Eco-Nasionalisme: Merawat Tanah-Air, Merawat Indonesia
Kita begitu fasih merayakan nasionalisme dalam bentuk seremoni dan simbol. Setiap tanggal 17 Agustus, kita berdiri tegap menyanyikan Indonesia Raya, mengibarkan bendera Merah Putih di halaman rumah, sekolah, dan kantor pemerintahan. Di media sosial, foto bendera yang dikibarkan di puncak gunung atau latar kemenangan atlet nasional menjadi penanda kebanggaan kolektif. Di ruang-ruang publik, nasionalisme dipentaskan lewat slogan, mars, dan ritual.
Namun, apakah nasionalisme sebatas itu? Apakah cinta tanah air hanya hidup dalam momen-momen seremoni dan ekspresi heroisme simbolik? Ataukah ada sesuatu yang lebih mendalam—lebih membumi—dalam makna nasionalisme yang selama ini terlupakan?
Kita sering lupa, nasionalisme Indonesia dibangun dari dua unsur yang sangat konkret: tanah dan air. Bahkan, ketika kita menyebut Indonesia sebagai tanah air, kita sesungguhnya sedang menyebutkan esensi ekologis dari nasionalisme itu sendiri. Tanah tempat kita berpijak dan air tempat kita hidup bersama. Tapi ironisnya, dalam praktik sehari-hari, nasionalisme sering terpisah dari upaya merawat tanah dan air itu sendiri.
Nasionalisme dalam Krisis Ekologis
Kita hidup di tengah krisis ekologis yang makin mendalam. Perubahan iklim mengancam ketahanan pangan. Banjir dan kekeringan terjadi bersamaan di berbagai wilayah. Sungai-sungai kita tercemar limbah rumah tangga dan industri. Hutan-hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia ditebang demi ekspansi ekonomi jangka pendek. Dalam semua ini, kita seolah diam. Atau lebih buruk: kita merasa itu bukan urusan nasionalisme, tetapi hanya urusan lingkungan.
Padahal, nasionalisme yang mengabaikan tanah dan air adalah nasionalisme yang pincang. Merayakan bendera, tetapi membiarkan hutan rusak, adalah kontradiksi. Menyanyikan lagu kebangsaan di stadion, tetapi membuang sampah sembarangan ke laut, adalah pengkhianatan halus terhadap ibu pertiwi.
Inilah saatnya kita menggeser—atau lebih tepatnya, memperluas—paradigma nasionalisme kita. Dari yang semata seremoni menjadi aksi ekologis. Dari cinta tanah air sebagai slogan, menjadi cinta tanah dan air dalam praktik sehari-hari. Inilah yang disebut sebagai Eco-Nasionalisme.
Dari Simbol ke Tindakan
Eco-Nasionalisme menolak menjadikan lingkungan hidup sebagai isu pinggiran. Ia menempatkan pelestarian alam sebagai inti dari nasionalisme kontemporer. Dalam kerangka ini, menanam pohon adalah tindakan patriotik. Mengurangi jejak karbon pribadi adalah bentuk bela negara. Menjaga sumber air bersih adalah bagian dari menjaga kedaulatan bangsa.
Kita bisa mulai dari hal-hal kecil: memilah sampah, tidak membuang limbah ke sungai, mengurangi plastik sekali pakai, mendukung pertanian lokal, ikut dalam reboisasi. Tapi kita juga perlu menuntut perubahan pada skala yang lebih luas: regulasi yang berpihak pada kelestarian, penghentian deforestasi atas nama investasi, perlindungan terhadap masyarakat adat yang selama ini menjadi penjaga hutan dan air paling setia.
Dalam semangat ini, setiap warga negara menjadi penjaga ekosistem. Setiap tindakan yang merawat bumi adalah bagian dari membela negara. Karena Indonesia bukan hanya ide di kepala atau simbol di kain, tetapi juga jejak tanah dan aliran air yang menghidupi kita bersama.
Merawat Masa Depan Indonesia
Kita butuh narasi nasionalisme baru yang tidak hanya membanggakan sejarah masa lalu, tetapi juga merawat masa depan. Kita tidak bisa mencintai Indonesia sambil membiarkan ekosistemnya rusak. Karena ketika sungai-sungai kering, ketika hutan-hutan terbakar, ketika udara tak lagi layak dihirup, pertanyaan penting akan datang: apa arti menjadi bangsa, jika tanah dan air kita tidak lagi bisa dihidupi?
Eco-Nasionalisme menawarkan jalan keluar: nasionalisme yang tidak melulu tentang simbol, tapi tentang keberlanjutan. Nasionalisme yang sadar bahwa Indonesia bukan hanya batas wilayah, tapi ekosistem yang saling terhubung. Bahwa tanah dan air adalah ibu sejati dari Indonesia.
Maka, mari perluas nasionalisme kita. Mari kibarkan bendera Merah Putih, sambil memegang cangkul dan bibit pohon. Karena menanam pohon di bumi Indonesia adalah cara lain menyanyikan “Indonesia Raya.” Karena sekali lagi, dan untuk selamanya: tanah airku Indonesia.
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)