Demokrasi (Harus) Menjadi Kebudayaan

Pepy Albayqunie - FOTO : Istimewa

Refleksi Temu Nasional (TUNAS) Jaringan GUSDURian 2025

Oleh : Pepy Al-Bayqunie (Jamaah GUSDURian, tinggal di Sulawesi Selatan yang lahir dengan nama Saprillah)

Di Indonesia, demokrasi kerap tampil meriah hanya saat pemilu. Angka, statistik, dan pesta politik menjadi hal yang paling mencolok. Namun, setelah hiruk pikuk itu usai, demokrasi sering kembali sepi. Ia menyusut menjadi prosedur formal tanpa ruh, sekadar mekanisme rutin yang kehilangan makna mendalam. Dalam kondisi ini, demokrasi tampak hidup hanya sesaat, lalu mati perlahan dalam keseharian masyarakat.

Gus Dur mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati bukan sekedar memilih pemimpin. Demokrasi adalah kesanggupan belajar hidup bersama dalam perbedaan. Ia bukan sekadar ruang perebutan suara, melainkan ruang pembelajaran sosial di mana manusia melompat, bernegosiasi, dan membangun rasa percaya. Demokrasi menemukan jiwa ketika ia mampu mengikat keberagaman, bukan sekedar menghitung mayoritas dan minoritas.

Demokrasi yang direduksi hanya pada angka membuat politik kehilangan jiwa. Rakyat dipandang sekadar data dalam tabel suara, statistik elektoral, atau persentase dukungan. Ketika angka menjadi tujuan akhir, hak dan martabat manusia terpinggirkan. Demokrasi berubah menjadi permainan kalkulasi, bukan ruang etika. Dalam kondisi ini, rakyat bukan lagi subjek yang menentukan arah negara, melainkan objek yang dipakai untuk menjamin legitimasi kekuasaan.

Sementara itu, demokrasi berhenti pada pesta menumbuhkan budaya citra. Pemilu diperlakukan sebagai ajang karnaval politik, tempat para elit tampil bak selebritas dengan jargon kosong dan pencitraan instan. Popularitas menjadi lebih penting daripada integritas, elektabilitas lebih sakral daripada komitmen moral. Pemimpin yang lahir dari ruang pesta cenderung sibuk mempertahankan panggung, dibandingkan memikul tanggung jawab etis kepada rakyat yang berbohong.

Kedua pola ini sama-sama menjauhkan demokrasi dari roh kemanusiaan. Demokrasi kehilangan makna pada dasarnya adalah jalan untuk merawat kehidupan secara adil, setara, dan bermartabat. Ia gagal menjadi prosedur ritual tanpa kedalaman, melahirkan kepemimpinan yang rapuh secara moral. Oleh karena itu, demokrasi harus dikembalikan pada esensinya: bukan sekadar kalkulasi atau pesta, tetapi ruang hidup di mana manusia dihargai, suara mereka bermakna, dan politik dilepaskan pada tanggung jawab etis kepada sesama.

Kebudayaan Demokrasi, Melampaui Angka dan Pesta

Gus Dur menawarkan demokrasi sebagai budaya yang hidup. Berarti ia hidup dalam kesadaran masyarakat, bukan sekedar dalam prosedur negara. Demokrasi tidak berhenti di ruang TPS atau di balik bilik suara, melainkan terus berlanjut dalam denyut kehidupan sehari-hari. Demokrasi yang sejati tidak hanya tercermin dalam undang-undang atau peraturan, tetapi dalam cara masyarakat memandang, mendengar, dan menghargai sesamanya.

Dalam kerangka ini, demokrasi hadir di mana saja: di keluarga yang membiasakan musyawarah, di sekolah yang mendidik anak-anak untuk berpikir kritis, di kampung yang merawat solidaritas, di organisasi sosial yang membuka ruang partisipasi, bahkan di ruang digital tempat generasi muda berdebat dan berbagi gagasan. Demokrasi menjadi kebiasaan, menjadi etika bersama yang membentuk wajah masyarakat.

Demokrasi sebagai kebudayaan yang menuntut keberanian untuk merawat nilai—kesetaraan, keterbukaan, dan penghargaan terhadap martabat manusia—di luar arena politik formal. Ia adalah laku hidup, bukan hanya acara lima tahunan. Tanpa kesadaran kultural semacam ini, demokrasi mudah terperangkap menjadi ritual hampa; tetapi dengan menjadikannya budaya, demokrasi menemukan akarnya yang paling dalam: menjadi cara hidup bersama.

Kebudayaan demokrasi menuntut empat kebiasaan utama:

Terbiasa mendengar perbedaan.

Demokrasi bukanlah soal mayoritas yang mendominasi, melainkan keberanian mendengar suara yang berbeda. Ia menolak logika kekuasaan yang hanya berpihak pada jumlah, karena kebenaran tidak selalu terletak pada yang terbanyak. Demokrasi justru menemukan martabatnya ketika kelompok minoritas pun merasa diakui, didengarkan, dan dilindungi haknya.

Perbedaan dalam demokrasi tidak seharusnya dianggap sebagai ancaman. Justru dari perbedaan itulah tumbuh percakapan, pertukaran gagasan, dan pembelajaran kolektif. Perbedaan adalah ruang untuk saling menguji, memperkaya perspektif, dan melahirkan kebijaksanaan bersama. Dalam ruang yang demikian, demokrasi bergerak melampaui prosedur etika politik menuju perjumpaan antar umat manusia.

Maka, demokrasi sejati adalah keberanian untuk menampung keanekaragaman. Ia tidak lahir dari keseragaman suara, tetapi dari kemampuan merawat perbedaan sebagai kekuatan. Dari sana terbentuklah kebijaksanaan kolektif yang tidak lahir dari dominasi, melainkan dari dialog yang jujur, setara, dan penuh penghormatan terhadap martabat manusia.

Menerima kritik.

Kritik adalah energi yang menjaga demokrasi tetap hidup. Ia menjadi napas segar yang mencegah kekuasaan membekukan kenyamanan dan kesombongan. Tanpa kritik, demokrasi kehilangan daya koreksi dan mudah hanya menjadi prosedur kosong. Dengan kritik, demokrasi terus bergerak, berefleksi, dan menata ulang dirinya.

Menerima kritik berarti melatih kerendahan hati, baik bagi masyarakat maupun negara. Kritik membuka ruang untuk mendengar suara yang berbeda, mengakui kekurangan, dan memperbaiki kesalahan. Dari mencapai demokrasi mendapatkan kualitas etisnya: bukan karena sempurna, tetapi karena selalu mau belajar. Demokrasi tumbuh subur ketika warga berani bersuara, dan penguasa berjiwa besar menampung kritik tanpa rasa terancam.

Demokrasi yang menutup pintu bagi kritik sejatinya hanyalah tirani dengan wajah baru. Ia mungkin memakai bahasa rakyat, tetapi menolak suara rakyat. Ia mungkin menyelenggarakan pemilu, namun menolak kejujuran dalam dialog. Demokrasi tanpa kritik adalah demokrasi yang kehilangan jiwa. Oleh karena itu, menjaga ruang kritik berarti menjaga masa depan demokrasi agar tetap hidup sebagai jalan bersama, bukan sekedar topeng kekuasaan.

Menghormati kelompok lemah.

Demokrasi tidak diukur dari besarnya mayoritas, melainkan dari sejauh mana yang lemah dihormati dan dilindungi. Ukuran sejati demokrasi bukan terletak pada kemenangan angka, tetapi pada kemampuan negara dan masyarakat memberi ruang yang aman bagi mereka yang rentan. Demokrasi menemukan nilainya justru ketika ia berpihak pada yang sering terpinggirkan.

Minoritas, kelompok miskin, atau mereka yang berbeda keyakinan harus mendapatkan tempat terhormat dalam ruang demokrasi. Kehadiran mereka bukan beban, melainkan pengingat bahwa demokrasi berdiri di atas kesetaraan martabat manusia. Melindungi yang lemah berarti menegaskan bahwa tidak ada warga yang boleh dibiarkan sendirian menghadapi diskriminasi, kekerasan, atau pengucilan sosial.

Karena itu, demokrasi sejati bukan sekadar pemerintahan oleh mayoritas, melainkan pemerintahan yang menumbuhkan rasa aman, penghormatan, dan perlindungan bagi semua. Tanpa keberanian merangkul yang berbeda dan melindungi yang lemah, demokrasi hanya menjadi topeng dari kekuasaan mayoritas. Namun dengan keberpihakan etis ini, demokrasi menjelma menjadi jalan bersama untuk hidup adil, setara, dan bermartabat.

Menyelesaikan masalah dengan jalan damai.

Demokrasi sejati menolak kekerasan. Ia tidak lahir dari logika memaksa atau menyingkirkan, melainkan dari kesediaan untuk mendengar dan menghargai. Kekerasan hanya melahirkan luka, dendam, dan siklus permusuhan yang tidak pernah selesai. Demokrasi hadir justru untuk memutus rantai itu, agar perbedaan tidak berubah menjadi pertikaian yang merusak kehidupan bersama.

Konflik dalam masyarakat memang tidak bisa dihindari. Perbedaan kepentingan, pandangan, atau keyakinan adalah bagian dari kenyataan manusia. Namun demokrasi menyediakan jalan etis untuk mengelolanya: melalui dialog, musyawarah, dan kompromi. Dari proses itulah lahir keputusan yang lebih adil, karena bukan didikte oleh kekuatan, tetapi dirumuskan bersama lewat percakapan yang jujur dan setara.

Demokrasi hanya bisa bertahan bila ia menjadi etika damai dalam kehidupan bersama. Ia tidak boleh direduksi sekadar sebagai prosedur politik, tetapi harus hidup sebagai nilai yang mengajarkan kesabaran, penghormatan, dan keberanian untuk mencari titik temu. Dengan demikian, demokrasi bukan sekadar sistem pemerintahan, melainkan cara merawat kemanusiaan agar perbedaan menjadi sumber kedewasaan, bukan alasan untuk bermusuhan.

Implikasi bagi Generasi Muda

Refleksi 2025 mengajak kita, para peserta Tunas Gusdurian, untuk menanamkan demokrasi sebagai budaya hidup yang nyata dan membumi. Demokrasi bukan sekadar sistem politik, tetapi nilai yang harus dihidupi dalam keseharian, ditempatkan dalam praktik nyata yang membentuk kesadaran kolektif.

Pertama, di komunitas, demokrasi hadir melalui ruang dialog, seni, dan solidaritas lintas identitas. Komunitas menjadi laboratorium sosial di mana perbedaan dipelajari, dihargai, dan dirayakan, bukan dijauhi atau dicurigai. Dalam interaksi sehari-hari, demokrasi menjadi cara hidup yang menumbuhkan empati dan kebersamaan.

Kedua, di pendidikan, demokrasi dibiasakan sejak dini. Anak-anak dan remaja dilatih hidup dalam perbedaan tanpa curiga, menghargai perspektif lain, dan mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Pendidikan demokratis membentuk generasi yang sadar akan hak, kewajiban, dan tanggung jawab mereka sebagai warga negara.

Ketiga, dalam politik etis, demokrasi diteguhkan melalui kepemimpinan yang berpihak pada rakyat kecil, bukan hanya mengejar popularitas atau citra. Pemimpin menjadi pelayan masyarakat, bukan penguasa yang memonopoli suara atau kekuasaan. Dengan menanamkan demokrasi di ketiga ruang ini, kita bukan hanya menjaga sistem politik, tetapi merawat manusia dan martabatnya sebagai pusat kehidupan bernegara.

Generasi muda memikul tanggung jawab besar dalam menjaga demokrasi agar tidak direduksi menjadi sekadar angka atau pesta semu. Mereka adalah penerus yang menentukan apakah demokrasi akan hidup sebagai ruang etis atau sekadar ritual politik. Tanpa kesadaran dan keberanian mereka, demokrasi mudah tergelincir menjadi mekanisme formal tanpa roh kemanusiaan.

Demokrasi yang sejati menuntut keterlibatan aktif dari warga, terutama generasi muda, untuk memastikan bahwa suara minoritas didengar, kritik diterima, dan hak-hak yang lemah dihormati. Mereka menjadi penjaga agar demokrasi tidak hanya mengekspresikan dominasi mayoritas, tetapi juga merawat keberagaman sebagai sumber kekuatan kolektif.

Oleh karena itu, demokrasi harus dirawat sebagai ruang hidup yang meneguhkan kemanusiaan. Ia bukan sekadar sistem atau prosedur, tetapi praktik keseharian yang menumbuhkan empati, tanggung jawab, dan solidaritas. Dengan demikian, generasi muda tidak hanya menjadi pewaris politik, tetapi juga pelaku aktif yang menjadikan demokrasi sebagai budaya hidup yang manusiawi.

Penutup

Demokrasi yang hidup adalah demokrasi yang dihidupi. Ia tidak berhenti pada prosedur, angka, atau pesta lima tahunan, melainkan berakar dalam kesadaran dan praktik keseharian. Demokrasi menemukan napasnya ketika warga terlibat aktif, berani menyuarakan pendapat, dan merasa aman dalam keberagamannya. Tanpa keterlibatan itu, demokrasi hanya menjadi nama indah tanpa roh.

Demokrasi hadir ketika kita terbiasa mendengar perbedaan, menerima kritik, melindungi yang lemah, dan menyelesaikan konflik tanpa kekerasan. Nilai-nilai ini adalah fondasi etis yang menjaga politik dari arogansi kekuasaan. Demokrasi yang sehat bukanlah demokrasi yang steril dari konflik, melainkan demokrasi yang mampu mengelola konflik secara adil dan damai. Ia menjadi jalan untuk memastikan bahwa kekuatan tidak selalu memenangkan kebenaran, dan suara kecil tetap memiliki arti.

Bagi Gus Dur, demokrasi bukanlah sekedar sistem politik, melainkan cara merawat martabat manusia. Demokrasi menuntun kita untuk menghormati perbedaan keyakinan, menjunjung kemanusiaan di atas identitas, dan menjadikan kekuasaan sebagai amanah etis. Dengan demikian, demokrasi bukan hanya urusan negara, tetapi perilaku hidup yang menjaga kita tetap manusiawi di tengah keragaman dan perubahan zaman.

Refleksi ini menjadi ikrar bagi Gusdurian untuk menjadikan demokrasi sebagai budaya hidup yang membumi. Demokrasi tidak lagi sekedar prosedur formal atau simbol politik, tetapi menjadi cara berpikir dan bertindak sehari-hari. Ia hadir dalam kesadaran masyarakat untuk menghargai perbedaan, mendengar yang lemah, dan merawat ruang bersama agar tetap inklusif dan manusiawi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup