Habis Gelap Ada yang Belum Terang: Kartini, Emansipasi dan Ilusi Kolonial
“Ibu Kita Kartini, putri sejati, wanita yang mulia dan harum namanya.”
Begitulah yang terpatri di benak para anak-anak sekolah. Lagunya kerap didendangkan, hari lahirnya ditetapkan sebagai emansipasi wanita dan kiprahnya dijadikan patokan gerakan perempuan di Indonesia. Setiap tanggal 21 April, Kartini dan narasi tentangnya dilantangkan kembali. Kalau anda hidup dan sudah bisa memahami situasi pada masa orde baru, maka tanggal 21 April akan anda rasakan sebagai hari serba Kartini. Wanita berkebaya datang di acara-acara kantor, spanduk ‘Habis Gelap Terbitlah Terang” membentang di mana-mana.
Namun dalam terang ketika habislah gelap itu, terbitlah satu pertanyaan, mengapa Kartini? Betulkah ia tonggak awal gerakan perempuan di Indonesia? Kalau memang Kartini, apakah ia dianggap pejuang emansipasi hanya karena surat-suratnya yang menunjukkan keresahan atas nasib perempuan Indonesia yang dikerangkeng adat-istiadat dan dikungkung budaya patriarki. Atau adakah selubung narasi kolonial yang menutupi sejarah perjuangan perempuan Indonesia yang lebih kompleks?
Kartini memang sosok istimewa. Lahir dari keluarga priayi Jawa, ia punya akses ke pendidikan Barat, satu hal yang langka bagi perempuan bumiputra kala itu. Ia merangkai surat-surat yang menggugah kepada teman-teman Belandanya. Surat yang kemudian digambarkan sebagai bentuk perlawanan perempuan terhadap nasib mereka yang terpenjara budaya patriarki.
Namun persis dalam keistimewaannya, terutama di mata Belanda, itulah, terselubung kepentingan kolonial. Dalam “Appropriating Kartini: Colonial, National and Transnational Memories of an Indonesian Icon,” para penulis menggambarkan Kartini menjadi subjek dari sebuah proyek besar bernama Etische Politiek—politik etis Belanda yang ingin menampilkan kolonialisme dalam wajah yang manusiawi. Penerbitan surat-surat Kartini oleh J.H. Abendanon pada 1911 dalam Door Duisternis tot Licht adalah salah satu cara untuk memenuhi kepentingan itu. Surat yang kemudian terbit dengan judul yang kita kenal dengan ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ menunjukkan Kartini sebagai ikon—perempuan Jawa yang tercerahkan berkat nilai-nilai Barat.
Proyek kolonialisme etis bukan sekadar strategi politik agar bangsa Indonesia melihat sisi kemanusiaannya semata, tapi juga upaya menggenggam pikiran dan membentuk memori kolektif. Seperti dicatat Rudolf Mrázek dalam “Engineers of Happy Land” (2002), kolonialisme tak hanya menguasai tanah, tapi juga mengatur cara orang berpikir dan mengingat masa lalu. Kartini dijadikan narasi yang “aman”—tidak mengancam tatanan kolonial, tetapi malah menunjukkan proyeksi yang diidealkan oleh penjajah. Dalam narasi tentang Kartini ini, keinginan penjajah tentang perempuan yang merdeka, bebas, tidak terkekang adat, dibentuk menjadi keinginan Kartini. Keinginan Kartini akan kebebasan perempuan tampak sejalan dengan hasrat kolonial yang ingin menciptakan figur perempuan bumiputra yang terdidik, patuh, dan kompatibel dengan cita-cita modernitas kolonial, Ungkapan Lacan (1997), entah pas atau tidak, saya coba gunakan untuk menggambarkan itu, “man’s desire is the desire of other”.
Narasi Kartini yang bisa menggambarkan hasrat kolonial semacam itu tidak mungkin kita temukan dalam sosok Malahayati yang mengangkat pedang, tidak pula pada Martha Christina Tiahahu yang melawan Belanda dengan menyabung nyawa, atau Cut Nyak Dhien yang berdiri gagah sebagai panglima. Mereka terlalu radikal, terlalu membahayakan. Tak ada ruang untuk perlawanan seperti itu dalam imajinasi kolonial. Padahal apa kurangnya ketiga perempuan itu untuk disebut sebagai penggerak perempuan nusantara? Mereka adalah perempuan yang secara diam-diam diakui oleh Belanda sebagai ‘the grootes dames’ (perempuan-perempuan yang agung). Malahayati, misalnya, laksamana perempuan pertama Indonesia dari Aceh. Ia perempuan pembelajar, cerdas, berani, kuat dan laksamana yang memimpin perang di laut.
Kartini kemudian menjadi pilihan. Ia memang lebih pas untuk kepentingan politik etis kolonial. Kartini menjadi, seperti kata Elsbeth Locher-Sholtern (2000)“the darling of the dutch orientalist”. Kalimatnya dalam surat-surat yang menunjukkan kekaguman pada kebebasan perempuan barat, wanita yang ingin bebas dan setara dinarasikan terus menerus. Seperti suratnya bertanggal 20 Mei 1899 ini:
“Aku sungguh ingin mengenal seseorang yang kukagumi, perempuan yang modern dan independen, yang melangkah dengan percaya diri dalam hidupnya, ceria dan kuat, antusias dan punya komitmen….Keinginanku untuk berada di zaman baru seperti itu sungguh panas bergelora.”
Namun narasi kolonial hanya memunculkan sosok Kartini sebagai pejuang emansipasi pada sebagian pikiran dan sikapnya. Ia tidak dimunculkan secara utuh oleh narasi kolonial itu. Pikiran radikalnya, sikapnya yang tidak setuju dengan kolonialisme ditutupi dengan narasi berbeda. Kata-kata Kartini yang mencerminkan perlawanan seperti dikutip Armyn Pane, ditutup rapat-rapat:
“…dan masih juga sejumlah orang Belanda mengumpati Hindia (orang Indonesia) sebagai ladang kera yang mengerikan. Aku naik pitam jika mendengar umpatan “Hindia yang miskin”. Orang mudah sekali lupa kalau negeri kera yang miskin ini telah mengisi penuh kantong mereka yang kosong dengan emas…”(Pane, 2004).
Kita generasi saat ini juga tidak pernah betul-betul bisa mengetahui secara jelas bagaimana pengaruh KH Saleh Darat, seorang ulama nusantara yang pernah mengajar RA Kartini. Padahal, pemeo “habislah gelap terbitlah terang,” istilah Kartini yang populer itu dan kemudian menjadi judul buku dari kumpulan surat-suratnya, disebut-sebut terinspirasi dari ajaran KH Saleh Darat. Kata itu muncul setelah Kartini sering mendengarkan petuah KH Saleh Darat tentang mina dzulumati ilan nur.
Mungkin kita harsus setuju dengan pandangan Vissia Ita Julianto (2006) bahwa Kartini adalah anak yang menawan hati orang-orang Barat dan karenanya dibesarkan, tetapi sekaligus dihancurkan. Pandangan Kartini tentang kebebasan perempuan dengan cara melawan tradisinya dirawat baik-baik, sebaliknya perlawanan balik Kartini pada nalar imperialisme justru dibungkam. Estella salah satu teman bersurat Kartini diam-diam mengakui itu dengan getir. Katanya dalam suratnya ke Nellie van Kol:
“…sungguh sakit rasanya untuk berpikir bahwa kehidupan yang begitu indah dam menjanjikan telah dikorbankan dengan gagasan yang egoistis. Menurut almarhum tuan van Overvelt, dia dikorbankan untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.” (Cote, 1977)
***
Memuja Kartini tanpa menggali konteks kolonial yang mengitarinya adalah jebakan pasca kolonial . Kita diam -diam akan terus menjadi pemuja pikiran ideal penjajah tentang perempuan pribumi. Narasi Kartini harus kita rebut dan ia mesti tampil dengan sosok yang utuh. Ia mengkritik budaya patriarki, tapi juga mengecam kolonialisme. Ia mengagumi kemajuan Barat, tapi tetap berakar pada tradisi intelektual bangsanya. Ia putri sejati, perempuan yang mulia, karena tidak sekadar menyerukan suara kaumnya yang terpenjara, tetapi ia berteriak atas penjajahan bangsa yang dicintainya.
Lebih penting lagi, sejarah perempuan di Indonesia tidak bisa direduksi menjadi kisah satu tokoh, melainkan merupakan sejarah kolektif yang melibatkan banyak perempuan dari berbagai kelas dan latar budaya, juga dari berbagai aktivitas; ada yang berjuang di dapur, di medan perang, di ladang, di meja tulis, dan di ruang pengasingan. Hari Kartini seharusnya tidak berhenti pada nostalgia dan parade busana adat. Ini harus jadi momen untuk membongkar ulang narasi sejarah yang timpang—membuka ruang bagi suara perempuan yang tersingkir, dan menegaskan bahwa emansipasi bukan hadiah dari kolonialisme, melainkan hasil perjuangan panjang yang sering kali berdarah-darah, bukan hanya satu, tetapi selaksa perempuan Indonesia.
Oleh : Ijhal Thamaona memiliki nama lengkap Dr. Syamsurijal Adhan, S.Ag., M.Si adalah Peneliti Khazanah Agama dan Peradaban di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)