Jangan Bubarkan DPR: Demokrasi Bukan untuk Dimatikan
Oleh: Ahmad Takbir Abadi
Di tengah hiruk-pikuk politik dan kekecewaan publik yang semakin memuncak, satu seruan terus menggema: “Bubarkan DPR!” Teriakan ini bergaung di media sosial, jalanan, hingga warung kopi. Kemarahan rakyat memang nyata.
Korupsi, skandal, kebijakan yang jauh dari kepentingan publik, serta wakil rakyat yang sibuk mengurus kepentingan kelompoknya sendiri membuat banyak orang muak.
Namun, benarkah membubarkan DPR adalah jawaban?
Membubarkan DPR bukanlah langkah berani. Itu justru bentuk bunuh diri politik, keputusan gegabah yang akan melempar bangsa ini kembali ke kegelapan sejarah. Tanpa DPR, siapa yang menjadi penyeimbang kekuasaan? Siapa yang mengawal anggaran dan memastikan undang-undang tidak dibuat semena-mena? Hilangnya DPR berarti suara rakyat dihapus, kekuasaan terpusat pada segelintir orang, dan ketika itu terjadi, demokrasi resmi mati.
Sejarah pernah mencatat. Tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan DPR lewat dekrit dan menggantinya dengan DPR Gotong Royong yang anggotanya ditunjuk langsung oleh presiden. Rakyat kehilangan wakilnya, suara teredam, dan negara masuk ke era otoritarianisme. Apakah kita ingin mengulang kesalahan itu?
Kekecewaan terhadap DPR hari ini memang beralasan. Rakyat geram melihat anggota dewan sibuk memperdebatkan gaji dan fasilitas, sementara masyarakat kesulitan menghadapi harga kebutuhan pokok yang melambung. Kita muak melihat mereka tidur di ruang sidang, absen saat rakyat menjerit, tetapi tampil manis ketika kamera menyorot. Namun, solusi bukanlah membakar rumah hanya karena membenci penghuninya.
Membubarkan DPR sama artinya dengan merobek fondasi demokrasi yang dibangun dengan darah dan air mata. Reformasi 1998 lahir untuk menolak kekuasaan absolut. Jika kini seruan pembubaran DPR digaungkan, maka yang terjadi bukan perbaikan demokrasi, melainkan penguburan demokrasi itu sendiri.
Yang harus dilakukan adalah memperbaiki, bukan menghancurkan. Bersihkan DPR dari pengkhianat mandat rakyat. Dorong reformasi sistem pemilu agar wakil rakyat benar-benar lahir dari suara rakyat, bukan uang cukong. Kawal transparansi, perkuat pengawasan publik, dan paksa para legislator bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi.
Demokrasi memang berisik, penuh perdebatan dan pertengkaran yang melelahkan. Tetapi itulah harga kebebasan. Negara tanpa kebisingan politik bukanlah negara damai, melainkan negara yang dibungkam. Seruan “bubarkan DPR” hanyalah jebakan berbahaya yang bisa dimanfaatkan mereka yang haus kekuasaan.
Ironisnya, orang-orang yang paling keras meneriakkan “bubarkan DPR” sering berharap kekuasaan jatuh ke tangan sosok yang sama rakusnya. Mereka marah pada tikus di parlemen, tetapi rela menyerahkan kunci rumah kepada ular berbisa. Jika itu terjadi, rakyat bukan hanya kehilangan DPR, tetapi juga kebebasan, suara, dan masa depan.
Karena itu, jika benar mencintai negeri ini, lawanlah frustrasi dengan keberanian yang lebih sehat: berani mengkritik, mengawasi, memilih dengan bijak, dan mengusir pengkhianat demokrasi lewat kotak suara. Membubarkan DPR bukan solusi—itu jalan menuju tirani.