Halal Bi Halal: Silaturrahmi Yang Membentuk “Kita”
Setiap lebaran tiba, ada satu momen yang selalu kita tunggu dengan antusias: Halal Bi Halal. Di banyak keluarga muslim Indonesia, tradisi ini berarti keliling dari rumah ke rumah, bersalaman, dan menyantap hidangan yang sensasi rasanya tak pernah gagal. Tapi lebih dari itu, ada suasana hangat yang selalu hadir: perasaan diterima kembali, (setelah) apapun yang terjadi sebelumnya.
Tradisi ini bermula dari Kyai Wahab Hasbullah, yang menawarkan istilah “Halal Bi Halal” kepada Bung Karno sebagai cara menyatukan kembali bangsa yang terpecah usai Agresi Militer Belanda. Sejak itu, ia menjadi bagian dari kehidupan nasional, melampaui sekat agama, kelas sosial, dan bahkan ideologi. Di kantor-kantor pemerintah, sekolah, hingga komunitas diaspora Indonesia di luar negeri, Halal Bi Halal terus hidup.
Halal Bi Halal adalah pesan budaya yang terus-menerus dikodekan dan dibaca ulang. Ketika Kyai Wahab dan Bung Karno pertama kali memakainya, ia adalah isyarat rekonsiliasi—usaha menyatukan yang retak. Namun pesan itu kemudian dibaca secara berbeda oleh tiap generasi. Bagi sebagian orang, ia adalah bentuk ibadah sosial. Bagi yang lain, ia adalah ruang pertemuan yang penuh basa-basi. Dan bagi sebagian yang lain lagi, ia menjadi rutinitas simbolik yang diikuti tanpa banyak bertanya.
Di kalangan keluarga, ia jadi ajang saling maaf dan mempererat ikatan darah. Di lingkungan pemerintahan, ia bisa menjadi momen rekonsiliasi simbolik, kadang juga panggung pencitraan. Di organisasi keagamaan, ia bisa dimaknai sebagai ruang konsolidasi atau unjuk kekuatan. Dan di komunitas lintas iman, ia tumbuh menjadi jembatan dialog dan pertemuan budaya.
Semua itu sah. Karena Halal Bi Halal memang lentur. Ia bisa dibaca ulang, ditafsir ulang, disesuaikan dengan kepentingan masing-masing. Tapi justru karena itulah ia bertahan. Tradisi ini hidup karena ia tidak memaksa satu makna tunggal. Ia membiarkan orang membacanya sesuai konteks mereka, tapi tetap mengarah pada satu tujuan: menyambung yang sempat terputus dan mempertebal ikatan yang mungkin menipis.
Bagi saya pribadi, Halal Bi Halal adalah cara kita merawat kebersamaan dalam keragaman. Ia bukan hanya praktik keislaman, tapi praktik kebangsaan. Di tengah dunia yang gampang terbakar oleh perbedaan tafsir, Halal Bi Halal mengajak kita untuk duduk, bukan debat; menyapa, bukan mencurigai. Ia adalah bentuk moderasi yang tumbuh dari kebiasaan, bukan teori. Dari laku, bukan retorika.
Di ruang ini kita belajar bahwa menjadi bagian dari bangsa ini bukan soal menyamakan semua hal. Tapi soal menyediakan ruang bagi beragam makna untuk tetap bisa duduk bersama. Halal Bi Halal mengajarkan itu, dari ruang tamu rumah-rumah kecil, sampai aula megah tempat para tokoh bersalaman.
Lewat Halal Bi Halal, kita merasakan menjadi Indonesia bukan karena simbol-simbol besar, tetapi karena hal-hal kecil: kue lebaran yang dibawa ke tetangga, salam dari kolega lintas agama, panggilan reuni di café, atau undangan dadakan ke rumah guru yang lama tak ditemui. Ia adalah momen di mana agama, budaya, dan kebangsaan bercampur dalam satu ruang yang cair.
Tentu saja, tidak semua luka sembuh dengan berjabat tangan. Tidak semua konflik usai dengan “maaf dan batin”. Tapi mungkin Halal Bi Halal tak pernah berniat menyelesaikan semuanya. Ia tidak menyimpan janji besar, tapi menawarkan jembatan kecil. Ia bukan solusi struktural, tapi ruang batiniah tempat kita belajar memahami, meski sejenak, bahwa hidup bersama itu bukan tentang kesamaan, tapi tentang keberanian untuk saling sapa.
Dan mungkin di sanalah kekuatan Halal Bi Halal—dalam kesederhanaannya, dalam simbolismenya yang diam-diam, ia terus membentuk kita. Tahun demi tahun, salam demi salam. Seperti Indonesia itu sendiri: tidak sempurna, tapi terus kita rawat bersama.
Oleh : Pepy Albayqunie (Seorang pecinta kebudayaan lokal di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)