Gorontalo Negeri Bersholawat

Qubah Madinah

Asap mengepul di rumah Dangi Rami. Bukan dari arah dapur, tapi di ruang tengah. Asap beraroma kemenyan. Rupanya sore itu Dangi Rami sedang ada hajatan kecil. Putranya baru saja pulang mudik. Sukses di rantau. Tak etis disebutkan di sini apa saja hasil yang diboyongnya pulang. Sebagai rasa syukur, Dangi mengundang Aba Danggu membacakan sholawat. Orang Gorontalo menyebut Ngadi Salawati.

Menurut Dr. Funco Tanipu, Mongadi salawati dalam praktek kebudayaan Gorontalo adalah kebiasaan yang hidup dalam semua unsur kehidupan. Tradisi pembacaan sholawat nabi ini dilakukan pada berbagai momen penting kehidupan warganya.

Faktanya begitu. Apa-apa, mongadi salawati; acara pernikahan, naik rumah baru, naik kelas, lulus sarjana, lulus PNS, naik pangkat, dapat kursi legislatif, ulang tahun, beli motor, beli mobil, sembuh dari sakit menahun, haid pertama, bebas dari penjara, kembali dari pelarian, lolos dari jerat hutang, sukses dari rantau, panen melimpah dapat hadiah umroh, tujuh bulanan, bahkan bayi yang baru dilahirkan disambut dengan bersholawat.

Pembacaan sholawat untuk bayi ini menurut Funco dilakukan melalui prosesi “mohundingo” atau gunting rambut. Di dalamnya terdapat Mahlul Qiyam, di mana semua yang hadir berdiri bersama untuk melantunkan puji-pujian kepada Nabi.

Dalam prosesi ini, lanjut Funco, bayi yang baru lahir digendong oleh orang tuanya untuk berkeliling kepada jamaah yang sedang Mahlul Qiyam, sambil setiap orang menggunting atau mengelus rambut bayi tersebut.

Mongadi salawati selalu hadir, menjadi ritual penting yang seolah tidak bisa dilewatkan. Dalam praktiknya, bukan hanya mengucapkan sholawat “allahumma sholli alaa Muhammad, dst” secara personal. Mongadi salawati dimediasi oleh pegawai syara’ atau imam kampung.

Bacaan sholawat menurut Tata Maryana, pegawai KUA, berisi zikir, do’a dan puji-pujian kepada Nabi. Untuk kesempurnaan pembacaan sholawat dan do’a, hal yang tidak terlewatkan adalah bara api dalam wadahnya (polutube) dan kemenyan. Menaburkan kemenyan ke atas bara api menurut Aba Danggu sebagai media untuk mengantarkan do’a kehadirat Ilahi.

Tersedia pula bunga polohunga yang terendam dalam baskom. Warna-warni polohungo sebagai simbol keindahan sekaligus warna warni kehidupan. Selanjutnya satu wadah besar (embar) air putih, serta beberapa gelas air. Usai pembacaan sholawat, air itu akan diminumkan kepada anggota keluarga. Sementara air dalam wadah besar digunakan untuk mandi.

Mongadi sholawati dalam rangka naik rumah baru atau kenderaan baru, air sholawat disiramkan pada sudut-sudut rumah dan bagian-bagian kenderaan baru. Air yang dibacakan sholawat nilainya hampir setara air zam-zam. Kata Aba Danggu usai mongadi salawati sambil menggenggam salawati (sedekah).

Berjabat Tangan

Istilah bersholawat atau mosalawati digunakan untuk menyatakan aktivitas berjabatan tangan. Ketika dua orang berjabatan tangan, mereka secara spontan mengucapkan “Allahumma sholli”.

Mosalawati menjadi simbol saling menghormati, sekaligus menciptakan ikatan emosional antara individu. Dalam konteks budaya Gorontalo, setiap jabat tangan yang disertai sholawat merupakan sebuah bentuk do’a dan harapan akan keberkahan bagi kedua belah pihak.

Lebih dari sekadar ritual fisik, mosalawati lazimnya diiringi dengan sedekah dalam bentuk amplop. Biasanya dalam sebuah hajatan. Ungkapan “Posalawatiya mola ode oli Aba Danggu boyito amplop” (Serahkan kepada Aba Danggu amplop itu dengan berjabat tangan) memperlihatkan kedalaman makna dalam tradisi ini.

Lebih jauh, jabat tangan di sini menjadi simbol pengakuan dan penghargaan atas hubungan sosial, sekaligus sebagai bentuk partisipasi dalam perayaan yang lebih besar. Sedekah yang disertakan dalam mosalawati berfungsi sebagai hadiah sekaligus cerminan nilai-nilai kedermawanan dan ketaatan menjalankan perintah Allah untuk bersedekah.

Tradisi ini tidak sekadar menjadi upacara sakral; ia juga berfungsi sebagai penanda identitas budaya yang kuat dan cerminan kehandalan nilai-nilai keagamaan masyarakat Gorontalo.

Dalam setiap pelaksanaan mosalawati, masyarakat tidak hanya menghidupkan budaya lokal, tetapi juga meneguhkan komitmen mereka terhadap norma-norma keagamaan. Ini menjadi penanda bahwa mosalawati menghidupkan interaksi sosial sekaligus representasi dari kesatuan dan kerukunan dalam masyarakat yang berlandaskan nilai-nilai luhur.

Bersholawat dalam Sholat Tarawih

Sholat Tarawih adalah ibadah sunnah yang dinanti umat Islam selama bulan Ramadhan, biasanya dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibadah ini dimulai dengan iqomah, pada akhir iqomah, sang bilal mengucapkan “Allahumma sholli alaa Muhammad” tiga kali. Serentak dijawab oleh jamaah “Allahumma sholli alaihi”.

Setelah dua rakaat pertama, jamaah bersholawat satu kali dipandu oleh bilal lalu dijawab oleh jamaah, dan pada setiap dua rakaat berikutnya, bersholawat tiga kali. Pola ini diulang hingga akhir sholat, menciptakan ritme harmonis antara ibadah dan pengagungan kepada Nabi.

Suara sholawat yang sahut menyahut menambah suasana sakral sekaligus memompa semangat. Apalagi suara anak-anak dan remaja yang melambung tinggi memekikkan sholawat. Dengan cara ini, sholat Tarawih menjadi kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah sekaligus mengingat jasa Nabi sebagai sang pembawa risalah.

Du’a Da’a Maulid Nabi

Sebagai wujud kecintaan kepada Baginda Nabi, orang Gorontalo mengistimewakan bulan kelahiran Nabi dengan berzikir. Menurut Funco, memasuki bulan Maulid, atau tepatnya tanggal 12 Rabiul Awal yakni hari kelahiran Baginda Nabi. Selama sebulan, dikili dilantunkan dari masjid ke masjid. Pada hari pertama dipusatkan di masjid besar Kota/ Kabupaten atau Kecamatan/ Kelurahan/Desa, setelah itu baru digelar di masjid-masjid yang menyelenggarakannya.

Dikili saat bulan Maulid dilantunkan sepanjang malam, mulai dari setelah sholat Isya hingga pagi hari. Dikili memakan waktu sekitar 10 – 12 jam dengan jumlah pedikili yang ramai.

Dikili mengisahkan perjalanan hidup Baginda Nabi. Jadi, karena ada nama lokalnya, maka tentu saja Salawati telah lama dijadikan tradisi oleh masyarakat Gorontalo. Sejak kapan? Ya sejak dahulu kala. Sejak Islam masuk ke Gorontalo. (Funco Tanipu 2024).

Sebagaimana dirilis gorontaloprov.go.id. Dalam perayaan maulid, warga sibuk menata walima di tempat yang disebut tolangga. Keranda tempat menata kue kue tradisional. Biasanya terbuat dari bilah kayu atau bambu dengan bentuk menara, masjid, atau perahu. Kue kue tradisional seperti kolombengi, sukade, wapili, telur rebus diisi dalam plastik dan disusun menyesuaikan bentuk tolangga.

Zaman yang berubah membuat walima mengalami modifikasi. Beberapa hiasan tolangga ditambah dengan kopi sasetan, makanan ringan kemasan, mie instan dan sebagainya.  Wadah anyaman daun kelapa juga telah berganti dengan wadah plastik.

Tolangga yang sudah jadi, diarak dari rumah rumah warga menuju masjid di mana dikili sedang berlangsung. Tolangga menyatu dalam do’a-do’a sebagai bentuk syukur warga atas lahirnya Nabi Terakhir Muhammad SAW, 14 abad lalu. Sosok agung yang menjadi utusan Tuhan sekaligus teladan bagi umat muslim. Itu sebab, perayaan maulid biasa juga dinamakan “du’a da’a” atau do’a akbar.

Warga dan jamaah masjid antusias menanti puncak acara maulid. Pembagian tolangga kepada peserta dikili, baik yang sungguh-sungguh berzikir maupun penggembira, yang ketika sholat subuh curi-curi waktu tidur sebentar.

Pada beberapa masjid, pembagian tolangga tampak ricuh. Jamaah saling berebut. Tapi ini dianggap tidak mengapa. Menurut Aba Danggu, bukan soal kue atau makanan ringan, tetapi berkah yang menyatu dalam makanan itu yang diperebutkan jamaah.

Julukan Faktual

Falsafah adat bersendikan syara’ dan syara’ bersendikan kitabullah disebut-sebut sebagai falsafah yang dipancangkan oleh Raja Eyato. Falsafah ini juga ditemukan di Minangkabau. Sehingga terjadi “ketegangan” di kalangan pemerhati budaya dan akademisi. Ada yang menyebut Gorontalo meng-copy-paste dari Minangkabau. Ada pula yang menuduh sebaliknya.

Selain falsafah adat tersebut, muncul pula julukan “Gorontalo Serambi Madinah,” “Gorontalo Kota Madrasah,” “Kabupaten Gorontalo Madinatul Ilmi”.

Meskipun slogan-slogan ini menggambarkan cita-cita luhur, banyak yang berpendapat bahwa implementasinya masih jauh panggang dari api. Tak lebih sebagai pemanis politik. Walhasil, serambi madinah terkadang dipelesetkan menjadi serambi Manado. Kota madrasah hanya berakhir pada laporan hasil penelitian. Kota madinatul ilmi hanya sebatas slogan yang terpampang di ujung jembatan dekat Markas partai Kuning bundaranLimboto.

Dalam konteks ini, penting untuk mengangkat tradisi Mongadi Salawati yang membumi ini sebagai julukan Gorontalo. GORONTALO NEGERI BERSHOLAWAT. Ini Faktual. Ini sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga tak ada lagi debat di dalamnya. Tak ada keraguan padanya.

Gorontalo, 27 Ramadhan 1446 H

Dr. Momy Hunowu, M.Si

Dosen Sosiologi IAIN Gorontalo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup