Inhides Menanggapi Surat Edaran Pemda Kabgor dan Gorut. Dinilai Diskriminatif dan Cederai Demokrasi

Ilustrasi

Bakukabar.id, Gorontalo – Kebijakan Pemerintah Kabupaten Gorontalo (Kabgor) dan Gorontalo Utara (Gorut) dinilai diskriminatif dan mencederai prinsip demokrasi setelah adanya Surat Edaran (SE) terkait pelarangan Waria dan Biduan dalam kegiatan keramaian dan hiburan rakyat .

Dalam rilis resmi yang diterima bakukabar.id, Kamis (15/5/2025), Institue for Human and Ecological Studies (Inhides) menyatakan, bahwa dalam SE No.800/BKPB/76/IV/2025, yang diterbitkan Pemerintah Kabgor pada 25 April 2025 dan SE Pemerintah Gorut No.800/Kesbangpol/114IV/2025, dinilai telah menambah deretan kemunduran demokrasi di tingkat lokal, khususnya pada aspek kebebasan berekspresi dan hak untuk mendapatkan akses atas pekerjaan yang layak.

“Kebijakan ini merupakan sinyal kuat, bahwa pemerintah daerah sedari awal tidak memiliki keberpihakan kepada masyarakat yang berbeda dengan standar moral tertentu yang dianut pemerintah. Bagi pemerintah, seluruh aktivitas waria (transpuan) dan biduan dianggap “menyimpang” sehingga perlu diawasi dan bahkan dibatasi di ruang publik”, tulis Inhides dalam Rilis tersebut.

Kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo Utara ini menurut Inhides, tidak hanya mencederai prinsip demokrasi, namun sangat bermasalah dari aspek legalitas dan nilai hak asasi. Di samping itu, surat edaran ini justru merupakan legitimasi praktik diskriminasi dan kekerasan struktural bagi warga negara. Setidaknya dua hal yang mendasari argumen ini. Pertama, di hadapan negara hukum yang demokratis, seluruh kebijakan umum yang berdampak luas selalu berdiri atas dasar hukum.

“Hukum yang dimaksud adalah seluruh instrumen peraturan perundang-undangan yang diamanatkan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011. Artinya, kebijakan pemerintah, termasuk pemerintah daerah, tatkala membuat sebuah kebijakan harus sesuai dengan undang-undang dan wajib menghormati hak fundamental yang melekat pada setiap manusia”, tulis Inhides.

Inhides menilai, Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo Utara membuat sebuah kebijakan melalui surat edaran yang, dalam asas legalitas, bukanlah sebuah bentuk kebijakan hukum yang mengikat alih-alih melarang. Selain asas legalitas, penyelenggaran kebijakan administrasi haruslah berdiri pada asas perlindungan terhadap hak asasi manusia dan asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) sesuai dengan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

Dengan demikian, secara administrasi negara, kedudukan surat edaran tersebut dianggap hanya berfungsi sebagai dokumen administrasi teknis yang memuat instruksi tertentu dalam sebuah instansi, dan atau jika memang terjadi sebuah keadaan darurat yang membutuhkan respon cepat, maka surat edaran dapat digunakan bukan sebagai undang-undang yang memiliki karakter larangan dan sanksi, namun berisi imbauan.

“Telah melangkah secara jauh dengan melarang hak konstitusional warga negara. Padahal, instrumen hukum kita telah sangat jelas melindungi setiap orang untuk: berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (pasal 27 ayat (2) UUD), Hak untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia (Pasal 28c ayat (2) UUD 1944)”, terang Inhides.

Di samping itu, lanjut Inhides, apa yang telah dijamin oleh UUD terkesan diserobot oleh Pemerintah Kabupaten Gorontalo dan Kabupaten Gorontalo Utara, surat edaran ini juga secara jelas melanggar hak sipil dan politik yang tertuang pada UU Nomor 12 Tahun 2005, khusunya tentang hak untuk Hidup, hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi, dan hak untuk tidak mendapatkan diskriminasi baik jenis kelamin, orientasi seksual, agama, kepercayaan, dan status sosial.

“Sebagai bagian dari penghormatan hukum dan demokrasi, hak dan kewajiban adalah dua hal yang berbeda. Hak berkaitan dengan nilai yang tidak dapat direbut dan diambil atas dasar apapun, sementara kewajiban melekat pada setiap orang yang seharusnya dalam kehidupan sosial dapat mematuhi norma dan etika”, papar Inhides.

Lembaga Penelitian lingkungan dan Kemanusiaan tersebut menyampaikan, jika seorang individu melanggar kewajiban yang merugikan orang lain, maka individu tersebut haruslah dihukum atau di sanksi bukan karena latar belakang jenis kelamin, gender, agama, kepercayaan, atau kelompok, tapi karena dia secara individu telah merugikan orang lain dengan bertentangan terhadap hukum yang berlaku.

“Dalam konteks ini, jika ada individu waria dan biduan yang melanggar hukum sesuai rasionalitas hukum, dan pelanggaran itu telah terbukti secara sah melalui pengadilan, maka yang bertanggungjawab sepenuhnya adalah individu tersebut dan tidak terikat pada setiap perbedaan yang ada”, tegas Inhides.

Terkait hal itu,  Institue for Human and Ecological Studies (Inhides) mendesak pemerintah agar segera:

  1. Mencabut Surat Edaran No.800/BKPB/76/IV/2025 tentang Larangan Kegiatan Keramaian Hiburan Rakyat dan Hajatan Pesta yang melibatkan Waria, Biduan, Alkohol, Narkoba dan Judi
  2. Menjamin ruang aman bagi setiap orang dan setiap kelompok dengan berbagai bentuk ekspresi di ruang publik sebagai bagian penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia.
  3. Menjamin hak atas pekerjaan yang layak, adil, dan berpihak pada prinsip negara hukum dan demokrasi.
  4. Melibatkan secara aktif waria (transpuan) dan biduan dalam setiap proses pengambilan keputusan yang menyangkut hajat hidup mereka.
  5. Menghentikan segala bentuk kriminalisasi, kekerasan, dan persekusi berbasis gender, termasuk penyalahgunaan kebijakan dengan dalih ‘menjaga ketertiban umum.
  6. Menghapus stigma dan stereotipe negatif terhadap waria dan biduan.

Editor : Djemi Radji

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup