Jemaat Ahmadiyah dan Ilusi Negeri Moderasi Beragama
Aneh bin ajaib. Kira-kira itu paling tepat untuk ditegaskan bagi bangsa yang katanya negeri penuh toleransi. Semua agama (6 agama), aliran kepercayaan dan pandangan keyakinan ada di negeri ini, beragam suku bangsa merupakan aneka kekayaan bangsa yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di seantero dunia.
Tapi sayangnya toleransi yang terbangun dalam diri sebagian masyarakat Muslim Indonesia adalah toleransi semu (pseudo tolerance). Hal itu bisa dibuktikan dimana-mana. Namun, tulisan ini akan lebih menyentil soal kasus diskriminasi atas jemaat Ahmadiyah di negeri ini.
Konsep moderasi beragama (MB) yang digagas oleh kementrian agama hanya sekedar proyek tahunan yang bisa berubah arah dan gerakan di masa-masa mendatang tergantung siapa pemimpin negeri ini. Sebuah konsep yang tidak menunjukan totalitas pendampingan dan pembelaan terhadap kelompok minoritas (internal).
Moderasi Beragama tidak memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang paradigmatik dan orientatif. Jika bisa disimpulkan, moderasi beragama adalah produk yang gagal jika mencermati beragam bentuk aksi diskriminasi dan penolakan terhadap keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia.
Dalam siaran pers SETARA institute yang dirilis pada tanggal 4 Februari 2023 yang menyatakan “Diskriminasi atas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) kembali mengalami eskalasi di beberapa tempat; di Kabupaten Sintang (Kalimantan Barat), Parakansalak Kabupaten Sukabumi (Jawa Barat), dan Kabupaten Gowa (Sulawesi Selatan).
Pada tanggal 26 Januari 2023, Forkopimda Sintang menerbitkan kesepakatan yang meminta Pemerintah Kabupaten Sintang agar menerbitkan Surat Edaran Bupati yang melarang kegiatan-kegiatan Ahmadiyah. Sementara, pada tanggal 2 Februari 2023, Forkopimda Sukabumi menyatakan akan menghentikan pembangunan dan menyegel tempat ibadah Ahmadiyah di Parakansalak.
Di tanggal yang sama, terpantau spanduk-spanduk penolakan kegiatan Ahmadiyah di beberapa titik di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.”
Jelas ini sungguh mengusik ketidakadilan yang dilakukan oleh oknum Forkopimda yang juga bagian dari pemerintah yang seharusnya memberikan perlindungan bagi rakyatnya, sebagaimana yang diperintahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 28E ayat (1) dan (2) serta Pasal 29 ayat (2).
Amanat presiden RI dalam sidang raya ke-9 GPDI di stadion Klabat Manado yang menegaskan tentang kebebasan beralih agama dan keyakinan serta kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha esa. Belum lagi penegasan Presiden R.I di depan sidang DPR, 15 Agustus 1974 yang menegaskan tentang pentingnya tenggang rasa dan tidak saling mengancam dan menakuti. (Baca: Kami Orang Islam, 2007, yang dikeluarkan oleh PB JAI).
Jama’at Ahmadiyah sudah berdiri sejak tahun 1925 di negeri ini yang diakui sebagai Badan Hukum oleh pemerintah sejak tahun 1953, cq menteri kehakiman RI tahun 1953. Oleh karena itu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (termasuk Forkopimda) termasuk masyarakat harus proaktif melindungi dan menjamin hak konstitusional bagi warga jemaat Ahmadiyah, alih-alih merestriksi dan mendiskriminasi mereka.
Perlu ditegaskan bahwa, negeri ini sudah sangat dewasa dalam melihat keberagaman atau perbedaan, namun yang sangat disesalkan adalah ketidakdewasaan sebagian warga masyarakatnya yang masih melakukan aksi kekerasan dan diskriminasi bagi jemaat Ahmadiyah. Apa kesalahan mereka, kalau mereka sesat tunjukan kesesatan itu dalam bidang aqidah? Atau jangan-jangan karena negeri ini masih sangat sedikit kesadaran literasinya sehingga seringkali narasi yang dituduhkan kepada Ahmadiyah dalam bentuk stigma negatif yang tidak jelas argumentasinya.
Alih-alih mengaku Muslim mayoritas, tapi keluhuran pekertinya (akhlaknya) masih jauh dari apa yang diinginkan oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Nabi saja tidak pernah menyakiti siapapun termasuk mereka yang kafir, kita justru yang bukan apa-apa (bukan Nabi dan Malaikat) yang belum tentu masuk surga, tapi sombongnya melebihi kesombongan sang Pencipta (Allah swt).
Bukankah warga Ahmadiyah adalah manusia ciptaan Tuhan, lantas mengapa kita sewenang-wenang dan tiada henti-hentinya melakukan diskriminasi, aksi sweeping, penolakan, pemurtadan, persekusi bahkan kriminalisasi kepada sesama saudara Muslim? Inilah mungkin yang patut direnungkan oleh kita bersama. Bangsa ini bukan Negara agama walaupun mayoritas penganutnya adalah Muslim.
Negara ini adalah Negara yang berasaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dimana semua penduduknya diakui dihadapan hukum dan bebas berekspresi dalam hal keyakinan, kepercayaan dan pandangan.
Pertanyaan mendasar yang perlu dilontarkan mengenai jama’at Ahmadiyah adalah apakah jama’at Ahmadiyah pernah melakukan aksi kekerasan sejak kehadirannya di bumi Indonesia? apakah Ahmadiyah tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945? Apakah Ahmadiyah menolak Pancasila sebagai asas Tunggal? apakah Ahmadiyah pernah menyuarakan pendirian Negara Islam di negeri ini? Apakah Ahmadiyah mengajarkan ajaran sesat yang dilarang oleh Kitab suci (al-Qur’an) dan Hadits Nabi? jika ada kesesatan, dimana bentuk kesesatan itu, dan apa saja ajaran Ahmadiyah yang sesat itu?, jika hanya karena fatwa atau pendapat mereka yang dianggap berbeda dengan yang lain, maka itu suatu hal yang wajar, karena perbedaan dalam Islam adalah sesuatu yang lumrah. Bukankah dalam Islam banyak Tafsir yang Multi Tafsir?
Di negeri ini, perbedaan pandangan dan ideologi merupakan suatu hal yang lumrah, sebagaimana Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah yang selalu berbeda dalam hal ibadah mahdhoh dan ghairu mahdhah. Bahkan pandangan politik dari kedua organisasi terbesar di negeri ini hampir seusia dengan sejarah Indonesia.
Belum lagi kehadiran Serikat Islam, Nahdlatul Wathon, Al-Irsyad, termasuk yang meresahkan banyak umat Islam adalah kehadiran kelompok Salafi-Wahabi yang perlu mendapatkan pengawasan dari pemerintah. Karena sering bikin gaduh dan masalah dalam masyarakat karena soal fatwa bid’ah dan kafir.
Keberadaan Salafi-Wahabi yang telah dilarang di negeri asalnya Arab Saudi, termasuk juga yang menjadi bagian terpenting dalam pelarangan Ahmadiyah di jazirah Arab. Jangan-jangan mereka (yang di negeri ini) yang melarang keberadaan Ahmadiyah adalah bagian dari kelompok ini yang sudah terkonfirmasi dihinggapi virus Wahabi.
Jelas ini tidak bisa diterima, keberadaan Ahmadiyah di Indonesia harus dilihat dalam konteks Bhinneka Tunggal Ika. Kehadirannya sebagai sesuatu yang niscaya dan patut dihormati. Dalam suatu Mahzar Namah (memorandum) sebagai sebuah dokumen penting yang disampaikan oleh Jemaat Ahmadiyah pada komisi khusus dari parlemen Nasional Pakistan pada tahun 1974, dimana dalam memorandum tersebut dinyatakan bahwa para anggota jemaat Ahmadiyah adalah Muslim dan tidak ada satu pengadilan di dunia ini yang memiliki otoritas untuk menentukan atau menetapkan agama setiap individu atau komunitas.
Eksposisi posisi jemaat Ahmadiyah yang disampaikan dalam Mahzar Namah-Memorandum yang diajukan oleh Pemimpin tertinggi Jemaat Ahmadiyah Hazrat Khalifatul Masih III r.a secara pribadi menjawab segala tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada ajaran-ajaran Ahmadiyah.
Semua pihak (pemerintah dan masyarakat) termasuk para pembenci jemaat Ahmadiyah harus dewasa dan sepenuh hati membaca dokumen-dokumen penting yang dimiliki oleh jemaat Ahmadiyah. Bukan justru merasa paling benar dengan pandangannya padahal tidak pernah membaca buku-buku yang ditulis langsung oleh Hadhrat MIrza Ghulam Ahmad.
Beberapa buku yang bisa dibaca agar tidak gagal paham soal Ahmadiyah misalnya Filsafat Ajaran Islam (1937), Syahadatul Quran (2019), Tiryaqul Qulub (2019), Haqiqatul Wahyu (2018), Inti Ajaran Islam (2017), Muhammad Menurut Mirza Ghulam Ahmad (2012), Memorandum (Mahzarnamah) Penjelasan Aqidah Jemaat Ahmadiyah di Hadapan Parlemen Nasional Pakistan (2013), dan buku yang tipis sekitar 22 halaman yang berjudul Menghapus Satu Kesalahan (1978), dan yang terpenting adalah buku yang berjudul Kami Orang Islam (2007) yang disampaikan kepada Bangsa Indonesia dan Majelis Ulama Indonesia.
Beberapa buku ini saya kira penting untuk dibaca dalam konteks memahami ruang gerak, pemikiran/pandangan, aqidah dan kecintaan mereka terhadap Nabi Besar Muhammad SAW.
Oleh: Dr. Samsi Pomalingo ,MA – (Akademisi di Universitas Negeri Gorontalo)