Editorial 100 Hari Pemerintah Daerah Gorontalo : Politik Gorontalo dalam Cengkeraman Konflik Elit dan Perebutan Akses Kekuasaan

RISALAH REDAKSI BAKUKABAR.ID : EDISI 100 HARI PEMERINTAHAN DAERAH DI GORONTALO

Di antara konflik yang terus naik tensinya antara Gubernur Gusnar Ismail dan Wali Kota Adhan Dambea, terdapat satu pelajaran lama yang selalu berulang di pentas politik Gorontalo: bahwa pertarungan nyata tidak selalu ada di permukaan. Di balik suara lantang dan konflik terbuka, para penentu kekuasaan justru sering beroperasi dalam diam, ebagai patron-patron, penentu arah institusi tanpa perlu duduk langsung di tampuk kekuasaan.

Dalam realitas politik lokal, kekuasaan bukan hanya soal siapa yang memegang kendali, tapi juga siapa yang tampil paling meyakinkan di atas panggung publik. Seperti disoroti oleh Erving Goffman bahwa politik adalah sebuah pertunjukan sosial: para aktor tampil di “front stage” untuk membangun kesan tertentu, sambil menyembunyikan manuver strategis mereka di “back stage”.

Politik Gorontalo, seperti yang tergambar dalam konflik Gusnar–Adhan, adalah teater sosial yang penuh naskah drama, bagaimana berperan, dan panggung yang silih berganti.

Gusnar versus Adhan: Figur Teknis dan Figur Simbolik 

Dalam politik lokal Gorontalo, kontestasi antara Gusnar Ismail dan Adhan Dambea bukan sekadar konflik dua individu, melainkan pertarungan dua paradigma kekuasaan yang saling meniadakan. Mereka mewakili dua model pendekatan: yang satu berbicara melalui angka dan prosedur, yang lain melalui emosi dan simbol. Perbedaan ini lebih dari gaya, ini adalah perbedaan tentang cara memahami kekuasaan itu sendiri.

Gusnar Ismail adalah teknokrat sejati. Ia dibesarkan dalam logika rational-legal authority ala Weber: bahwa legitimasi berasal dari sistem, bukan dari personalitas. Dalam setiap penampilannya, Gusnar menunjukkan kalkulasi, kehati-hatian, dan konsistensi administratif. Ia bukan politisi panggung, melainkan manajer institusi. Ia percaya bahwa kekuasaan harus dibungkus oleh struktur, bukan oleh drama. Namun di masyarakat yang masih sangat dipengaruhi oleh emosi kolektif, gaya seperti ini sering tampak dingin, bahkan kaku, sebagaimana pola komunikasinya selama menjadi Wakil Gubernur periode 2001 – 2009 dan Gubernur 2009 – 2012, hingga ia kalah telak dari Rusli Habibie yang komunikatif pada Pemilihan Gubernur saat itu..

Gusnar, seperti banyak teknokrat lainnya, beroperasi dalam wilayah yang oleh Erving Goffman disebut sebagai “back stage”, di mana kerja-kerja kebijakan dilakukan jauh dari sorotan, dalam ruang-ruang prosedural yang tidak spektakuler. Tapi inilah tantangannya: publik tidak selalu melihat kerja keras itu. Dalam dunia politik yang kini mirip teater, kerja tanpa narasi adalah kerja yang tak terlihat.

Adhan Dambea sendiri “terlatih” hidup di “front stage”, paham panggung. Adhan tahu bahwa dalam politik, kebenaran bisa kalah oleh kesan. Adhan adalah performer. Adhan hadir di atas panggung bukan untuk mengelola, tapi untuk menyatakan. Ia membangun identitas politiknya dengan retorika, provokasi, dan penampilan yang penuh gairah.

Dalam pendekatan Ernesto Laclau, Adhan adalah produsen antagonisme.  Adhan terampil menciptakan “musuh bersama” sebagai cara untuk menyatukan “rakyat” yang merasa tidak diwakili oleh elite teknokratik. Hal ini bisa terlihat dari rekam jejak Adhan dalam peran antagonis dalam melawan Fadel Muhamad saat ia menjadi Walikota periode 2008 – 2013, serta melawan Rusli Habibie saat menjadi Gubernur dan kini Adhan mulai berperan antoganis melawan Gusnar Ismail. Kecenderungan yang tegang inilah yang mengakibatkan dirinya dimusuhi oleh sebagian elit politik Gorontalo pada Pilwako 2013, walaupun dirinya memiliki basis elektoral yang kuat, namun konsolidasi elit politik Gorontalo yang pernah “disakitinya” menyebabkan ia harus kalah “secara administratif” pada Pilwako 2013. Saat itu, Marten Taha bukanlah figure elit yang bisa diterima oleh kebanyakan elit Gorontalo, tapi karena pendekatan komunikatifnya, membuat Marten menjadi kanal “penjungkalan” Adhan Dambea.

Adhan tampil bukan untuk menyelesaikan masalah, melainkan untuk mewakili perasaan publik. Ia tidak datang membawa kebijakan, tapi membawa emosi yang meledak. Inilah bentuk modal simbolik yang digambarkan Pierre Bourdieu, bahwa kekuasaan yang lahir dari pengakuan sosial, bukan dari jabatan formal atau efisiensi administratif. Adhan mampu membangun identitas sebagai simbol “rakyat kecil”, dan dengan itu ia bisa tampil sebagai tokoh oposisi abadi bagi sistem yang dianggap tidak pro rakyat dan merusak regulasi, hingga Adhan selalu hadir dalam percakapan politik publik.

Konflik antara keduanya pun menjadi lebih dari sekadar benturan kepentingan. Ia berubah menjadi semacam drama representasi, di mana Gusnar mewakili tatanan lama yang rapi namun kaku, sementara Adhan mewakili kekacauan yang ramai namun akrab. Dalam pertarungan ini, publik dipaksa memilih antara kestabilan tanpa emosi atau emosi tanpa kepastian.

Di tengah pertarungan dua figur yang  ini, publik justru mulai mempertanyakan orisinalitas konflik keduanya. Apakah Gusnar benar-benar visioner, atau hanya birokrat baik yang kehilangan sentuhan sosial? Apakah Adhan benar-benar mewakili rakyat, atau hanya mengulang teater politik yang sama setiap kali panggung disediakan?

Kecurigaan ini bukan tanpa dasar. Politik Gorontalo telah terlalu lama menjadi arena sandiwara yang berulang, dan penonton kini mulai memahami naskah yang sama sedang diputar ulang dengan aktor yang sama pula.

Kejenuhan ini menunjukkan bahwa narasi lama mulai kehilangan daya pikat. Publik, terutama generasi muda dan kelas menengah urban, menginginkan narasi baru yakni figur yang kompeten, komunikatif, yang tidak hanya tampil, tapi juga bekerja. Jika Gusnar tidak membuka dirinya pada komunikasi yang lebih terbuka, ia akan terus dianggap jauh. Demikian pula dengan Adhan yang terus mengandalkan gaya tanpa substansi, ia akan terjebak dalam sirkulasi performatif yang tidak pernah menghasilkan kebijakan.

Pertanyaannya kini bukan lagi siapa yang lebih kuat di antara keduanya. Tapi siapa yang mampu membebaskan diri dari pola konflik lama, dan menulis ulang panggung politik Gorontal yakni dengan naskah yang lebih segar, aktor yang lebih otentik, dan visi yang lebih mengakar pada masa depan, bukan sekadar nostalgia atas masa lalu.

Gusnar Ismail tampil sebagai figur teknokratik, birokrat yang rapi, rasional, dan mengandalkan sistem. Tapi dalam dramaturgi politik lokal, pendekatan seperti ini sering kalah menarik. Panggung politik lokal bukan sekadar soal sosok teknokratik, tapi sebagai panggung drama, tempat para aktor harus mampu menciptakan cerita, konflik, dan beririsan dengan emosi publik.

Adhan Dambea malah justru menguasai ini. Ia adalah aktor utama panggung depan (front stage) yang paham cara memainkan simbol, menciptakan peran antagonis, dan mempertahankan perhatian publik. Ia adalah performer dalam arti Goffman, ia sadar akan penonton, sadar akan sorotan, dan tahu betul bagaimana memanfaatkan emosi publik untuk memperkuat identitas politiknya.

Konfliknya dengan Gusnar bukan hanya soal kebijakan, tapi soal gaya tampil. Adhan memainkan peran rakyat kecil yang ditindas, sementara Gusnar berperan sebagai negarawan sunyi. Dalam dramaturgi ini, pertarungan politik menjadi pertarungan judul dan kisah dalam film, siapa yang bisa menyusun narasi yang paling bisa dipercaya publik.

Tetapi publik hari ini semakin sadar bahwa panggung itu bisa dimanipulasi. Ada ruang kesadaran yang perlahan tumbuh, kini penonton mulai bertanya: apakah aktor-aktor ini benar-benar tulus, atau sekadar sedang memainkan naskah lama dalam kostum baru?

Otoritas Politik dan Posisi Rusli Habibie

Di tengah kisruh benturan politik antara Gusnar Ismail dan Adhan Dambea, satu nama tetap bergema dalam ruang kekuasaan, meski tidak lagi duduk di kursi formal yakni Rusli Habibie. Dua periode menjabat sebagai Gubernur Gorontalo dan kini Ketua DPD I Partai Golkar, Rusli adalah representasi dari elite yang berhasil bertahan dalam “sirkulasi tertutup kekuasaan”.

Rusli Habibie, mantan bupati Gorontalo Utara, Gubernur dua periode dan tiga periode menjadi Ketua DPD I Partai Golkar, sekaligus suami Wakil Gubernur Idah Syaidah adalah contoh aktor “belakang panggung” yang sangat piawai. Ia tidak lagi tampil langsung di depan publik, tapi jaringan loyalis, struktur partai, dan sistem birokrasi yang loyal padanya masih bergerak atas orkestrasi senyap darinya. Dalam logika dramaturgi, ia adalah sutradara bayangan yang membiarkan para aktor tampil bertarung di panggung utama, sementara ia sendiri menentukan arah naskah dari balik tirai.

Kekuasaan Rusli tak lagi berada di panggung, tapi di ruang kontrol dalam bentuk kekuasaan yang lebih simbolik, dan lebih berbahaya.

Rusli tidak perlu berada di garis depan. Bahkan, ketidakhadirannya di panggung utama adalah strategi itu sendiri. Dalam kerangka dramaturgi Erving Goffman, Rusli kini tidak lagi menjadi pemeran utama di front stage, tetapi telah berpindah ke belakang layar, mengatur cahaya, memilih aktor, dan mengedit naskah yang dipentaskan oleh orang lain. Ia memainkan peran sebagai sutradara polituk tokoh yang mengendalikan setting politik lokal tanpa harus tampil sebagai wajahnya. Naskah film itu kini sedang dimainkannya melalui aktor panggung yang juga istrinya ; Idah Syaidah. Lembut, keibuan, progresif, melayani tanpa sekat dan fokus pada urusan pemerintahan. Kolaboratif dengan Gusnar, tapi dekat dengan Adhan.

Rusli, justru dengan peran tidak tampil itulah, semakin menegaskan kuasa yakni kekuasaan yang tidak bergantung pada jabatan, tapi pada reputasi, loyalitas, dan struktur yang diwarisi dari masa lalu. Ia membangun citra sebagai tokoh penyeimbang, namun pada saat yang sama mengatur konflik agar tetap pada titik keseimbangan yang ia kendalikan.

Konflik terbuka antara Gusnar dan Adhan, jika dilihat lebih dalam, adalah panggung yang disiapkan. Dua kutub yang terus saling meniadakan itu memungkinkan Rusli tetap menjadi titik gravitasi politik, karena dalam suasana ketidakpastian, publik dan elite akan selalu mencari figur lama yang dipersepsikan mampu meredakan ketegangan. Pada posisi ini, ia juga sedang menyiapkan istrinya, Idah Syaidah untuk berada dalam kondisi “sewaktu-waktu” jika harus tampil dan menggantikan Gusnar Ismail dalam situasi politik yang tidak menentu.

Konsep hegemoni Antonio Gramsci menjadi relevan, Rusli tidak hanya mempertahankan kekuasaan melalui kontrol langsung, tetapi melalui pembentukan common sense politik yang melekat dalam pikiran masyarakat: bahwa tanpa dirinya, Gorontalo akan tetap kacau. Rusli berhasil menanamkan “konsensus hegemonik”, di mana kekuasaan tidak dipaksakan, tetapi diterima karena dianggap masuk akal secara sosial dan historis.

Nama seperti Idah Syahidah, istrinya yang mendampingi Gusnar sebagai wakil, adalah contoh bagaimana Rusli tidak sekadar pensiun dari kekuasaan, melainkan memproduksi aktor baru, memastikan bahwa keluarga politiknya tetap eksis. Ini adalah strategi proyeksi kekuasaan yang lazim dalam sistem patronase lokal, di mana darah dan loyalitas mengalahkan kompetensi dan wacana perubahan.

Model kekuasaan seperti ini juga menunjukkan gejala regresi demokrasi lokal, di mana struktur politik disiapkan bukan untuk memperluas partisipasi, tetapi untuk mempertahankan dominasi lama dengan wajah baru. Publik diarahkan untuk memilih, tapi pilihan-pilihan itu telah diatur dari balik layar oleh kekuatan yang nyaris tak tergantikan.

Dalam konteks menuju 2029 dan 2031, kekuasaan Rusli bukan hanya soal peluang tampil kembali, tetapi bagaimana ia bisa tetap menentukan siapa yang boleh tampil dan siapa yang sebaiknya tetap diam. Maka, dalam kontestasi politik Gorontalo, pertarungan bukan hanya soal elektabilitas, tetapi tentang siapa yang boleh ikut dalam film dan siapa yang dibuang dari film.

Dinasti Gobel dan Poros Alternatif

Rachmad Gobel dan Nasdem memainkan politik off stage, mereka tidak tampil dengan dramatis, tidak terjebak pada konflik Gusnar vs. Adhan, tapi mereka sedang menyiapkan narasi yang bisa dipentaskan saat momen tiba. Jika Rachmad Gobel masih fit dan memungkinkan untuk 2029 dan 2031, maka dirinya akan menjadi figur alternatif yang akan bisa membuat publik terkesima. Selain itu, dirinya juga sedang menyiapkan figur seperti Abdullah Gobel  sebagai tokoh yang “fresh”, lebih sejuk, dan bebas dari luka sejarah. Duko, sapaan Abdullah Gobel, dikreasi melalui jalur adat dan kebudayaan. Duko yang kini mempimpin lembaga adat, mencoba membangun panggung tersendiri dalam tema kebudayaan dan adat. Dalam kacamata dramaturgi, ini adalah peran dan panggung baru, wajah yang dipoles agar bisa tampil sebagai representasi “pembaruan”, padahal naskah besar film tetap ditulis oleh elite lama. Ini menjelaskan bagaimana oligarki bertransformasi, bukan lagi sebagai pengendali kasar, tapi sebagai produser konten politik yang mengatur citra dan emosi publik.

Dalam teater politik Gorontalo yang dipenuhi oleh konflik Gusnar dan Adhan, kekuatan Gobel Brothers bergerak tenang namun sistematis, fokus pada membangun dengan “tanpa syarat”, tetapi mempengaruhi arah panggung secara mendalam.

Gobel juga hadir dalam bentuk figur populis. Mereka bukan orator lapangan, bukan penguasa narasi politik lokal, apalagi pemain panggung konflik seperti Adhan. Tapi justru dalam senyap namun terasa itulah kekuatannya semakin berlipat. Mereka tidak berbicara lantang, karena menganggap bahwa setiap ucapan akan direkam memori publik. Mereka memegang apa yang oleh Jeffrey Winters disebut sebagai “oligarki material”: kekuasaan yang lahir dari kepemilikan sumber daya ekonomi yang luar biasa besar, yang mampu mengarahkan sistem politik tanpa harus memimpin secara langsung.

Dalam politik lokal Gorontalo, mereka adalah tipe elite yang tidak mencari sorotan, tapi membiayai sorotan. Yang tidak menuntut jabatan, tapi menentukan siapa yang layak menjabat. Dalam konteks ini, Rachmad Gobel dan Duko bukan sekadar politisi, mereka adalah arsitek kekuasaan, membentuk konfigurasi aliansi, menyiapkan regenerasi elite, dan membangun narasi alternatif melalui kanal-kanal yang tidak kasatmata: jaringan bisnis, jaringan kebudayaan dan adat, hingga akses ke pusat kekuasaan nasional.

Kemunculan Abdullah Gobel, mulai dari membangun soliditas pemuka adat di tiap kecamatan dan desa, hingga membangun bangunan adat simbolik, adalah skenario alternatif jika Rachmad Gobel tidak memungkinkan untuk tampil. Duko adalah proyeksi simbolik dari kekuasaan yang ingin tampil “baru” padahal jaringannya terhubung erat dengan struktur lama. Ini adalah bentuk rekayasa politik, ketika publik diberi pilihan, tapi pilihan itu telah disiapkan oleh elite sejak awal. Demokrasi tetap berjalan, tapi arahannya sudah dipetakan.

Skenario Gobel ini tidak bergerak dalam kebisingan. Merekabberjalan di jalur yang lebih dalam: membangun poros diam-diam dengan penguatan basis elektoral di Pohuwato, Boalemo dan Kabupaten Gorontalo. Menarik simpul-simpul seperti Bupati Boalemo Rum Pagau, Bupati Kabupaten Gorontalo Sofyan Puhi dan Wakil Bupati Pohuwato Iwan Adam. Mereka juga membangun dukungan bisnis regional-lokal, selain kekuatan kapitalnya yang berjejaring di tingkat nasional maupun internasional, dan memperluas pengaruh media serta komunitas strategis. Ini bukan strategi elektoral dalam arti klasik, tapi strategi hegemonik: membentuk opini publik, bukan sekadar membujuknya.

Poros ini juga mulai memainkan narasi “pembaruan” yang dikemas secara rapi: tampil sebagai alternatif dari dua ekstrem yakni Gusnar yang terlalu teknokratik, dan Adhan yang terlalu retoris. Rachmad Gobel, Duko atau siapapun yang nanti dimajukan, akan dijual sebagai jalan tengah yakni tidak terlalu elite, tidak terlalu populis; tidak terlalu tua, tapi juga tidak terlalu asing. Sosok netral yang sesungguhnya diciptakan oleh kekuatan paling tidak netral yakni modal besar dan jaringan politik mapan.

Namun strategi ini juga menyimpan paradoks. Jika ia gagal membaca manuver ini sebagai kelanjutan dari kekuasaan lama yang berganti wajah, maka Pemilu 2029 dan Pilkada 2031 berisiko menjadi transisi semu, hanya pergantian bungkus tanpa perubahan isi. Oligarki tetap hidup, hanya saja kini tampil lebih elegan, lebih komunikatif, dan lebih professional.

Elnino Mohi, Gerindra dan Reposisi Aktor

Elnino adalah contoh figur yang kini berada di ambang antara panggung depan dan belakang. Elnino mungkin tidak lagi tampil, tapi masih memegang kendali atas siapa yang boleh tampil dan memainkan peran. Ia adalah penjaga akses panggung yang menentukan siapa yang berhak masuk ke dalam naskah politik Gerindra di Gorontalo.

Namun tantangan besar Gerindra bukan hanya soal siapa tokohnya, tapi bagaimana isi naskahnya. Jika partai ini terus mengulang pertunjukan lama dengan aktor yang sama, maka kelas menengah muda yang kini menjadi penonton kritis akan berpaling. Penonton hari ini ingin cerita baru, aktor baru, dan ending yang lebih masuk akal.

Jika konflik antara Gusnar Ismail dan Adhan Dambea adalah panggung utama, maka di sisi lain, Elnino Mohi dan Gerindra berdiri di balik tirai, menunggu momen yang tepat untuk tampil. Namun, posisi mereka tidak lagi sesederhana masa lalu, ketika loyalitas personal dan otoritas partai berjalan searah. Saat ini, Elnino dihadapkan pada satu dilema strategi yaitu mempertahankan loyalitas lama atau membuka ruang regenerasi aktor baru.

Sebagai tokoh senior dan salah satu pendiri basis kekuasaan Gerindra di Gorontalo, Elnino tidak pernah bisa keluar dari peta kekuasaan, meski kini jarang tampil secara aktif di panggung politik harian. Kendalanya bukan pada pengaruh, tetapi pada stamina dan relevansi. Secara fisik ia melemah, tapi secara simbolik ia masih kuat. Elnino adalah figur elite institusional yang walau tak lagi bertarung di garis depan, tetap mengendalikan siapa yang bisa masuk arena.

Namun kekuatan simbolik saja tak cukup. Di tengah dinamika politik lokal yang semakin cair dan penuh aktor-aktor baru, Gerindra menghadapi tekanan untuk mereposisi diri, baik dari dalam maupun dari pusat. Kemenangan Prabowo di nasional adalah modal besar, tapi tanpa figur lokal yang solid dan relevan, Gerindra bisa kehilangan daya tawar di level provinsi. Partai ini butuh bukan hanya loyalis lama, tapi manajer politik baru—figur yang bisa menjembatani antara jaringan struktural partai dan aspirasi kelas menengah-kritis yang kian dominan di kota. Dalam konteks ini, konflik Gusnar dan Adhan menjadi peluang sekaligus jebakan.

Di satu sisi, Adhan Dambea adalah aset politik Gerindra yang besar. Adhan  populer, orator ulung, dan masih punya basis massa yang militan. Tapi ia juga penuh risiko. Ia aktor mandiri yang sulit dikendalikan oleh struktur partai. Jika Gerindra sepenuhnya berpaut padanya, maka partai ini bisa terjebak dalam konflik personal yang tidak produktif. Adhan adalah kekuatan yang besar, tapi ia juga membawa beban sejarah, konflik panjang, dan gaya politik yang sering bertentangan dengan agenda kolektif partai. Ada juga Syaiful Mbuinga, tapi hingga lebih dari satu periode memimpin Pohuwato, nampaknya belum berhasil melakukan konsolidasi politik di daerahnya sendiri.

Gusnar Ismail, yang diusung oleh Gerindra, kini menjadi antitesis Adhan, adalah figur tenang, administratif, dan penuh perhitungan. Namun kisruh BSG dan gaya teknokratisnya kurang mengakar serta pola komunikasi yang lemah dan tidak pernah berubah, maka Gerindra kini menjadi oposisi tak nampak bagi Gusnar itu sendiri, yang nampak adalah Gerindra “meminjam tangan” Adhan untuk “menggebuk” Gusnar.

Elnino Mohi tahu dan bagian dari skenario ini. Karena itu, langkah yang mulai terbaca dari lingkaran internalnya adalah reposisi aktor politik lokal dengan membuka ruang bagi figur baru yang lebih segar, lebih komunikatif, dan tidak terlalu terikat pada narasi lama.

Maka yang terjadi bukan hanya pencarian calon, tapi proses seleksi politik. Elnino dengan jaringan dan insting politiknya, masih memegang peran penting dalam menyaring siapa yang bisa naik ke atas panggung. Dalam kerangka hegemonik Gramscian, ia tetap menjadi bagian dari blok historis yang menentukan arah struktur politik lokal, bahkan tanpa tampil langsung sebagai aktor utama.

Namun waktu terus berjalan. Jika Gerindra gagal membaca arah angin, partai ini bisa menjadi sekadar kendaraan logistik, hanya sekedar pengusung, kuat di struktur, tapi lemah di citra publik. Jika Elnino tidak segera membuka ruang regenerasi, maka partai akan kehilangan momentum untuk tampil sebagai alternatif atas kegaduhan Gusnar–Adhan, otoritas tak pernah pudar Rusli Habibie, dominasi diam-diam poros oligarkis ala Gobel.

Menuju 2029 dan 2031, pertanyaan penting bukan hanya siapa yang maju, tapi siapa yang mampu memimpin proses kaderisasi politik dengan visi yang lebih inklusif dan terencana. Jika tidak, Gerindra Gorontalo akan menjadi panggung kosong: ditinggalkan oleh waktu, diperebutkan oleh tokoh-tokoh oportunis, dan kehilangan narasi jangka panjang yang pernah menjadi kekuatannya di masa awal reformasi.

Para Kepala Daerah: Kekuatan Perantara di Antara Poros-poros Besar

Di tengah konstelasi politik Gorontalo yang didominasi oleh figur-figur besar di level provinsi seperti Gusnar Ismail, Adhan Dambea, Rusli Habibie, Elnino dan Rachmad Gobel, tersembunyi kekuatan lain yang tak kalah menentukan, yakni para kepala daerah. Mereka bukan sekadar administrator pemerintahan lokal, melainkan simpul-simpul kuasa yang menyatu dengan denyut sosial, birokrasi, dan jaringan informal di wilayahnya. Dalam politik Gorontalo, mereka adalah figur-figur yang tidak selalu berdiri di panggung utama, tetapi sering memegang kendali atas suara-suara yang menentukan hasil akhir pertarungan.

Sofyan Puhi dari NasDem, mungkin tidak setenar mereka berenam diatas, tetapi ia telah menjadi poros yang merawat stabilitas politik partai di tingkat bawah. Ia memainkan peran sebagai penyambung strategi besar NasDem di pusat dengan logika lapangan yang lebih taktis. Ia bukan hanya kader partai, tetapi juga operator politik yang paham kondisi lapangan. Dengan gaya yang tenang namun presisi, Sofyan bergerak seperti arsitek infrastruktur elektoral, tidak banyak retorika, tapi punya efektivitas yang nyata. Dan ketika pusat membutuhkan daya ungkit untuk menaikkan nama seperti Rachmad Gobel dan Abdullah Gobel, Sofyan bisa menjadi pengungkit strategis yang bekerja tanpa banyak sorotan, bisa juga ia menjadi alternatif Nasdem untuk 2031 sebab ia adalah kepala daerah dengan pemilih terbesar di Gorontalo. Sofyan adalah penentu elektoral sesungguhnya. Tetapi, posisi Sofyan yang bimbang dalam Nasdem akan menjadi bumerang jika tidak ada kepastian. Sofyan harus diposisikan sebagai penentu arah partai, bukan hanya ditentukan. Di sisi lain, memori sejarah politik Sofyan cenderung melekat pada PPP sebagai partai yang pernah menjadikan dirinya sebagai kader sekaligus penentu. Memori ini sedikitnya menjadi celah jika Nasdem tidak segera mereposisi peran Sofyan.

Hampir sama dengan Sofyan, Rum Pagau membawa kekuatan lain yakni memori dan loyalitas yang kini memasuki perideo kedua kekuasaan di Boalemo. Ia adalah figur yang telah melalui proses politik yang penuh pasang surut, dan kini memegang otoritas kekuasaan di Boalemo. Rum tidak berada di arus utama narasi film yang sedang tayang, tapi tidak bisa diabaikan. Bila poros Gobel ingin menyatukan kekuatan dari kota hingga pedesaan, maka mengaktivasi Rum Pagau bukan hanya strategi elektoral, tapi juga simbol penyatuan antara elite baru dan tokoh lama yang berakar. Tapi jika dikesampingkan, Rum bisa menjadi titik resistensi yang merusak harmoni koalisi. Rum, seperti Soyfan, jika tidak diberi peran sebagai penentu di Nasdem, dirinya memiliki memori manis di Golkar yang bisa menjadi kenangan yang bisa diputar kembali dalam naskah film 2029 dan 2031.

Di tubuh Golkar, dinamika juga sedang berlangsung antara stabilitas dan regenerasi. Ismet Mile yang diusung Golkar sebagai Bupati kini tampil sebagai wajah yang konsisten dan terus bekerja di luar sorotan. Ia bukan bintang media, tapi dikenal luas di komunitas akar rumput sebagai sosok yang membumi. Dalam iklim politik yang bising, figur seperti Ismet justru bisa menjadi nilai tambah: sebagai titik tenang, penghubung antar kelompok, dan penjaga warisan Golkar yang berbasis kerja nyata. Dan bila partai ingin keluar dari bayang-bayang Rusli Habibie, maka wajah-wajah seperti Ismet bisa diangkat untuk membangun identitas baru yang tidak kehilangan akar. Kendala Ismet ada pada usia yang semakin uzur, tapi kendatipun demikian, basis elektoralnya masih sangat kuat. Tantangan lain, Ismet berada dalam pusaran konflik lokal yakni isu pemekaran dan pengelolaan sumber daya alam.

Sosok paling kompleks di tubuh Golkar hari ini adalah Thariq Modanggu. Thariq bekerja sebagai pemimpin aktif yang membawa semangat reformasi dan teknokrasi, namun juga dibebani oleh struktur patronase lama yang belum sepenuhnya ia lepaskan. Selain itu, kenangan Thariq sebagai akademisi belum mampu ia lepaskan, hingga birokrasi Gorut selama 2018-2023 masih gamang dengan cara Thariq memimpin pemerintahan. Ia punya kapasitas sebagai administrator dan pemikir, tetapi belum bisa menjadi pembaru yang independen. Independensi Thariq pasca PSU Gorut akan semakin gamang karena dalam proses elektoral April lalu, ia malah “ditentukan” bukan sebagai penentu, untuk tidak.menggunakan istilah “tersandera”. Karena masalah itulah legitimasi politik Thariq di Gorontalo Utara masih sangat minimal, dan inilah yang menjadi tantangan dirinya kedepan, apakah bisa mengobati luka politik lokal atau akan menjadi memperparah luka tersebut, di tengah dirinya harus independen dalam menentukan arah masa depan Gorut.

Sementara itu, di wilayah barat, Syaiful Mbuinga masih menjadi nama yang kuat dan tak bisa diabaikan. Ia adalah bupati juga tokoh Gerindra yang punya modal kapital (melalui kakak kandungnya Adnan Mbuinga) yang signifikan. Dengan gaya kepemimpinan yang relasional, Syaiful bisa menjadi pengimbang kekuatan Adhan Dambea di tubuh Gerindra. Jika Gerindra ingin menghindari konflik internal yang terlalu terpusat pada Adhan, maka mengangkat Syaiful sebagai poros alternatif bisa menjadi strategi diversifikasi suara yang baik. Tapi jika dilupakan, Syaiful bisa saja membangun jalur sendiri yang sulit dikendalikan. Walaupun demikian, Syaiful masjh harus bekerja lebih keras karena belum sepenuhnya mendapatkan legitimasi yang kuat di Pohuwato, sebab masih dalam cengkraman dan bayang-bayang dinasti politik serta pembelahan elektoral yang belum mampu ia konsolidasi.

Figur-figur ini, dalam diam, sedang memainkan catur masing-masing. Mereka mungkin tak masuk headline media, tapi di desa-desa, kecamatan, dan dalam struktur partai di daerah, merekalah yang menggerakkan mesin politik sesungguhnya. Mereka menjaga irama, memelihara jaringan, dan menentukan siapa yang akan digerakkan saat pemilu tiba. Dan bila mereka tidak dihitung secara strategis oleh poros-poros besar, maka hasil dari 2029 dan 2031 tidak akan ditentukan oleh strategi besar nana-nama tokoh besar Gorontalo seperti Gusnar, Adhan, Rusli, Elnino dan Gobel, melainkan oleh keputusan-keputusan senyap dari para aktor yang selama ini hanya disebut sambil lalu.

Aktor-aktor kepala daerah ini tak sedang ingin masuk dalam pusaran konflik yang ada, mereka sibuk memperkuat basis legitimasi politik sekaligus basis elektoralnya. Mereka tidak diam, mereka mengamati secara tajam, bahkan mereka malah menunggu siapa yang akan lelah dan kehabisan nafas dalam pusaran konflik tersebut, hingga mereka benar-benar siap untuk menggantikan.

Konstelasi Gorontalo, dengan segala kompleksitasnya, sedang menunggu bagaimana poros besar akan memperlakukan kekuatan-kekuatan ini: sebagai pelengkap, atau sebagai poros sejati yang mampu mengubah arah sejarah elektoral ke depan.

Konflik Kekuasaan Gorontalo: Politik Sebagai Arena Perebutan Modal, Simbol, dan Akses

Dalam kerangka sosiologi konflik, politik lokal bukanlah sekadar ajang kontestasi ide dan gagasan, melainkan arena pertarungan antar kelas elite yang memperjuangkan kepentingan simbolik dan material mereka melalui berbagai instrumen kekuasaan. Konflik yang tampak antara Gusnar Ismail dan Adhan Dambea hanyalah permukaan dari tarikan kekuasaan yang lebih dalam yakni konflik antara gaya rasional-birokratis dengan politik emosi-populis antara otoritas struktural dengan legitimasi simbolik.

Jika kita mengikuti logika Marxian, maka yang terjadi di Gorontalo adalah pertarungan antar “kelas penguasa” (ruling class) yang mencoba mempertahankan dominasi di tengah perubahan konstelasi ekonomi-politik. Namun, seperti dijelaskan oleh C. Wright Mills, kekuasaan hari ini tidak lagi ditentukan semata oleh jabatan formal, tetapi oleh interaksi antara elite politik, elite ekonomi, dan elite birokrasi, yang bersama-sama membentuk power elite. Dalam politik Gorontalo, kita menyaksikan bagaimana para aktor ini saling bertaut, saling sandera, dan saling menunggu momentum.

Siapa Lawan Siapa, Siapa dengan Siapa

Gusnar Ismail adalah figur dari kelas teknokrat, mengandalkan legal-rational authority (Weber) yang sering gagal beresonansi di masyarakat yang masih sangat simbolik. Dalam konflik, ia berperan sebagai aktor defensif—lebih sibuk mengelola administrasi daripada membangun narasi politik.

Adhan Dambea tampil sebagai antitesisnya. Ia adalah simbol perlawanan, menguasai symbolic capital (Bourdieu), dan pandai mengelola antagonisme politik (Laclau). Adhan adalah aktor yang menciptakan “ritual konflik”—memanaskan isu untuk mempertahankan posisinya sebagai pusat oposisi.

Rusli Habibie dan Golkar adalah kekuatan established power. Ia sudah tidak berada di tampuk kekuasaan, tapi tetap mengatur arah lewat loyalis, jaringan birokrasi, dan partai. Ia memainkan strategi hegemonic preservation dalam mempertahankan kontrol dengan membiarkan konflik saling melemahkan. Strateginya adalah “politik jeda”, bukan politik gebrakan. Pada saat semua lelah dan “kehabisan darah”, ia akan tampil memukau sebagai sosok lama dengan wajah serta aktor baru : Idah Syaidah.

Rachmad Gobel dan Nasdem mewakili kutub oligarki kapital (Jeffrey Winters). Gobel tidak bermain di panggung konflik, karena ia mengontrol panggung itu sendiri. Ia membangun poros kuasa dari atas dengan menyusun aktor, membiayai narasi, dan mempersiapkan figur baru seperti Abdullah Gobel. Ini adalah bentuk kekuasaan yang tidak terlihat, tapi sangat menentukan (economic power turned symbolic legitimacy).

Elnino Mohi dan Gerindra adalah kekuatan yang sedang mencari bentuk. Elnino tahu bahwa loyalitas partai sudah tidak cukup. Tapi ia juga belum menemukan figur baru yang bisa menyatukan sayap populis (seperti Adhan) dan kelompok rasional muda. Demikian juga figur seperti Syaiful Mbuinga yang masih terjebak dalam legitimasi yang goyah di Pohuwato. Gerindra berada dalam momen transisi: yang lama belum selesai, yang baru belum muncul. Elnino memainkan peran sebagai gatekeeper, tetapi jika ia tidak membuka pintu regenerasi, ia akan kehilangan relevansi struktural maupun simbolik. Bahwa pernah ada kekuatan Elnino Center yang pernah ia bentuk dengan soliditas anak muda, tapi dalam proses politik belum mampu menjadi pemeran utama dalam panggung politik Gorontalo, karena Elnino tampaknya belum mampu “tergantikan dan digantikan” oleh gerenasi yang dia bentuk dan kader.

Sumbu Konflik: Di Mana Medan Tempur Sebenarnya?

Dalam logika teori konflik, yang paling penting bukanlah siapa yang berbicara keras, tetapi siapa yang mampu mengontrol struktur produksi konflik: siapa yang mengatur narasi, menguasai media, memanipulasi simpul massa, dan memonopoli wacana stabilitas. Di Gorontalo hari ini, sumbu konflik tersebar ke dalam tiga spektrum utama:

Sumbu Simbolik-Administratif: antara Adhan Dambea vs. Gusnar Ismail. Ini adalah pertarungan gaya: antara emosi vs. rasionalitas, antara panggung vs. prosedur. Tapi keduanya mewakili elite lama yang belum mampu keluar dari dikotomi itu sendiri. Mereka saling menghabisi daya publik, sambil entah secara sadar sedang membuka jalan bagi kekuatan poros alternatif.

Sumbu Lama-Baru Terselubung: antara elite tradisional seperti Rusli–Golkar dan poros baru seperti Gobel–Nasdem. Ini bukan konflik terbuka, tapi conflict of replacement. Golkar mencoba bertahan lewat keluarga dan loyalitas lama, sementara Gobel membangun pewarisan oligarki dalam kemasan “regenerasi”. Walaupun pernah berbenturan secara langsung, tetapi memiliki arah yang sama: mempertahankan kekuasaan melalui wajah yang berbeda.

Sumbu Kekosongan Representasi: antara harapan publik akan perubahan dengan struktur politik yang stagnan. Di sinilah bahaya terbesarnya: jika konflik elite tidak menghasilkan aktor baru yang kredibel, maka publik akan berpaling. Entah menjadi apatis, atau membentuk poros perlawanan baru yang liar, tak terstruktur, dan destruktif. Publik tentu saja mulai bosan dan jenuh dengan pertikaian elit yang tak pernah habis, padahal dampak yang diharapkan yakni kesejahteraan masih jauh dari harapan. Jika nantinya ada figur baru yang lebih fresh, memiliki naskah politik otentik yang lebih visioner, dengan modal kapital yang kuat, maka generasi lama yang terus bertikai akan dianggap “tong kosong nyaring bunyinya”.

Menuju 2029 Hingga 2031: Pertarungan Penulis Naskah

Menuju Pemilu dan Pilpres tahun 2029, serta Pilkada dan Pemilu DPRD tahun 2031, yang dipertaruhkan bukan hanya siapa menang, tetapi siapa yang bisa membangun hegemoni baru yakni  kekuasaan yang tidak hanya memerintah, tapi membuat masyarakat percaya bahwa mereka diwakili dan utamanya memiliki cetak biru kesejahteraan, bukan hanya sekedar tampil di media.

Jika semua kutub yang ada hari ini baik Adhan, Gusnar, Rusli, Gobel, maupun Elnino gagal membaca arah politik, maka yang akan menang bukanlah yang paling kuat secara logistik, tapi yang paling mampu menginterpretasi krisis representasi dan menawarkan naskah politik yang baru.

Karena, seperti diingatkan Gramsci: “Crisis consists precisely in the fact that the old is dying and the new cannot be born.” , dan dalam kekosongan itu, akan muncul gejala-gejala abnormal yang mengisi kekuasaan.

Hari ini, Gorontalo sedang berada dalam fase itu. Para penulis naskah politik sedang saling berebut pena, dan publik tidak lagi sekadar penonton, mereka mulai membaca, menilai, dan bersiap mengambil alih cerita.

 

🖋 Redaksi Bakukabar.id

Kolom Refleksi Politik Lokal – Edisi Strategis  100 Hari Pemerintah Daerah Gorontalo – Juli 2025

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup