sistem pemerintahan yang paling banyak diadopsi di dunia modern. Sejak akhir Perang Dingin, demokrasi menjadi standar legitimasi politik bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Secara konseptual, demokrasi didefinisikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, dalam praktiknya, demokrasi kerap mengalami penyempitan makna dengan direduksi hanya sebatas pada dimensi procedural, yaitu penyelenggaraan pemilihan umum secara reguler, adanya kebebasan berpendapat, dan mekanisme representasi melalui lembaga perwakilan. Masalahnya, demokrasi prosedural tidak selalu menjamin terciptanya keadilan sosial.

Dalam konteks negara berkembang, demokrasi sering kali gagal mengatasi kesenjangan ekonomi, ketidakmerataan akses pendidikan dan kesehatan, serta marjinalisasi kelompok rentan. Hal ini melahirkan paradoks, rakyat memang diberikan hak politik, tetapi tidak mendapatkan keadilan sosial-ekonomi yang memadai. Dengan kata lain, demokrasi tanpa distribusi keadilan hanya menjadi ritual politik tanpa substansi. Oleh karena itu, tulisan ini adalah bentuk refleksi kondisi bangsa Indonesia saat ini dengan keterkaitan antara demokrasi dan distribusi keadilan dengan mengacu pada pemikiran teoritis serta realitas empiris di Indonesia. Dua garis besar utama adalah bagaimana demokrasi substantif seharusnya tidak hanya berhenti pada aspek elektoral, tetapi juga memastikan terwujudnya pemerataan dan keadilan sosial.

Demokrasi Prosedural dan Demokrasi Substansi

Dalam studi ilmu politik, terdapat perbedaan fundamental antara demokrasi prosedural dan demokrasi substantif. Demokrasi prosedural berfokus pada mekanisme dan prosedur, seperti keberadaan pemilu yang bebas dan adil, perlindungan hak-hak sipil, serta kebebasan berorganisasi. Konsep ini sering dikaitkan dengan pemikiran Joseph Schumpeter (1942), yang mendefinisikan demokrasi sebagai metode kompetisi politik untuk memperoleh kekuasaan melalui pemilu. Sebaliknya, demokrasi substantif menekankan pada hasil atau output dari sistem demokrasi itu sendiri.

David Held (2006) menegaskan bahwa demokrasi substantif harus berorientasi pada terciptanya keadilan sosial, kesetaraan, dan pemberdayaan warga negara. Dalam kerangka ini, demokrasi tidak hanya diukur dari keberlangsungan pemilu, tetapi juga dari sejauh mana ia mampu mewujudkan kesejahteraan sosial, mengurangi ketimpangan, dan menjamin hak-hak kelompok marjinal.

Robert Dahl (1971), melalui konsep polyarchy, menekankan pentingnya partisipasi luas dan kompetisi politik yang sehat. Namun, Dahl juga menyadari bahwa partisipasi tanpa pemerataan akan melahirkan ketimpangan akses politik, di mana kelompok kaya lebih mampu memengaruhi kebijakan publik dibandingkan kelompok miskin. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi prosedural tidak cukup tanpa adanya keadilan distributif.

Keadilan dan Landasan Normatif Demokrasi

Untuk memahami pentingya distribusi keadilan dalam demokrasi, John Rawls dalam Theory of Justice menjelaskan bahwa, ada dua prinsip keadilan: pertama prinsip kebebasan yang setara, artinya setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan dasarnya. Yang kedua prinsip perbedaan artinya ketidaksetaraan sosial-ekonomi hanya dapat dibenarkan jika menguntungkan kelompok yang paling kurang beruntung. Dalam konteks demokrasi, gagasan Rawls dapat di artikan bahwa institusi demokrasi harus memastikan bahwa kebijakan publik tidak hanya menguntungkan mayoritas, tetapi juga melindungi kelompok minoritas dan masyarakat terpinggirkan.

Sementara menurut Amartya Sen dalam Development as Freedom menjelaskan pentingya pendekatan kapabilitas, menurutnya keadilan bukan sekedar distribusi barang dan jasa, tetapi kemampuan ril individu untuk menjalani kehidupan yang mereka anggap bernilai. Demokrasi yang sejati adalah demokrasi yang memperluas kapabilitas warga negara, seperti akses pendidikan, kesehatan dan partisipasi politik yang bermakna. Dua gagasan besar di atas memberikan dasar normatif bahwa demokrasi yang berkeadilan harus mencakup dimensi sosial, ekonomi dan politik.

Demokrasi dan Kesenjangan Sosial di Indonesia

Indonesia, secara normatif, mendefinisikan dirinya sebagai negara demokratis dengan keadilan sosial sebagai tujuan utama. Pancasila menempatkan “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” sebagai sila kelima, sementara UUD 1945 Pasal 33 dan 34 menegaskan pentingnya penguasaan negara atas sumber daya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta kewajiban negara dalam menjamin perlindungan sosial. Namun, secara empiris, praktik demokrasi di Indonesia masih cenderung prosedural. Pemilu memang diselenggarakan secara reguler dan relatif bebas, tetapi substansi demokrasi belum tercapai. Oligarki politik, sebagaimana diuraikan Robison dan Hadiz (2004), mendominasi arena demokrasi Indonesia. Para elite politik-ekonomi memanfaatkan demokrasi elektoral untuk memperkuat kepentingan mereka, bukan untuk memperluas distribusi keadilan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 menunjukkan bahwa gini ratio Indonesia berada pada angka 0,388. Angka ini menunjukkan kesenjangan pendapatan yang masih tinggi. Selain itu, distribusi akses terhadap layanan publik juga timpang. Misalnya, kualitas pendidikan di perkotaan jauh lebih baik dibandingkan di pedesaan, sementara layanan kesehatan masih terkonsentrasi di kota-kota besar. Fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia belum mampu menjadi instrumen redistribusi. Demokrasi berjalan dalam bentuk elektoral, tetapi substansi keadilan sosial masih jauh dari harapan.

Dampak Demokrasi Tanpa Distribusi Keadilan

Delegitimasi Demokrasi: Ketika demokrasi hanya dirasakan sebagai “ritual lima tahunan” tanpa ada perubahan substantif dalam kehidupan rakyat, kepercayaan terhadap demokrasi menurun. Fenomena meningkatnya apatisme politik di kalangan generasi muda dapat menjadi indikator delegitimasi demokrasi. Meningkatnya Populisme: Ketidakadilan sosial-ekonomi sering dieksploitasi oleh aktor populis yang menggunakan retorika sederhana berbasis sentimen identitas. Populisme semacam ini dapat mengancam keberlanjutan demokrasi karena cenderung menolak pluralisme.

Ketidakstabilan Sosial: Kesenjangan sosial berpotensi melahirkan konflik sosial. Protes massal, gerakan radikal, bahkan konflik horizontal dapat muncul ketika masyarakat merasa terpinggirkan oleh sistem politik yang tidak adil. Reproduksi Oligarki: Demokrasi tanpa distribusi keadilan akan semakin memperkuat oligarki, di mana segelintir kelompok menguasai politik dan ekonomi, sementara mayoritas rakyat hanya menjadi penonton.

Membangun Demokrasi Yang Berkeadilan

Untuk mewujudkan demokrasi yang substantif, distribusi keadilan harus ditempatkan sebagai fondasi utama. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan: Penguatan Kebijakan Redistribusi: Negara harus mengimplementasikan pajak progresif, memperluas cakupan jaminan sosial, dan memberikan subsidi pada sektor pendidikan dan kesehatan. Hal ini sejalan dengan prinsip Rawls bahwa ketidaksetaraan hanya dapat diterima jika menguntungkan kelompok yang paling rentan. Reformasi Ekonomi-Politik: Dominasi oligarki harus dibatasi melalui regulasi transparansi politik, pembiayaan partai yang akuntabel, serta pemberantasan korupsi. Keterlibatan masyarakat sipil harus diperkuat untuk mengawasi kebijakan publik.

Inklusivitas Partisipasi Politik: Demokrasi substantif menuntut partisipasi inklusif, khususnya bagi kelompok marjinal seperti perempuan, masyarakat miskin, dan komunitas adat. Representasi politik mereka harus dijamin untuk mencegah demokrasi yang hanya dikendalikan elite. Supremasi Hukum: Penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif merupakan syarat mutlak demokrasi yang berkeadilan. Hukum yang “tajam ke bawah dan tumpul ke atas” hanya akan memperkuat ketidakadilan. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi membutuhkan warga negara yang kritis. Pendidikan politik yang mendorong kesadaran hak dan kewajiban perlu diperluas, agar masyarakat tidak mudah dimanipulasi oleh politik uang dan retorika populis.

Demokrasi tidak boleh dipahami hanya sebagai prosedur elektoral, tetapi harus ditempatkan sebagai mekanisme yang menjamin distribusi keadilan. Tanpa keadilan distributif, demokrasi hanya akan melahirkan paradoks: hak politik diberikan, tetapi hak sosial-ekonomi diabaikan. Bagi Indonesia, tantangan terbesar bukan hanya menyelenggarakan pemilu, melainkan memastikan demokrasi menjadi instrumen untuk mengurangi ketimpangan sosial dan memperluas kesejahteraan. Oleh karena itu, distribusi keadilan harus menjadi fondasi utama demokrasi Indonesia. Keberhasilan demokrasi pada akhirnya akan diukur bukan dari terselenggaranya pemilu semata, tetapi dari sejauh mana demokrasi mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Jakarta, 1 September 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup