Jejak Cengkeh, Luka Petani, dan Cahaya Gus Dur dari Masa Lalu

Rizki, seorang petani cengkeh Kabupaten Bolsel sedang membersihkan kebun miliknya dari rumput liar

Penulis: Apriyanto Rajak –  (seorang petani, nelayan dan pemain sepak bola amatir)

Di penghujung Agustus 2025, saya bersama Rizki memutuskan untuk bekerja sama menyelesaikan pekerjaan di kebun masing-masing. Kebetulan kebun milik kami berdua tidak terlalu berjauhan. Adapun jarak dari kampung bisa diasumsikan dengan waktu tempuh 15 menit menggunakan sepeda motor. Lokasinya berada di pegunungan Landaso, Kecamatan Bolaang Uki, Kabupaten Bolsel.

Pagi itu pekerjaan dimulai di kebun milik sahabat saya dengan membersihkan rumput setinggi paha orang dewasa, yang sudah mengganggu pertumbuhan pohon cengkeh sebanyak 100 pohon miliknya. Setelah setengah hari bekerja, lalu bergeser di kebun saya untuk memetik buah cengkeh. Pada bulan ini memang adalah waktu panen cengkeh. Kalau berkaca pada 2024 lalu panen cengkeh dimulai sejak bulan Juni, sementara tahun ini diawali di bulan Agustus.

Secara umum, panen cengkeh dimulai dari bulan Juni hingga akhir tahun. Hal ini disebabkan cengkeh kadang kala tidak berbuah secara serentak. Sehingga masa panen pun dilakukan secara bertingkat. Untuk masa panen ini petani cengkeh perlu menyiapkan tangga dan jasa tenaga kerja untuk memetik buah cengkeh. Namun karena cengkeh tahun ini buahnya tidak banyak seperti tahun kemarin, maka saya memutuskan untuk memanen secara mandiri. Rizki cukup membantu mendirikan tangga serta memindahkannya.

Di sela-sela aktivitas pemetikan itu kami berdiskusi berkaitan dengan sejarah panjang perjalanan cengkeh di Indonesia hingga jatuh bangun soal harga. Khusus, di Kabupaten Bolsel, kebanyakan petani secara masif menanam cengkeh di mulai tahun 2000. Termasuk orang tua kami. Menurut sebagian besar petani, harga cengkeh mulai membaik di tahun itu setelah sebelumnya pernah mengalami masa-masa sulit.

***

Abdurrahman Wahid atau familiar dikenal Gus Dur bukan hanya memiliki tempat istimewa di kalangan petani cengkeh, rupanya harlah cucu pendiri NU itu berbarengan dengan panen cengkeh. Sebagaimana waktu panen yang sudah saya uraikan se belumnya. Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940. Meskipun umumnya diketahui harlahnya juga biasa diperingati 4 Agustus (tahun yang sama).

Setiap 4 Agustus atau 7 September menjadi momentum gerakan komunitas Gusdurian di berbagai daerah. Baik mengadakan forum diskusi hingga aksi di lapangan. Para pecinta Gus Dur ini merefleksikan pemikiran, gagasan dan gerakan untuk merespon setiap problem yang timbul. Mulai dari iklim demokrasi yang kian buruk, kerusakan alam dan lingkungan sampai kasus-kasus intoleransi yang terus terjadi. Selain itu ada juga gerakan penanaman pohon, pelatihan menulis keberagaman, aksi donor darah, dst.

Ada banyak sekali tema kegiatan yang diangkat para Gusdurian ketika memperingati harlah Gus Dur. Hal ini menandakan warisan yang ditinggalkan masih sangat relevan dengan kondisi sekarang. Sebab, sepengatahuan saya sosok yang lahir dari kultur pesantren ini begitu teguh memperjuangkan keadilan, kesetaraan dan penegakan hukum di Indonesia, terutama kepada mereka yang lemah dan terpinggirkan. Salah satu keberpihakan yang ditunjukkan Gus Dur adalah memberikan keadilan kepada petani cengkeh.

Cengkeh telah ada sejak ribuan tahun di Indonesia, yang akhirnya mencuri perhatian bangsa-bangsa asing, terutama Eropa di abad 16 untuk merantau ke tanah Maluku. Mula-mula menjalin kerja sama dengan para raja lokal — lalu berubah wujud menjadi kolonialisme. Selain sebagai rempah-rempah, dahulu kala, orang Eropa menjadikan cengkeh sebagai bahan utama pengawet alami makanan seperti daging dan buah-buahan, yang kemudian peranannya tergantikan sejak ditemukannya mesin pendingin pertama kali oleh ilmuan Scotlandia, William Cullem pada abad 18.

Belakangan lahir sebuah penemuan yang menandai semacam “kebangkitan kedua” cengkeh khususnya di Indonesia. Dikatakan bahwa: “Kretek adalah temuan seorang kreatif dari Kabupaten Kudus yang bernama Haji Djamhari. Kisahnya, Haji Djamhari yang menderita penyakit bengek mengoleskan minyak cengkeh sebagai langkah pengobatan. Lantaran merasa kondisinya membaik, maka ia memotong cengkeh menjadi bagian kecil-kecil dan mencampur dengan racikan tembakau.

Kretek… kretek… kretek.. Haji Djamhari berhasil, bengek tak kambuh lagi. Dan lebih dari itu, ia berhasil memadukan dua komoditas penting hingga terciptalah sebuah produk asli Indonesia bernama kretek.” (N. Wibisono & M. Yoandinas, 2014, hlm.12).

Seiring berjalannya waktu kretek mulai berkembang secara masif dan tentunya cengkeh merupakan salah satu bahan utama selain tembakau. Tidak hanya sebagai tanaman yang memiliki nilai sejarah, cengkeh juga memberikan dampak besar bagi ekonomi Indonesia. Disebutkan: “Setelah seperempat abad hanya berkembang dalam skala kecil usaha rumah tangga, produksi kretek akhirnya menjelma menjadi industri besar sejak awal abad-20 yang dirintis oleh

Haji Nitisemito (pendiri pabrik ‘Jambu Bol’) di Kudus dan Liem Seng Tee (pendiri pabrik ‘Dji Sam Soe’ dan ‘Sampoerna’) di Surabaya.” Topatimasang (dalam Puhut EA dkk. 2013, hlm.4).

Era BPPC

Saking bernilainya cengkeh, dari masa ke masa, tanaman yang memiliki nama latin Syzigium aromaticum itu selalu jadi rebutan mulai dari pra kemerdekaan hingga Indonesia merdeka 1945. Cengkeh mengalami fluktuasi dari waktu ke waktu sampai akhirnya mengalami puncak keterpurukan harga pada akhir orde baru atau era kepemimpinan Presiden RI ke-2, Soeharto.

Memang teramat menyedihkan apabila penulis melihat kembali apa yang pernah dilakukan Soeharto, ketika membentuk Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC). Terlebih ia menjadikan putranya, Tommy Soeharto, untuk memimpin lembaga tersebut. Lengkaplah sudah habitus nepotisme. Alhasil petani merasakan dampak buruk setelah hadirnya BPPC. Jerih payah petani yang dijaga dan dirawat selama bertahun-tahun seketika tak lagi berharga.

Apalagi secara regulasi BPPC dikuatkan dengan Keputusan Presiden Nomor 20 dan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1992. Pada akhirnya monopoli cengkeh terjadi. Lembaga itu kemudian mengendalikan komoditas cengkeh di Indonesia. Belakangan BPPC menjadi satu-satunya yang punya akses membeli cengkeh dari petani — melalui Koperasi Unit Desa (KUD) — lalu menjualnya ke pabrik-pabrik rokok kretek. Dengan kata lain, mereka bisa sesuka hati mengatur harga dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.

Praktek monopoli cengkeh dituliskan oleh Topatimasang (dalam Puhut EA dkk. 2013) menjelaskan “Nilai ekonomisnya yang sangat besar sempat menggoda penguasa otoriter rezim Presiden Soeharto, pada 1990-an, memberlakukan satu kebijakan ‘Hongi Gaya Baru’: monopoli perdagangan cengkeh dalam negeri melalui BPPC yang sangat merugikan petani.

Harga cengkeh di tingkat petani penghasil anjlok sampai hanya Rp 2.000 – 3.000 per kilogram, lebih murah dari sebungkus kretek yang dihasilkan darinya. Akibatnya, ratusan ribu pohon cengkeh di daerah-daerah penghasil utama — Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan — ditebangi atau dibiarkan terlantar tak terurus.” (hlm. 4).

Gus Dur Presiden

Gus Dur menjadi presiden RI keempat setelah terpilih melalui sidang MPR, yang waktu itu berhasil mengungguli perolehan suara Megawati Soekarnoputri. Ia memimpin Indonesia mulai 20 Oktober 1999 hingga 23 Juli 2001. Teramat singkat. Dilengserkan secara politis dan tipu muslihat yang maha tinggi. Walaupun periodenya pendek dan memimpin di era transisi orde baru ke reformasi, buktinya Gus Dur meninggalkan kemaslahatan besar bagi petani cengkeh yang terus dikenang hingga kini.

Era reformasi juga berdampak bagi petani cengkeh. BPPC yang mulanya menjadi biang keladi rusaknya harga cengkeh, akhirnya bubar bersamaan dengan runtuhnya rezim orde baru. Petani mulai menemukan senyumnya yang sempat hilang. Mereka bebas menjual cengkeh ke siapa saja dengan harga yang menguntungkan. Akhirnya tanaman yang harus menunggu 5 tahun untuk belajar berbuah itu kembali menjadi primadona.

Kenaikan signifikan harga cengkeh di masa pemerintahan Gus Dur, pernah diutarakan salah satu petani, seperti dilansir dari kompas.com yang terbit (5/1/2010), ‘harga cengkeh ketika Gus Dur menjabat Presiden RI naik drastis hingga mencapai Rp. 70.000 per kilogram. Padahal saat komoditas cengkeh tersebut masih berada di bawah kendali BPPC, setiap kilogram hanya dibayar dengan harga yang paling rendah Rp. 2.000.

Boy Palit, petani cengkeh di Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, mengatakan Gus Dur pembawa rezeki besar yang tak disangka bagi petani. Petani cengkeh di Minahasa nyaris kehilangan asa dan didera nestapa ketika pemerintah rezim orde baru menerapkan pembelian cengkeh melalui BPPC.’

Penulis mengira apa yang disampaikan Boy Palit, hanyalah sedikit gambaran sebuah harapan yang mulai tumbuh dari kalangan petani kala itu di saat harga cengkeh mulai merangkak naik. Gus Dur seperti memberikan penegasan bahwa kaum tani bisa mendapatkan hidup yang layak asalkan setiap pemimpin menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Sebab tidak ada lagi alasan bagi petani untuk tidak sejahtera, sementara sumber daya alamnya begitu melimpah.

Tidak berlebihan apabila menyebutkan ketika Gus Dur selesai menjabat sebagai orang nomor satu di Indonesia, harga cengkeh tidak pernah “sekarat” jika dibandingkan dengan periode BPPC, yang mengakibatkan banyak petani menebang, menjual dan menelantarkan kebun cengkeh miliknya — hingga banyak anak dari mereka yang putus sekolah efek dari keserakahan penguasa waktu itu.

Gus Dur rupanya menyadari betul kerugian skala besar yang dialami petani cengkeh adalah imbas kebijakan yang koruptif selama bertahun-tahun. Itulah sebabnya saat dipilih sebagai pemimpin tertinggi, ia mengetahui apa yang mesti diperbuat dan diperjuangkan sebagai kepala negara. Pada prinsipnya konsep kepemimpinan Gus Dur selalu berpihak kepada rakyat kecil yang kerap diabaikan pemerintah.

Kenyataan di atas barangkali menjadi pengingat bahwa hadirnya BPPC adalah salah satu catatan suram di republik ini. Sesuatu yang tidak boleh lagi terulang. Negara mesti sekuat tenaga mewujudkan kesejahteraan dan memastikan pemenuhan hak petani di Indonesia yang hingga kini masih terus menggantung: mulai dari pemberian pupuk subsidi yang tidak merata; pestisida dan pupuk non subsidi yang masih sangat mahal; kurangnya pelatihan guna meningkatkan produktivitas petani atau bagaimana cara mengantisipasi gagal panen; serta masih kerap terjadi permainan harga oleh tengkulak yang mengakibatkan kerugian dari pihak petani.

Semoga di hari lahir Gus Dur kali ini, para pemimpin kita akan terus berefleksi terhadap sesuatu hal positif yang pernah ditinggalkan para pemimpin terdahulu, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan petani. Dan Gus Dur telah menancapkan peta itu dengan sebaik-baiknya. Pemerintah mesti menyadari betul tanpa adanya kerja keras petani, negara takkan bisa memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya. Dan tanpa petani di pedesaan itu, masyarakat kota mustahil dapat mencicipi hasil perut bumi yang setiap hari memuaskan keinginan mereka.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup