Ila Binte; Benteng Pertahanan Saat Berpuasa

Makan nasi jagung (ila binte) terasa seperti mengarak induk kambing dan anaknya melintasi sungai. Beraaat. Apalagi saat makan sahur. Rasanya seret di leher. Butuh perjuangan untuk menyelesaikan sepiring nasi. Tersendat-sendat. Orang kampung menyebutnya “dila morodawa”. Berbeda ketika mengkonsumsi nasi beras. Terasa licin di tenggorokan, meluncur bagai mobil keluaran terbaru yang melintasi jalan tol.

Nasib Petani Jagung

Branding Gorontalo sebagai produsen jagung nasional telah merubah pola produksi dan konsumsi masyarakat. Di mana-mana tampak hamparan jagung. Di lahan, pekarangan, daerah berbukit dan lereng gunung. Sayangnya bukan untuk dikonsumsi. Lihat… puluhan truk dan mobil pick up penuh muatan karung jagung, antrian masuk ke gudang-gudang penampungan milik pengusaha kaya.

Tak sebutir jagung tertinggal di rumah. Jagung hibrida tak bisa disimpan lama. Diserang hama kutu. Kualitasnya menurun, harganya anjlok. Berapapun harganya saat panen, wajib dijual. Ada yang mencoba menyimpan dan menunggu harga naik, kualitas jagungnya memburuk, akhirnya dijual murah.

Sepulang menjual jagung ke gudang penampungan, pak tani menggenggam puluhan juta. Sayangnya hanya beberapa saat. Ya sudah. Minimal sudah pernah pegang uang puluhan juta. Di foto, dipampang di medsos, “Itu sudah cukup membahagiakan”. Batin pak tani. Biaya produksi ternyata sangat mahal.

Lembaran demi lembaran uang merah hasil jerih payah 4 bulan itu berpindah ke tangan pengusaha yang meminjamkan pupuk, bibit, pestisida, dengan perjanjian dibayarkan saat panen. Belum lagi bayar upah pekerja dsb. Kebutuhan rumahtangga jadi nomor terakhir. Tersisa puing-puing rupiah.

Gagal panen lebih mencekik. Petani tak bisa bayar hutang, oleh pedagang malah ditambah hutang untuk biaya produksi lagi. Modusnya membantu petani, pada akhirnya lahan sang petani menjadi miliknya. Terpaksa lahan itu dijual pak tani. Untuk menutupi hutang yang berlipat-lipat. Jadilah pak tani menjadi buruh di lahannya sendiri. Sungguh memilukan.

Perubahan Pola Konsumsi

Sejak program agropolitan bergulir, segalanya berubah (Hunowu, 2021). Tanam jagung bukan untuk dikonsumsi. Jagung dijual untuk membeli beras. Faktanya, nasi jagung tak lagi diminati sebagai makanan sehari-hari. Nasi jagung dianggap sebagai makanan orang kampung.

Parahnya lagi, jagung dinarasikan sebagai makanan ternak, sebagaimana kehebohan pada kampanye gubernur beberapa tahun silam. Meski sang calon tak menang, stereotip ini berhasil merubah pola konsumsi. Keunggulan nilai gizi nasi jagung menjadi terabaikan.

Pada akhir episode kehidupan, menu nasi jagung menjadi pilihan terpaksa, setelah divonis dokter mengidap penyakit gula. Penyakitnya manis, betapa pahit penderitaannya, mengerikan. Pasien gula makin bertambah.

Nasi beras ternyata mengandung gula tinggi. Pilihan ada pada kita, mau terus makan beras dengan resiko gula tinggi, atau kembali makan nasi jagung dengan stereotip kampungan. Tak apalah, asalkan tidak dikerubuti semut, lantaran manis bergula.

Benteng Penunda Lapar

Akar kata binte dari kata bintengi, yang berati benteng. Jadi sebenarnya jagung merupakan benteng ketahanan pangan, sekaligus menjadi benteng perlawanan terhadap penyakit. Para leluhur (mongo panggola) menanam jagung sebagai pilihan pangan karena dua alasan. Pertama, jagung bisa dipanen muda. Langsung dapat dikonsumsi dengan cara dibakar atau direbus. Diolah jadi nasi, bubur dan banyak ragam kuliner turunannya.

Bagaimana dengan padi? Masa panennya sekali. Tak langsung bisa dijadikan nasi. Harus digiling. Beras hanya bisa dijadikan bubur dan nasi. Tak ada beras bakar, apalagi padi rebus. Selebihnya, kandungan gulanya yang kaya, yang mengancam kesehatan.

Alasan kedua, makan nasi jagung kenyangnya awet. Terutama bagi pekerja berat, perbedaannya sangat terasa. Makan nasi beras memang licin di leher tetapi cepat diserang lapar. Bandingkan dengan sepiring ila binte. Bisa bertahan sehari. Sangat cocok dikonsumsi saat makan sahur.

Itu sebab, sebagian umat muslim Gorontalo, terutama di wilayah pedesaan, makan sahur dengan ila binte. Mereka mengaku kenyangnya awet “dila ngo’inta polangolo”. Lebih baik berjuang tersendat-sendat menelannya dari pada berjibaku tersendat-sendat beraktivitas karena menahan lapar.

Apalagi menelan nasi jagung hibrida, teksturnya keras setelah dingin, rasanya agak hambar. Perjuangannya dua kali tambah berat dibandingkan dengan nasi jagung lokal. Untuk mengatasinya, sebagian warga mencampur dengan beras (ila u’ulauwa).

Pasangan lauknya nikmatnya tiada dua; “pilitode lo maluo” (santan ayam kampung). Benar-benar pasangan yang serasi. Untuk menambah sensasi rasa lezat, ada yang menambahkan potongan pisang pagata muda. (tapi-tapi lo epa’o lambi). Terasa bingits sensasi nikmatnya, baik waktu makan, maupun saat menghisap satu persatu jemari setelah makan. Demikianlah. Ila Binte menjadi pilihan berat untuk menunda lapar selama sehari berpuasa.

Hunowu, M. A., Tamu, Y., Obie, M., & Pakuna, H. B. (2021). Modernization and Shifting Practices of Local Wisdom on Corn Farming in Gorontalo Province Modernisasi dan Pergeseran Praktik Kearifan Lokal pada Pertanian Jagung di Provinsi Gorontalo.

Jurnal Sodality, 09(02), 1–15. https://doi.org/10.22500/9202134694

Oleh: Dr. Momy Hunowu, M.Si (Dosen Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Gorontalo)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup