Jokowi Yang Sedang Turun Kelas? (Refleksi tentang Kekuasaan, Politik, dan Kematangan Demokrasi Kita)

Ilustrasi/ Bakukabar.id

Ini bukan tentang siapa yang benar atau siapa yang salah. Bukan tentang siapa yang patut dibela atau digugat. Tulisan ini tidak berdiri di satu pihak, tidak pula hadir untuk menyokong atau menjatuhkan. Yang ingin disorot di sini adalah sebuah peristiwa politik yang mengandung makna lebih dalam: mantan Presiden Jokowi menggugat pihak-pihak yang menuduh ijazahnya palsu.

Langkah ini menggambarkan lebih dari sekadar upaya membela kehormatan pribadi. Ada pergeseran posisi yang terasa: dari simbol kenegaraan yang dulu berdiri paling tinggi, menjadi sosok yang harus menanggapi satu per satu suara bising dari lorong media dan ruang publik. Jokowi tampak kembali masuk ke dalam percakapan-percakapan yang mestinya sudah ia tinggalkan, bertukar peran dari negarawan menjadi penggugat. Ia tidak sedang melanggar hukum—tidak juga melanggar etika. Tetapi dalam gerak itu, ada sesuatu yang ia lepaskan: jarak simbolik yang selama ini memisahkan seorang mantan presiden dari kegaduhan politik harian.

Momen ini menyisakan kegelisahan. Apakah republik ini telah gagal menyediakan ruang tenang bagi seorang mantan pemimpin? Ataukah memang kekuasaan, sebagaimana pernah dibaca oleh Foucault, tidak benar-benar selesai, hanya berpindah bentuk dan strategi? Jokowi bukan sekadar individu; ia adalah teks yang hidup, simbol dari harapan, ketegangan, dan arah sejarah bangsa ini. Dan ketika ia turun kelas—dalam arti membuka kembali dirinya terhadap pertarungan-pertarungan publik yang kasar—maka yang sedang goyah bukan hanya citra personal, melainkan juga cara kita sebagai bangsa menempatkan kenegarawanan.

Kita bisa melihat ini juga dari kaca mata populisme. Pemimpin populis lahir dari kedekatan dengan rakyat, mencairkan jarak dan menyentuh emosi. Tapi ketika masa jabatan selesai, sisa-sisa logika populisme itu kerap menyeret sang pemimpin untuk tetap “hadir” dalam debat publik, bahkan ketika seharusnya ia sudah cukup dihormati dengan ketidakhadirannya. Populisme membuka ruang naik yang cepat, tetapi menutup jalan turun yang bermartabat.

Weber pernah menandai jenis kekuasaan kharismatik sebagai sesuatu yang ampuh, tetapi rapuh ketika tidak ditopang oleh institusi yang dewasa. Dalam kasus ini, kita menyaksikan betapa sistem kita belum sepenuhnya siap memberi transisi yang agung bagi seorang mantan presiden. Kita cepat dalam mengagungkan, tapi lamban dalam merawat kehormatan setelah kekuasaan.

Ironi itu semakin terang saat kasus hukum seperti tuduhan ijazah palsu harus ditanggapi sendiri oleh sosok yang pernah duduk di kursi nomor satu. Tentu, setiap orang berhak atas pembelaan. Namun, dalam pertarungan di arena yang mulai becek oleh prasangka, personalisasi masalah justru menurunkan kelas simbolik seorang mantan pemimpin. Jokowi boleh jadi menang secara hukum, tetapi apa yang sedang dipertaruhkan lebih dari itu: kepercayaan publik terhadap posisi kenegarawanan yang seharusnya tak lagi ikut rebutan suara di ruang gaduh.

Mungkin inilah saatnya kita bercermin: apakah republik ini terlalu mudah memberi tahta, tapi terlalu kaku memberi ruang istirahat? Apakah kekuasaan kita desain sebagai panggung tanpa pintu keluar? Jika seorang mantan presiden harus kembali turun ke gelanggang hanya untuk membela nama, maka sesungguhnya bukan hanya ia yang turun kelas—tapi kita, sebagai bangsa, sedang kehilangan ketinggian nilai.

Kita pernah percaya bahwa politik adalah jalan luhur untuk melayani. Tapi jika setelah semua pencapaian itu, seorang pemimpin harus kembali bertarung di tengah lumpur sangka dan curiga, maka pertanyaannya bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah. Pertanyaannya adalah: sudah sedewasa apa demokrasi kita menempatkan bekas pemimpinnya?

Jokowi bukan orang biasa. Ia adalah teks, simbol, dan bayangan tentang siapa kita sebagai bangsa. Dan hari ini, saat ia turun kelas, bukan hanya sejarah yang mencatat langkahnya—tapi juga kebijaksanaan kolektif kita, yang mungkin sedang diuji paling keras.

Oleh: Pepy Albayqunie  – (Seorang pecinta kebudayaan lokal dan Jamaah Gusdurian di Sulawesi Selatan yang belajar menulis novel secara otodidak. Ia lahir dengan nama Saprillah)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tutup